ejawahyuni90
TS
ejawahyuni90
Cerpen Ejawahyuni




Tak Restu

Apalah daya Diah untuk mempertahankan keputusannya. Putra semata wayang tak lagi penurut seperti dulu, sekarang kata-kata dan keinginannya hanya dianggap angin lalu saja.

Ditagah indak tatagah, balapeh juo nan kajadi, begitulah, walau hati terasa remuk redam, terpaksa dilepas jua sang putra menikah dengan pujaan hatinya.

Kadang Diah tak habis pikir, sudah selama itu. Bahkan, Rizwan sudah memiliki dua putri cantik yang sudah besar. Namun kenangan cinta masa lalu tak pernah padam. Terlebih sejak kematian istrinya satu tahun lalu, seakan itu jalan mempermudah untuk bersatu dengan cintanya.

"Sudahlah Diah, restui sajalah Rizwan, cobalah untuk berbesar hati, biar berkah anakmu itu hidup berumah tangga." Radinah berusaha menenangkan Diah, sesaat setelah mendengar kabar dari tanah seberang, di mana selama ini putra adiknya itu merantau. Bahwa, Rizwan sudah menikahi Rona

"Sampai matipun aku tak akan rela!" rutuk Diah kesal. Wajah renta itu terlihat memerah menahan kekecewaan.

"Apa lagi Diah? tak guna kau bersikeras seperti itu. Tidak baik untuk kesehatanmu, kau sudah tua, bukan saatnya lagi menanam kebencian dalam hati. Biarkan kali ini anakmu bahagia dengan pilihan hatinya." ucap Radinah lagi.

Diah melengos, tidak mau lagi meladeni perkataan saudaranya itu, hanya akan menambah pedih di hati. toh Radinah itu tak akan mengerti dengan kekecewaannya.

Diah sangat kecewa, usahanya untuk memutuskan tali kasih antara Rizwan dan Rona yang telah terjalin sejak mereka remaja, ternyata sia-sia belaka. Menjodohkan Rizwan dengan wanita pilihannya yang tak kalah cantik dari Rona, tak lantas membuat sang putra melupakan cinta pertama. Malah sebaliknya, berkali-kali Lina, mendiang istri Rizwan mengadu tentang anaknya yang selalu menyebut-nyebut mantan kekasih. Sering Diah merasa kasihan terhadap menantunya itu, yang selalu dibayangi oleh masa lalu suaminya.

Dulu, waktu masih remaja, walau Rizwan sedang dimabuk cinta dengan Rona, tapi setidaknya ia masih mau mendengarkan titahnya. Tak pernah membantah kata orang yang telah menghadirkannya ke bumi ini. Kalaupun ia harus dipisahkan dengan pole*nya itu. Sekarang setelah ia dewasa dan matang, setelah usia hampir mencapai kepala empat, disaat ia telah banyak mencicipi asam manis kehidupan, entah karena ia tak sanggup lagi berpisah dengan wanita yang katanya begitu dicintai. Rizwan dengan sengaja telah melukai hati ibunya.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Diah melarang hubungan ke dua orang yang mungkin memang telah ditakdirkan untuk bersama itu. Ada sebuah dendam yang terpendam dalam hati Diah kepada Erma ibunya Rona, luka dari masa lalu yang tak pernah mengering, dan seakan diasami dan digarami saat melihat kenyataan kalau Rizwan putra satu-satunya itu sangat mencintai putri orang yang sangat dibencinya.

$$$$$
Flash back. Berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Hati Diah begitu bahagia, kupu-kupu yang entah dari mana asalnya, belakangan ini selalu datang bertebaran di perut. Senyum manis di bibir tipis merekah yang selalu menghadirkan lesung di pipi yang bak pauh dilayang itu, netra bening yang semakin berbinar indah. Bagaimana tidak, tinggal satu langkah lagi ia akan dipersunting oleh seorang pemuda keturunan datuak gadang dalam nagari. Pria yang parasnya begitu dipuja para wanita. Menyebut namanya saja sudah membuat hati para gadis menjerit ingin memiliki.

