i.am.legend.
TS
i.am.legend.
Survei Populi: Pengaduan Balai Kota Era Ahok Jauh Lebih Baik dari Anies


Survei Populi: Pengaduan Balai Kota Era Ahok Jauh Lebih Baik dari Anies

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Populi Center merilis hasil survei jelang dua tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Survei ini juga membandingkan kinerja Anies Baswedan dengan Gubernur DKI Jakarta era sebelumnya, yakni Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Berdasarkan hasil survei, sebagian besar masyarakat Jakarta menilai bahwa Ahok jauh lebih unggul dari Anies dalam menangani pengaduan di Balai Kota DKI.

“Untuk kebijakan pengaduan di balai kota, baik dalam pertanyaan eksperimen maupun kontrol, kebijakan Ahok (eksperimen: 60,0 persen; kontrol: 63,0 persen) unggul jauh dari kebijakan Anies (eksperimen: 27.7 persen; kontrol: 27,3 persen),” ungkap Peneliti Populi, Jefri Ardiansyah melalui rilis survei yang diterima Liputan6.com, Senin (14/10/2019).

Jefri menjelaskan, di era Ahok, pengaduan warga di balai kota diterima dan direspons langsung oleh Gubernur. Sedangkan di era Anies Baswedan, pengaduan warga di balai kota diterima dan direspons hanya oleh dinas di Pemprov DKI.

Sebanyak 63,0 persen responden menjawab bahwa cara Ahok yang langsung menjawab dan merespons aduan lebih baik dari cara Anies, di mana hanya sebanyak 27,3 persen setuju bahwa aduan warga diterima dan direspons oleh dinas terkait.

Meski begitu, Jefri menyebut bahwa sebagian besar masyarakat tetap puas terhadap pelaksanaan kebijakan pengaduan di balai kota oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Sebagian besar masyarakat puas terhadap pelaksanaan kebijakan pengaduan di Balaikota oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan 58.2 persen dan terdapat 29.3 persen yang menyatakan tidak puas,” ujar Jefri.

Metode Penelitian

Jefri menjelaskan, penelitian ini dilakuakan secara ilmiah dengan metode tertentu yang menjamin distribusi sampel secara memadai. Proporsi gender laki-laki dan perempuan juga ditentukan sebesar 50:50, dan sampel diambil dari 600 responden.

“Responden dipilih secara random dan bertingkat, mulai dari pengacakan untuk Kelurahan, Rukun Tetangga, Keluarga, dan akhirnya responden terpilih,” ujar Jefri.

Kuisioner ini membandingkan kinerja Anies Baswedan dengan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok. Kuesioner pertama (eksperimen) bertuliskan nama gubernur dan program kerja, sedangkan kuesioner kedua (kontrol) hanya berisikan program kerja.

“Dalam model eksperimental ditemukan bahwa secara rasional dengan pertanyaan kontrol menunjukan bahwa program Ahok dianggap lebih baik dari program Anies oleh warga Jakarta,” jelas Jefri.

“Dengan pertanyaan eksperimen, program bantuan dana pendidikan Ahok dianggap tepat oleh 34,3 persen masyarakat sedangkan kebijakan Anies sebesar 55,0 persen, setelah dilakukan kontrol kebijakan Ahok justru dianggap lebih baik dari kebijakan Anies dengan masing-masing 46,0 persen dan 45,0 persen,” dia mengakhiri.
sumber

☆☆☆☆☆☆☆
Kepala batu. Itu sebutan yang paling relevan buat orang yang disindir tapi gak sadar juga. Bahkan bukan cuma disindir, dikritik aja gak peduli.

Ingat saat awal Balai Kota jadi seperti kantor Gubernur Jenderal Batavia? Serba tertutup, serba sepi. Gorden dipasang agar tidak kelihatan dari luar. Masyarakat dibiarkan duduk di lantai menunggu pemimpinnya datang menghampiri. Pedagang Balai Kota hilang begitu Balai Kota tak lagi jadi area menarik masyarakat dan pelajar untuk lebih banyak tahu. Masyarakat yang mengadu hilang karena semua pengaduan dibebankan ke Kelurahan atau Kecamatan. Aplikasi pengaduan Pemprov DKI Jakarta tak laku lagi karena tak ada yang peduli untuk menanggapi.

Siapa yang salah?

Tak perlulah bertanya soal itu. Menikmati pilihan adalah langkah yang paling tepat sebagai ganti padanan kata : makan tuh pilihan lu!

Mungkin kita yang terlalu banyak berharap. Bahwa pemilihan pemimpin yang didasari dengan isu sektarian dan agama akan lebih bermutu. Nyatanya harapan tinggal harapan. Demi menepati janji, pelanggaran demi pelanggaran pun dijalani. Memoles sesuatu yang dianggap menepati janji meskipun dibelakangnya ngibul.

Bisa jadi masyarakat Jakarta telah terbiasa dengan standar tinggi yang telah dijalankan Gubernur terdahulu, sehingga ketika masyarakat Jakarta melihat ada yang janggal didepan mata, maka reaksinya luar biasa. Bukan salah penggantinya, karena mungkin dia memang terbiasa bermain di level rendah.

Yang disayangkan, ketika ada fraksi yang membuat pos pengaduan di DPRD, Balai Kota seperti kebakaran jenggot. Meja dan kursi langsung dipasang. Ada hajatan? Bukan. Itu untuk tempat pengaduan. Laku? Kagak. Gak ada yang datang, karena masyarakat merasa itu cuma hiasan semata agar malunya tak sampai kehati.

Tapi sekali lagi, yang namanya kepala batu sekarang ditambah lagi dengan muka tembok. Lengkaplah sudah.
Jangan berharap tim yang disana yang digaji fantastis bisa berbuat bagi masyarakat Jakarta, wong patokan gajinya berdasarkan laporan koq. Yang penting ada laporan.Perihal gak ada kerjaan yang penting lapor.

Nasib Jakarta.
Bersolek hanya yang dilihat warga negara lain. Padahal Jakarta luas.
Mungkin jabatan Gubernur memang bukan kelasnya. Dianggapnya Jakarta bisa maju hanya dengan lukisan dan mewarnai. Andai dia menjadi artis, mungkin piala Citra akan diperolehnya selama dia menjabat. Sementara urusan Jakarta diserahkan kepada tim pembuat laporan dengan gaji fantastis itu.

Auto pilot.



GreatCapturearfan1997henkbroer863
henkbroer863 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
2.1K
38
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.2KThread39.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.