nofivinovieAvatar border
TS
nofivinovie
Ambisi Menakhlukkan Merbabu


Pendakian Merbabu via Suwanting kali ini merupakan yang pertama bagi Wily. Pertama mendaki tidak membuat Wily berpikir dua kali untuk menakhlukkan puncak gunung tetangga Merapi itu. Tekadnya bulat.

Bersamanya, tiga orang Mapala yang salah satunya merupakan kekasih Wily. Mereka berempat sepakat melakukan pendakian pagi-pagi sekali agar tidak kemalaman mencapai pos tiga untuk berkemah. Segenap logistik dan perbekalan sudah menggelayut di bahu. Pendakian dipimpin oleh Bintang.



Mereka mulai menikmati perjalanan sedikit menanjak di tengah hutan pinus. Rindang dan sejuk. Bintang paling depan, di belakangnya Giani, kemudian Wily, dan paling belakang adalah Boy. Cuaca cerah, suara burung bersahut-sahutan.

Mereka terus berjalan dengan sederet keceriaan. Sesekali Bintang menoleh ke belakang dan menanyakan keadaan timnya. Apakah aman untuk terus jalan? Mereka serempak menjawab, "Aman."

Jalur yang mereka lalui bukanlah medan yang mudah. Pada musim kemarau jalanan itu dipenuhi debu, sedangkan saat penghujan semuanya berubah menjadi sangat licin. Jadi tidak ada yang mudah di jalur Suwanting ini.

Mereka datang dari Jakarta, rencana naik Merbabu hanya bertiga, minus Wily. Tapi, di hari menjelang keberangkatan, cowok itu meminta ikut. Padahal dia sama sekali belum pernah mendaki gunung.

Bintang tidak melarang, hanya menjelaskan bahwa rencana mereka pendakian kali ini akan melaui Suwanting. Ia juga menjelaskan kepada Wily medan berat dan risiko yang kemungkinan terjadi. Apalagi untuk pemula.

"Gue nggak takut! Gue lebih takut lo modusin cewek gue pas ngedaki," sungutnya. Bintang hanya mengerutkan dahi waktu itu. Baginya, kekhawatiran Wily cukup beralasan mengingat ia memang cukup dekat dengan Giani. Boleh dikatakan memang suka dalam arti lebih dari teman. Tampaknya Wily mencium aroma itu dengan jelas. Tapi, Bintang cowok yang punya etika, meski sebelum janur kuning melengkung, cewek adalah milik bersama.

Kembali ke pendakian, masih pukul 15.15 WIB, tapi sayangnya cuaca mulai berubah. Yang tadinya terang, perlahan menggelap. Waktu tempuh ke pos tiga kira-kira masih satu jam lagi. Bintang takut mereka tidak sampai pos tiga dan hujan keburu turun. Benar saja, baru setengah jam kembali naik, hujan turun dengan intensitas sedang. Kebetulan mereka sampai di tanah yang lumayan lapang.

Tadinya mereka berniat buka tenda di pos tiga, tapi nyatanya keburu hujan, untuk itu Bintang memutuskan nenda di situ. Tapi, Wily bersikeras untuk meneruskan perjalanan. Bintang menjelaskan bahwa jalanan licin dan kabut yang semakin turun bukanlah pertanda baik untuk meneruskan perjalanan. Wily menyeringai. "Cemen, katanya udah pada pengalaman. Mana? Masa beranian gue." Dengan pongahnya Wily berucap.

"Wil, jaga ucapan!" bentak Giani.

Bukan Wily namanya kalau mau mendengarkan orang lain. Dia tetap jalan naik menerobos hujan. Melihat itu, Bintang memberi kode kepada Giani dan Boy untuk meneruskan perjalanan.

Setelah memakai jas hujan, mereka menyusul Wily. Hati-hati sekali mereka menyusuri jalanan dengan bantuan seutas tali, saking sulitnya dilalui. Sayangnya kaki Bintang terpeleset juga dan tersangkut pada akar-akar pohon.

"Bintang!" Giani dan Boy kompak berteriak. Gegas mereka berusaha menolong.