Rustam, pemuda yang berwajah sungguh rupawan. Calon datuak masa depan suku malayu, selain tampan tentu saja kepintaran dan pendidikannya tak diragukan. Empat tahun ia menempuh pendidikan di sebuah universitas ternama jakarta. Lama tinggal di rantau tak membuatnya memilih gadis tanah seberang untuk jadi pendamping. Namun, ia membuat semua orang tak percaya karena ia menerima pilihannya orang tuanya. Seorang gadis sederhana dari ranah Minang ,tanah kelahirannya. Diah.

Keluarga Diah tentu saja bersuka cita dengan pinangan itu, apa lagi yang lebih membanggakan dari pada anak gadis mereka dipinang oleh orang tapandang dalam nagari. Suatu kehormatan tersendiri, mengingat Diah bukanlah anak orang berada dan berpendidikan, hanya saja Diah memiliki paras yang layak untuk disandingkan dengan wajah rupawan Rustam.

"Kamu beruntung Diah, uda Rustam menjatuhkan pilihan padamu." Erma, sang sahabat membantu menyisirkan rambut hitam panjang Diah.

Diah tersenyum senang, ya dia memang merasa seberuntung itu, "Benarkah Er?" Mata teduhnya menatap Erma, mencari jawaban meyakinkan di wajah itu.

Erma menggangguk, "Nanti malam, semuanya akan semakin pasti, tanggal pernikahanmu akan segera ditetapkan. Tunggu saja sebentar lagi, kau akan menjadi menantu dari keluarga yang sangat disegani itu."

Mendengar perkataan Erni, angan Diah melayang, betapa nanti ia akan segera menjadi bagian keluarga cadiek pandai dalam nagari itu. Ia tak hanya akan menjadi pusat perhatian semua orang, tapi juga pasti mendapatkan cinta kasih dari lelaki pujaan, serta seluruh rasa hormat penduduk nagari.

Hati Diah benar-benar bahagia, terlebih dari ruang tamu sayup-sayup terdengar tawa kucindan* para sumandan sedang bajanang. Bukti nyata alek* untuknya akan segera dilaksanakan. Bunyi dentingan piring yang beradu seakan menjadi musik paling syahdu, mengiringi lamunan indah sang gadis yang sedang dimabuk angan.

Kebahagiaan Diah kian terasa membuncah, ya tinggal malam ini, setelah itu ia benar-benar akan segera bersiap untuk segera menjadi istri pemuda itu. Senyumnya kian enggan pergi dari bibir merekah itu.

Malam ini adalah acara balatak tando, di mana kesepakatan tanggal pernikahan akan diwacanakan, keluarga dari calon mempelai pria akan datang ke rumah calon mempelai wanita, membawa keputusan mereka untuk dirembukkan bersama. Diah menunggu dengan deg-degan, sebenarnya dari tadi semua orang menyuruhnya tidur, karena diacara ini kehadirannya tidak dibutuhkan, di sini cuma keputusan niniek mamak kedua belah pihak yang dicari. Akan Tetapi, mata tiada mau terpejam, hatinya diselubungi Harap-harap cemas. Kehadirann Ermi tidak membuatnya tenang, ia gelisah, apalagi sudah hampir tengah malam yang ditunggu belum datang jua.


$$$$$

Satu bulan telah berlalu setelah malam itu, Tapi hati Diah masih berdarah-darah, gadis itu masih setia mengurung diri dikamar. Malam itu ternyata utusan dari keluarga Rustam tidaklah membawa kabar baik, tapi mengabarkan sebuah keputusan mutlak, yang membuat hati polos itu tercabik-cabik.

Entah kenapa semuanya terjadi begitu tragis, menghempaskan angan indah dari seorang perawan polos yang mengharap kebahagiaan. Utusan keluarga terpandang itu dengan teganya mengatakan bahwa Rustam ternyata tak menginginkan hubungan ini. Lalu, kenapa kemarin dengan penuh wibawa ia meminang Diah, kenapa ia begitu tak punya hati, bukankah lelaki itu seorang yang berpendidikan? Apa perasaan dan harga diri gadis malang ini dan keluarganya tak penting bagi mereka.

