i.am.legend.Avatar border
TS
i.am.legend.
Ratusan Anggota DPR Mangkir Sidang Paripurna, Pengamat: Perlu Sanksi Sosial


Ratusan Anggota DPR Mangkir Sidang Paripurna, Pengamat: Perlu Sanksi Sosial

KOMPAS.com - Sebanyak 335 dari total 711 anggota DPR dan DPD dikabarkan tidak hadir dalam sidang paripurna MPR, Rabu (2/10/2019).

Padahal, sebelumnya mereka baru saja dilantik Selasa (1/10/2019).

Bahkan, salah satu pimpinan MPR sementara yang harusnya memimpin sidang, juga tidak hadir, yakni Sabam Sirait.

Menanggapi hal tersebut, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Kuskridho Ambardi mengatakan kehadiran anggota DPR di Rapat Paripurna penting untuk menandai keseriusan mereka dalam bekerja.

Rapat paripurna, menurut Dody, sebetulnya hanya ujung dari proses panjang perumusan undang-undang. Sifatnya hanya simbolik.

"Meskipun sifatnya hanya simbolik, tapi menjadi sorotan publik karena menandai sebuah periode baru. Jadi kehadiran mereka itu penting untuk sekedar menunjukkan keseriusan mereka menjadi wakil rakyat," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (2/1/2019).

lebih lanjut, dia mengatakan bahwa ketidakhadiran dari anggota DPR sudah menjadi kebiasaan.

"Tapi, kalau melihat sejarah panjang kehadiran anggota DPR dalam sidang pleno, nampaknya kebiasaan absen itu sangat biasa. Ada problem etis dalam kultur DPR," paparnya.

Selain itu, Dody juga menambahkan bahwa ketidakhadiran tersebut akan terus berulang dan dianggap normal.

Walaupun telah disorot media, menurut Dody, hal itu tidak berpengaruh. Lantaran tidak ada sanksi politik dan sanksi sosial yang diberikan kepada anggota dewan yang secara sengaja tidak hadir.

Dody menyarankan agar anggota dewan yang "bolos" untuk diberikan sanksi sosial.

"Bila denda, mungkin tidak akan berpengaruh. Sebab, gaji mereka (anggota DPR) besar dan bahkan sebagian dari mereka tidak memerlukan gaji," papar dia.

"Sanksi sosial mungkin lebih bagus. Dimulai dari mempublikasi nama yang tidak hadir, dan datanya dapat diakses oleh publik," katanya lagi.

Pemandangan Suram

Sementara itu, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan, bolosnya anggota DPR dan DPD tersebut merupakan salah satu pemandangan yang membuat DPR dan DPD terlihat sudah suram sejak awal.

"Bagaimana mau mengembalikan kepercayaan publik jika sedari awal komitmen untuk kerja itu nyatanya tak bisa diperlihatkan melalui kehadiran dalam rapat-rapat?," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Rabu (2/10/2019).

"Bagaimana mereka mau mengoreksi potret buruk parlemen terdahulu jika di babak paling awal yang dipertontonkan justru laku tak terpuji dengan mengabaikan kehadiran dalam rapat paripurna?," lanjut dia.

Padahal menurut Lucius, Ketua DPR Puan Maharani baru saja menyingung soal kehadiran ini.

Lebih lanjut Lucius mengatakan, belum juga lewat sehari, komitmen Ketua DPR yang baru sudah berani diabaikan oleh anggota DPR.

Kendati demikian, Lucius berpendapat bahwa ketidakhadiran dari beberapa anggota DPD tidak perlu disorot.

"Kalau DPD sih kelihatannya tak perlu disorot ya. Lembaga ini kan sebagai pelengkap sistem parlemen kita," papar dia.

Lucius mengungkapkan, hal tersebut tidak perlu dibawa ke ranah yang lebih serius.

"Tetapi tak mesti diseriusin karena mereka bahkan mulai tak serius mendorong penguatan lembaga, proses memilih pimpinan DPD tidak didesain untuk penguatan lembaga tapi sekadarnya saja. Banyaknya politisi yang bermain di DPD juga jadi signal DPD makin tak penting untuk diseriusi," kata Lucius lagi.

Kelakuan Malas

Menurut dia, tantangan pertama anggota DPR dan DPD tidak terlalu berat, yang terpenting ialah mampu menunjukkan niat mereka untuk mau bekerja keras.

Hadir dalam rapat yang diagendakan saja mungkin akan membuat publik yakin, parlemen baru akan mampu mendorong perubahan dan bisa diandalkan untuk menjadi wakil rakyat sesungguhnya.