"Tolong teriakin Wily buat tunggu kita!" pinta Bintang kepada Boy. Bintang sepertinya hilang konsentrasi karena Wily yang nekat naik duluan. Biasanya dia tidak pernah sampai terpeleset sesulit apa pun medannya.

"Woy, Wil!" teriak Boy. "Wily, tunggu! Bintang kepleset, nih. Tunggu di situ!" Boy sebenarnya kesal dengan Wily yang dinilainya merepotkan.

Sedangkan Wily di atas sana tidak mendengar namanya dipanggil. Ia terus naik. Tekadnya bulat, harus bisa membuktikan bahwa ia lebih hebat dari Bintang.

Kabut makin tebal, hujan makin deras.

Wily yang sudah berjas hujan merasa begitu percaya diri dapat menakhlukkan Merbabu.

"Segini doang," remeh Wily.

Ia masih terus berusaha naik hingga pos tiga.

Wily tahu pos tiga adalah tujuan mereka beristirahat.

Hampir jam lima sore Wily sampai di tanah lapang yang terdapat beberapa tenda.

Pos tiga, tempat yang tadinya jadi target mendirikan tenda. Tapi, nyatanya Bintang dan yang lain malah belum terlihat. Sementara hujan masih terus mengguyur, jarak pandang sangat pendek. Wily menyisir tempat itu dengan matanya, ranselnya diletakkan begitu saja. Tiba-tiba angin bertiup kencang.

Dari tempatnya berdiri, Wily seolah melihat sesosok manusia berdiri di bibir jurang.

Wily mengucek mata. Memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Tapi, belum lagi hilang kebingungan yang dirasakan, sosok lain muncul.

Sosok putih berambut panjang tampak melayang.

Wily ciut, ia tidak menyangka akan mengalami kejadian seperti itu. Gigil di tubuhnya mulai terasa. Belum selesai sampai di situ, telinga Wily mendengar tawa cekikikan. Juga suara lirih bagaikan angin yang begitu dekat di telinganya.

"Turun!" perintah suara itu. Wily semakin bergetar ketakutan. Ingin rasanya ia lari, tapi apa daya, lututnya seolah terkunci.

Alih-alih lari, Wily justru jatuh ke rumput. Wajahnya yang sudah pucat, makin menjadi ditimpa air dari langit. Ia hanya berharap akan ada orang yang menolongnya.

Sementara di bawah, Bintang sedang kesakitan karena kakinya terkilir. Ia merasa tidak sanggup untuk naik. Tapi, hatinya merasa beban sebab Wily mendaki sendirian. Ia tidak ingin sesuatu terjadi kepada temannya itu.

Sebenarnya Boy ingin agar mereka tetap di sana saja menunggu Wily turun. Tapi, Bintang tidak setuju. Ia ingin menyusul Wily dan memastikan cowok itu baik-baik saja.

Lalu, setelah Bintang merasa bisa kembali berjalan, akhirnya mereka kembali menyusuri tanjakan. Tidak ada ampun, masih harus terus merangkak di tanah licin. Sialnya sudah tidak ada tali sebagai alat bantu.

"Bin, udah jangan maksa!" cegah Boy. Ia sangat khawatir melihat kondisi Bintang. Di saat genting itulah mata Boy melihat sosok-sosok lain di jalan yang akan mereka lalui. Sosok putih yang entah apa. Dalam hati ia menyebut nama Allah.

"Ayuk, pelan-pelan kita pasti bisa nyusul Wily!" ujar Bintang yang ternyata sudah di ujung tanjakan. Dalam pandangan Boy, Bintang berdiri di antara kerumunan makhluk menyeramkan itu. Sedangkan Giani sedang berusaha naik.

Pundak Boy tiba-tiba merasa sangat berat.

"Tas gue berat banget, Bin!" teriak Boy.

Bintang yang menunggu di atas melihat sesuatu menempel di carrier bag milik Boy. Bukan, itu bukan hewan. Makhluk besar berwarna hitam dengan rambut panjang itu melotot ke arah Bintang. "Baca doa, Boy!" jawab Bintang dengan hati yang mulai kacau. Ia sadar, mereka sudah tidak diizinkan untuk terus mendaki.