Ini bukan masalah perasaan lagi, tapi harga diri. Malam itu harga diri keluarga Diah telah tercoreng arang yang begitu hitam. Tidak ada yang bisa dilakukan keluarga Diah selain menerima, memangnya hal apa lagi yang bisa dilakukan jika orang tak sudi, terlebih mereka tak bisa menuntut apa-apa kepada keluarga kaya itu. Lagi pula siapa yang berani melawan keputusan dari datuak sagalo datuak.

Perlahan Diah dan keluarga mulai bisa menerima kenyataan, mungkin lelaki itu memang bukan jodohnya. Toh bungo indak satangkai, kumbang indak saikua. Walau bukan berpendidikan dan berasal dari keluarga kaya, tapi Diah adalah gadis tercantik di desa itu, tentu tak akan sulit menemukan pemuda yang mau menikahinya. Namun, ada sebuah kabar yang kembali menghantam jiwa gadis malang itu, Ermi sang sahabat, tempat hati bercurah kesah, akan segera menikah.

Diah akan sangat bahagia dan bersuka cita jika saja calon suami Ermi bukanlah Rustam.

"Kenapa, Er? Kenapa kau lakukan ini padaku." Suara Diah terdengar pilu, menahan air mata yang siap berlomba keluar. Netra itu menatap nanar penuh tanya pada sang sahabat.

Ermi membuang pandangannya dari Diah,"kenapa masih kau tanyakan, Diah. Apalagi yang ingin kau dengar? Semuanya sudah jelas. Kau pasti sudah dengar juga kalau kami sudah lama pacaran. Bahkan sebelum Uda Rustam masuk Universitas."

Kali ini air mata itu benar-benar tidak bisa dibendung lagi, tumpah ruah sudah, "lalu kenapa kau tak bilang dari awal? Kenapa kau tunggu sampai aku dan keluargaku dipermalukan dan dipermainkan?".

"Aku juga tidak menyangka Uda Rustam akan melakukannya, aku juga terkejut, karena aku pikir hubungan kami tidak akan bisa. Namun disaat terakhir ia memilihku. Aku juga tak mau ini terjadi padamu, tapi aku juga sangat mencintainya."

"Paling tidak jauh-jauh hari, kau bilang saja padaku kalau kau berpacaran dengannya, mungkin rasanya tidak akan semenyakitkan ini!" Pekik Diah, tak bisa lagi menahan emosi dan sakit di dada.

Akan tetapi Ermi hanya diam, seolah tak mendengar perkataan Diah, tentu saja ia tidak akan peduli seperti apapun kemarahan Diah, di dalam hati dan jiwanya sudah dipenuhi dengan lesakan suka cita. Bayangkan, ibarat burung emas yang terlepas dari genggaman, kini kembali lagi untuk selamanya. Lantas untuk apa kenapa ia pikirkan gangguan-gangguan kecil itu.

"Kau tau, aku butuh keberanian dan energi besar untuk bisa menemuimu, Er. Apa sedikitpun kau tak bisa merasakan kepedihanku. Apa kau lupa kita sahabat dari kecil?" ratap Diah putus asa.

"Lalu aku harus apa, Diah? Aku bahkan sudah memohon pada Uda Rustam agar tidak membatalkan pernikahan kalian, tapi ia bilang, dia hanya mencintaiku. Ia takkan bisa hidup dengan orang yang tidak dicintainya. Jangan seperti ini, Diah, Ingatlah harga dirimu."

"Oh, apa kau ingin aku menolak juga pernikahan kami, demi persahabatan kita. Kau tahu itu tidak mungkin. Lagipula siapa yang akan menolak dicintai dan dinikahi orang seperti itu? Tidak ada, Diah."


Diah hanya bisa mengigit bibir, meredam perih di dada. Sungguh ini terasa lebih sakit dari peristiwa yang pertama. Sakit yang nantinya tak kunjung hilang, sebagaimanapun Diah merawat luka itu. Kemudian, entah bagaimana awalnya kepedihan itu perlahan menjelma menjadi dendam.

