Pernah dengar The New York Times? Pride and Prejudice and Zombie? Abraham Lincoln: Vampir Hunter?


Karya-karya di atas merupakan hasil pemikiran ciamik dari seorang Seth Grahame Smith. Novel-novelnya yang kerap jadi perbincangan dan difilmkan, membuat namanya tak asing di telinga para penikmat kata.

Seperti karya-karya sebelumnya, Unholy Night yang juga sudah difilmkan pada tahun 2014 silam, memiliki gaya yang sama dengan karya sebelumnya.

Seth Grahame Smith kerap mengambil sebuah ruang sejarah untuk kemudian dikembangkan kembali menjadi lebih hidup dan imajinatif.

Unholy Night atau Malam (Tak) Kudus yang merupakan peristiwa ikonik tentang tiga orang yang menunggang unta, tiba di sebuah palungan. Tiga orang yang sering disebut sebagai Tiga Orang Majus dari Timur, diceritakan oleh Seth Grahame Smith sebagai kawanan pencuri yang dipimpin oleh sang Hantu Antiokia alias Balthazar yang suka membunuh. Mereka bertiga sedang dalam pelarian dari penjara Raja Kejam, Herodes.

Mereka tak sengaja menemukan raja yang baru lahir. Balthazar yang tentu saja seorang berhati dingin, tak peduli dengan apa yang baru saja ia temukan. Ia merasa tidak membutuhkan sang bayi (raja baru) atau orang tuanya itu.

Sampai perintah Herodes yang membantai semua bayi di Yudea membuatnya memahami ada sesuatu yang lain.

Berangkat dari sanalah, ia dan bayi serta orang tua si bayi melarikan diri ke Mesir. Perjalanan penuh darah dan air mata mewarnai setiap langkah mereka. Mempertemukannya dengan kisah cintanya di masa lalu, rasa sakitnya atas kehilangan seseorang yang amat dikasihi, serta keajaiban demi keajaiban yang mampu membuat hatinya ingin meyakini bahwa, Tuhan itu ada.



Entah kenapa, tapi kisah sang pencuri handal bernama Balthazar ini tak serta merta memberi kesan buruk. Tokohnya yang sejak awal diperkenalkan sebagai tokoh yang memang mencuri dengan niat awal bertahan hidup, tak menjadikan label pencuri kejam yang disebut seperti hantu oleh banyak orang itu, benar-benar menempel. Justru, pembaca seolah diajak untuk memahami Balthazar. Memaklumi setiap pencurian dan kebohongan yang dilakukannya dan menjadikan pembaca seolah bersimpati.

Balthazar menjalani kehidupannya menjadi semakin urakan bukan semata karena keinginannya mendapat banyak uang. Ada yang ingin ia tuntaskan. Semacam rasa sakit yang menggerogoti hatinya akibat kehilangan yang mendalam.

Bersama luka itu, ia terus hidup dan berkali-kali bertahan dari keadaan terdesak dan juga kematian.

Bagaimana rasanya jika ada seorang adik yang merasa bangga dengan apa yang dilakukan kakaknya, meniru semua yang bisa dilakukan oleh sang kakak, bahkan hal buruk sekali pun.

Abdi, adik Balthazar melakukanya. Mencuri dan tertangkap basah. Dihukum mati di depan mata Balthazar sendiri. Sakit? Tentu saja.

Kejadiaan nahas itu mengantarkan Balthazar untuk melarikan diri dari kehidupannya sendiri. Meninggalkan sang ibu, meninggalkan kisah cintanya, dan menghadapi betapa kejamnya kehidupan.

Namun, dari situlah ia akhirnya menemukan dirinya kembali. Karena si bayi dan orang-orang yang ditemuinya di perjalanan, membuatnya kembali meyakini bahwa ia masih memiliki hati.


Rasa sakit memang berpengaruh besar pada siapa pun. Mungkin, rasa sakit dapat membuat Balthazar bertahan hidup dan menyelamatkan orang-orang. Akan tetapi, rasa sakit itu pula yang membuatnya harus membuang tahun-tahun dengan kesia-siaan sebagai pencuri. Meninggalkan orang-orang yang ia cintai, terutama ibunya sendiri.


Balthazar seolah ingin mengatakan, agar kita berhati-hati dalam berbuat sesuatu. Menyakiti seseorang atau merelakan diri disakiti, bukanlah pilihan yang pantas.


Satu pesan dari ibu Balthazar yang masih terngiang sampai sekarang adalah ini: "Janji pada Ibu ... janji pada Ibu kalau kebahagiaan kita tidak berasal dari kemalangan orang lain."


Semoga setiap kebahagiaan kita, tidak berasal dari kemalangan orang lain.