Laditachuda
TS
Laditachuda
Kisah-kisah Romantis dari Ladita
Airmata di Malioboro



Quote:


"Beneran, Mea?" Teriakkan Wita di ujung telepon Cumiakkan gendang telingaku.

"Jangan jerit-jerit atuh, Wit. Kepalaku udah puyeng jadi nambah puyeng dah."

"Positif diberhentiin jadinya?" tanya Wita lagi penasaran.

Kesal aku dihujani pertanyaan yang semakin memojokkan. Sudah terpojok, malah makin dipojokkan dengan pertanyaan yang seharusnya tak perlu ditanyakan.

"Enggak usah nanya-nanya lagi, ah. Pusing aku jadinya!" sergahku kesal. Suara klik keras mengakhiri pembicaraan kami. Ini sama persis dengan pembicaraanku dengan Rivan kemarin.

Quote:


Andai saja semua semudah yang diucapkan Rivan. Tapi, kenyataannya tidak. Aku bukan tipe wanita yang begitu saja pasrah dan menggantungkan harapan pada pria. Aku merasa tak berguna ketika tidak beraktifitas. Dan, pemutusan hubungan kerja yang mendadak ini benar-benar membuatku bingung. Bingung, karena aku dan Rivan telah memiliki rencana masa depan. Dan kini, semuanya tiba-tiba harus amblas begitu saja.

"Kalau kamu berpikiran negatif, semuanya bakal bergerak sesuai pemikiranmu itu," celetuk Rivan ketika sedang mendengarkan segala keluh kesahku.

Rivan memang benar. Dia selalu benar. Penyesalan karena tidak bersegera melamar pekerjaan di Bandung pun menghantui hari-hariku. Hari-hari ketika aku menanti waktu perjumpaan dengan Rivan. Perjumpaan yang telah direncanakan dari enam bulan yang lalu.

"Beneran tega banget, deh. Apa gara-gara dirimu mau cuti jadi diberhentiin kerja?" Berondongan pertanyaan Wita semakin membuat hatiku kecut.

Aku memang meminta cuti dari jauh-jauh hari demi menunaikan janji bertemu dengan Rivan. Kalau memang itu alasannya, semoga saja gantinya nanti lebih baik dari yang sekarang.

Kemudian hari itu semakin dekat. Tinggal dua hari lagi semenjak aku dinyatakan jadi pengangguran.

"Aku dihalang-halangi pulang." Rivan menyatakan kegundahan hatinya perlahan agar tidak membuat hatiku tambah bingung.

"Maksudnya gimana, Mas?" tanyaku gelisah.

"Banyak kerjaan, Dek. Teman satu tim juga enggak mau dilimpahin tanggung jawab yang sekarang aku pegang."

"Ya Allah, banyak banget cobaannya," keluhku.

Akhirnya, dalam dua hari itu Rivan berjuang keras agar bisa memenuhi janjinya. Banyak sekali halangannya, mulai dari pekerjaan, gaji yang telat, hingga permintaan bosnya agar menyelesaikan laporan terlebih dahulu sebelum pulang. Kasihan Rivan, dia tertekan karena pekerjaan dan janji yang harus dipenuhi.

"Mas, aku tunggu kamu di Lempuyangan. Aku pasti datang," isakku sedih dan bingung ketika menyadari kesulitan yang tengah dihadapinya.

"Aku juga pasti datang, Dek," balas Rivan tegas.

Perih hati ini mendengar ucapannya. Mengapa begitu banyak cobaan disaat kami hanya ingin saling melengkapi hati? Aku hanya ingin melihat senyumannya, itu saja.

Sebenarnya tidak tega aku dengan kesibukan Rivan seperti itu. Ingin rasanya mengatakan padanya kalau aku bersedia menemui dirinya di tempatnya bekerja. Tapi, aku tahu pasti takkan diizinkan.


Quote:


Rivan kembali menghubungi ponselku ketika kereta melewati stasiun terakhir sebelum Lempuyangan. "Aku tunggu di pintu keluar, Dek."

Aku mengiyakan dengan perasaan campur aduk. Ya, Tuhan, benarkah ini terjadi? Pertemuan dengannya ini yang kunanti selama berbulan-bulan.