Hanya sebatas dendam, dendam yang takkan pernah berbalas, bahkan diusia yang kini sudah senja, ia kembali kalah. Luka yang tak pernah benar-benar kering itu kembali bernanah. Mengetahui putranya menikah dengan putri orang-orang yang telah menikamkan luka abadi dalam dada.


$$$$$$

Diah menatap gemas kepada kedua anak manusia yang sekarang sedang bersimpuh di kakinya, masing-masing kedua tangan mereka mendekap erat kedua kakinya, nyaris bergelantungan. Diah mati-matian berusaha menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh.

"Sudahlah, hentikan!" Akhirnya Diah dengan sangat terpaksa membuka mulut juga. Setelah dari tadi ia hanya diam seribu bahasa.

"Ibu, maafkan aku, Bu, tapi Ibu dari dulu sangat tahu, kalau aku begitu mencintai Rona. Aku benar-benar tak bisa lagi hidup tanpanya, Bu, sekarang bisakah, Ibu menerima dia sebagai pendampingku Bu, kedua putriku, mereka juga sangat setuju dengan hubungan kami ini." Pono masih dengan posisi bersujud di kaki sang ibu, memohon sambil terisak.

Pedih, Diah mencoba menarik napas panjang, dan menghempaskannya. Ditariknya kaki yang masih dipegangi kedua sejoli itu, walau tidak sekuat tadi.

"bangunlah kalian, dan silahkan duduk," ucap Diah dengan suara yang terdengar tenang, sembari menselonjorkan kakinya di atas lantai beralas tikar pandan.

Dengan patuh, kedua orang yang telah resmi menjadi suami istri itu duduk di hadapan Diah, dengan wajah penuh harap.

Diah memandangi wajah sang putra dengan seksama, terlihat jelas di sana pengharapan yang ia sangat tahu itu. Bohong kalau ia tak merasa iba, bagaimanapun Rizwan adalah anak satu-satunya, yang diharapkanya kelak akan mengantarkan dan mendoakannya ketempat peristirahatan terakhir nanti. Kadang di hati masih ada lagi penyesalan, mengapa Tuhan cuma memberikan satu anak saja padanya. Tapi ia cepat-cepat membuang pikiran itu, tidak mau lagi menyalahkan yang Maha Kuasa, atas apa yamg terjadi pada dirinya.

Kemudian netra tua itu menatap wajah di sebelah putranya. Rasanya masih sama, seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk sebongkah daging daging dalam dada, Diah memejamkan mata 'tenang, Diah. Dia itu hanya anak Ermi' batinnya. Namun saat membuka mata ia tetap saja tak bisa membuang rasa benci itu.

"Bu, kami mohon Bu, sudah cukup Ibu melampiaskan sakit masa lalu kepada Rona, toh, Rona tak tahu apa-apa, lagi pula Bu Ermi dan Pak Rustam telah tiada, kalau memang mereka bersalah kepada Ibu, biar Tuhan saja yang membalas." Mendengar perkataan putranya itu, Diah sadar kalau selama ini terlalu memaksakan kekerasan hatinya. Tak ada guna lagi mempertahankan keinginan hati yang tidak dimengerti anaknya.

"Rizwan, anakku, maafkan Ibu nak. Kalau selama ini terlalu memaksakan kehendak padamu. Namun, sekarang keinginan hatimu telah terpenuhi kan? Maka silahkan jalani hidup bersama orang yang kau cintai, Nak. Aku juga tak mungkin memutus tali pernikahan kalian."

"Sekarang Rona telah menjadi menantuku, semua orang sudah tahu itu. Namun, ingatlah satu hal, hatiku takkan pernah bisa menerimanya. Silahkan kalian hidup berumah tangga, tapi aku tak bisa mendoakan kalian, kalaupun aku mau tapi hatiku tak pernah ikhlas, jadi percuma saja. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian. Silahkan datang kapanpun kalian mau. Tapi tidak pintu hatiku. Selamanya sampai aku mati nanti, hatiku tak akan pernah restu Nak."

Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya, Diah beranjak dari duduk, menjauh dari dua orang yang menatapnya dengan berurai air mata.

Selesai.

Foto:. Dokumentasi pribadi
*Kucindan:bercanda
*Alek:. Pesta
Diubah oleh ejawahyuni90 08-10-2019 01:47
lina.wherina79purbaanasabila
anasabila dan 15 lainnya memberi reputasi
16
1.6K
34
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.