Antara ingin turun dan merasa punya tanggung jawab dengan keselamatan Wily.

Keduanya sama-sama berat. Tapi, pada akhirnya Bintang mencoba mengabaikan semua rintangan. Mereka harus bisa menyusul Wily.

Akhirnya mereka terus naik dengan makhluk-makhluk yang masih mengikuti. Sesampainya di pos tiga, hujan mulai reda. Terlihat beberapa tenda, tapi sepi kemungkinan pemiliknya sedang muncak dan terjebak hujan. Tapi, mereka menemukan ransel milik Wily tergeletak. Dan, alangkah terkejut mereka saat melihat Wily yang terbaring di rumput basah. Rasa sakit di kaki kanan Bintang hilang.

Bintang segera menyuruh Giani dan Boy mendirikan tenda. Sedangkan ia sendiri memeriksa keadaan Wily. Tubuh cowok itu dingin, kemungkinan terkena hipotermia.

Tenda siap, Bintang dibantu Boy membawa Wily ke dalamnya. Kemudian membuka jas hujan dan jaket serta baju Wily yang memang basah, lalu menggantinya dengan baju dan jaket kering. Sedangkan Giani menyiapkan makanan dan minuman. Bintang dan Boy memberikan emergency blanket supaya suhu tubuh Wily tidak terus turun. Setelah sedikit membaik, Giani memberikan minuman hangat kepada Wily. Tenda mereka memang besar sehingga cukup untuk beristirahat berempat. Tiba-tiba dari luar tenda terdengar langkah berat yang seperti diseret. Mereka berpandangan sejenak. Boy segera menutup pintu tenda rapat-rapat. "Lo kenapa nekat, sih, Wil?" tanya Boy kepada Wily dengan nada kecewa. Ia kecewa karena pendakian kali ini kacau.

Belum sempat aura ketegangan di dalam tenda naik, di luar kembali terdengar suara.

Srettt! Srettt!

Mereka Lagi-lagi saling pandang. "Gue minta maaf karena jadi ngerepotin kalian."

"Udah, yang penting kita semua selamat."

Bintang memang bijak, ia sama sekali tidak menyalahkan Wily dengan apa yang sudah dilakukannya. Sementara itu suara-suara aneh di luar tenda belum juga berhenti. Kali ini mereka mendengar suara lankah orang mengitari tenda.

"Gue nyerah."

Akhirnya Wily menyerah. Ia mengaku kalah. Ia merasa salah sudah menganggap enteng sebuah pendakian.

"Oke, kita makan abis itu tidur. Besok pagi-pagi kita langsung turun. Giani sama Boy nggak apa-apa?" tanya Bintang demokratis.

"Gue nggak apa-apa. Kita bisa muncak lain kali. Sekarang yang penting kita selamat," jawab Boy. Giani juga menjawab dengan jawaban senada.

"Oke. Sekarang makan lanjut istirahat. Semoga pagi-pagi kita sudah siap turun. Jalur ini berat karena terjal." Memang, jalur pendakian Suwanting terjal, sehingga butuh kekuatan fisik ekstra. Di samping itu, mendaki lewat mana pun dan ke gunung apa pun bukanlah ajang pembuktian. Tidak ada yang bisa menakhlukkan alam. Yang ada kita berbair dengan alam agar tumbuh rasa cinta di dalam diri. Kalau kita mencintai alam, maka alam pun akan mencintai kita.

Mendaki Merbabu lewat Suwanting terkenal indah. Lewat jalur itu, kita akan disuguhkan dengan pemandangan gunung-gunung di sekitarnya. Yang teristimewa adalah Merapi. Ia akan sangat indah dipandang dari pos tiga saat cuaca cerah. Belum lagi deretan gunung-gunung lain, di antaranya: Andong, Sumbing, dan Sindoro.
sebelahblog
4iinch
zafinsyurga
zafinsyurga dan 59 lainnya memberi reputasi
60
6.5K
187
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.