Tapi, aku tak perlu menanti jawaban Tuhan, karena ternyata semua ini memang nyata. Aku melihatnya. Yah, dia yang terakhir bersua--datang dengan tubuh kurus. Sekarang dia terlihat lebih segar dari hari itu. Rivan ... menungguku di pintu keluar. Dengan ransel di punggung dan wajah lelahnya. Tersenyum padaku. Mata kami kembali bertautan, dan aku merasakan harapan itu. Menyesakkan.

Kami memutuskan untuk mengelilingi Yogyakarta keesokan harinya setelah beristirahat di kediaman saudara. Keputusan yang takkan pernah terlupakan hingga sekarang. Kota ini mengukir kenangan indah di hati kami. Sebuah prasasti yang diukir dengan sengaja untuk sebuah kisah cinta tertulis.


Quote:


"Yakin, deh, dia cuma ngetes kamu," sanggah Wita ketika keesokan paginya mendengar ceritaku.

"Ngetes?" sergahku tajam.

"Masa dia nitip hapenya di kamu kalo ada hubungan sama cewe lain?" Wita kembali mempertahankan pendapatnya.

Tapi, aku tak yakin dengan apapun lagi. Chat dari wanita itu telah terpatri kuat di ingatan. Dan, itu sangat menyakitiku. Apa mungkin semua itu hanya pura-pura?

"Aku pulang sore ini, Wit."

Jam enam sore nanti aku memang harus kembali naik kereta. Dan itu sangat menghancurkanku. Aku tak ingin pulang. Inginku hanya satu, selamanya di sisi Rivan.

Siang itu panas menyelimuti Malioboro. Aku dan Rivan berjalan perlahan menyusuri trotoar, mencari bangku yang diteduhi bayangan pohon. Sisa-sisa rasa sakit karena kejadian kemarin membuat sekat tipis di antara kami. Beberapa kali genggaman tangan Rivan aku tepis.

"Kenapa kamu lakukan itu?" tanyaku sambil berusaha menahan airmata luruh. "Berbulan-bulan aku menahan rindu untuk bertemu, dan kamu malah melakukan itu? Kenapa kamu bisa setenang itu Rivan. Kamu bisa-bisanya menganggap kejadian ini hanya angin lalu. Kamu tega, ka--." Tiba-tiba suaraku tercekat, menghilang dari tenggorokan. Rivan menangis.

Airmata mengembun di matanya lalu luruh perlahan. Semakin banyak dan deras. "Aku khawatir sama kamu, Mea. Maafkan aku belum bisa menjagamu sepenuhnya," isaknya, "bagaimana kalau kamu sakit, sayang. Aku jauh di sini." Airmata Rivan semakin deras. Dia menundukkan wajah, menyembunyikannya di balik jaket.

"Aku sayang kamu, Mea. Jangan pulang."

Hatiku semakin hancur melihatnya menangis. Oh, Tuhan, aku menyayanginya. Jangan biarkan dia menangis. Kenapa hatiku semakin perih melihat Rivan menangis?

Aku menggapai bahunya, menyingkapkan jaket yang menutupi wajah Rivan. Hatiku sakit melihatnya begitu sedih. "Jangan menangis, Rivan. Ya, Allah, maafkan aku."

"Dia bukan siapa-siapa, Mea. Sebulan kurang aku mengenalnya. Kamu yang utama, Sayang. Cuma kamu."

Rivan semakin tenggelam dalam tangisnya. Dan, aku semakin hancur. Tak paham dengan apa yang terjadi. Yang aku tahu hanya tak ingin melihatnya sedih. Jangan menangis Rivan, karena aku sangat menyayangimu.

Aku tahu perpisahan ini harus kembali terjadi demi sebuah waktu yang telah dinantikan. Waktu dimana kebahagiaan kami akan disuarakan pada semesta. Hingga langit dan bumi pun akan menyaksikannya.

"Aku sayang kamu, Mea. Kamu yang utama. Cukup itu saja yang kamu tahu.

Airmataku luruh mendengarnya. Demi sayap-sayap yang tak sudi patah, doakan hati kami bersatu selamanya


Quote:







THE END
Diubah oleh Laditachuda 15-10-2019 23:56
tata604someshitnesstabernacle69
tabernacle69 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
4K
55
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.