Namun, potret pada hari kedua, menurut Lucius, banyaknya anggota yang tidak hadir di paripurna hari kedua langsung menghempaskan optimisme awal itu.

"Lalu kalau kelakuan malas ini sudah sejak awal dipertontonkan apalah kita harus juga bersiap-siap menyambut kelakuan lain seperti korupsi dan kinerja legislasi buruk yang di periode sebelumnya juga menjadi primadona sebagian anggota?," imbuh dia.

Selain itu, menurut dia, secara aturan, soal kehadiran dan ketidakhadiran memang diatur dengan semangat lemah di UU MD3 dan Tata Tertib DPR.

"Tetapi mestinya anggota DPR tidak lalu berlindung di balik lemahnya aturan tersebut untuk memelihara kemalasan mereka," terang dia.
sumber

☆☆☆☆☆

Heran? Jangan.
Ini pemandangan biasa. Bahkan karena sudah biasa maka rakyat Indonesia pun melihatnya jadi biasa-biasa aja. Justru yang luar biasa itu kalau kita melihat mereka datang full sesuai jumlah mereka, merancang undang-undang atas nama rakyat, dan setuju pada satu keputusan yang bulat demi rakyat.

Tapi mana mungkin?
Mereka itu wakil partai, bukan wakil rakyat, meskipun mereka dipilih oleh rakyat. Suara mereka adalah suara partai, mengamankan apapun juga demi partai. Bodoh jika masih ada yang membela mereka karena merasa sebagai konstituen sebuah partai.

Sama halnya dengan DPD, sebenarnya mereka adalah wakil partai, meskipun tak terafiliasi dengan sebuah partai, namun setiap personalnya kebanyakan adalah bekas orang partai yang terbuang, yang mencari peruntungan dengan menjadi anggota DPD, dan selebihnya adalah anak, kerabat mantan anggota partai.

Jika kita berharap anggota MPR/DPR atau DPD punya rasa malu, lebih baik buang jauh-jauh. Kebal bacok atau kebal peluru belum seberapa dibandingkan dengan kebal disindir. Jangan cari muka mereka karena mereka jelas tak punya muka. Makanya kadang mereka suka cari muka kepada rakyat.

Jangan harap mereka punya rasa malu. Bahkan andai tertangkap korupsipun mereka masih bisa tertawa. Lalu siapa yang patut dipersalahkan?
Rakyat? Atau pemimpin partai?

Jika rakyat dipersalahkan, rakyat memilih dalam pileg pasti berharap yang terbaik. Dan yang terbaik ini pastinya diketahui oleh pemimpin partai. Jadi, andai ada kadernya yang menjadi wakil rakyat, seharusnya pemimpin partai bisa bersikap tegas terhadap mereka yang suka membolos untuk mengikuti sidang, atau tertidur dalam rapat. Bukan cuma memecat mereka andai terjerat korupsi. Kalau pemimpin partai hanya membiarkan kadernya yang duduk di bangku dewan berbuat semaunya, maka pemimpin partai itu tak ubahnya sebagai pemimpin penyamun, yang mengkomando anak buahnya merampok uang rakyat dengan berbagai macam dalih.

Kasus ketidakhadiran yang katanya wakil rakyat, bukan fenomena luar biasa. Berani bertaruh, mereka yang tidak hadir pasti sebagian besar adalah mereka yang juga duduk di bangku dewan periode 2014-2019, karena mereka sudah tahu seluk beluknya dan sudah sering melakukannya.

Lantas apa yang diharapkan dari mereka?

Kemarin di Kaskus ini, ada yang menyindir, katanya Presiden udah dari PDIP. Ketua DPRnya juga sekarang dari PDIP. Pasti DPRnya melempem, gak akan bisa mengawasi Pemerintah. Lha memang waktu periode 2014-2019, apa DPRnya gak melempem? Berapa UU yang dihasilkan mereka? Nyatanya semua dipaksakan selesai diujung periode mereka sekedar untuk kelihatan bekerja. Bahkan UU KPK, RKUHP, dan UU lain yang semuanya jadi masalah dan dituntut oleh elemen mahasiswa adalah juga buah tangan mereka. Sementara pimpinan-pimpinannya justru sibuk memerankan tokoh antagonis, merasa paling bagus dan paling benar, padahal busuk! Yang satu terus menyerang KPK. Satunya lagi sibuk nyinyir dan membuat sajak.

Lantas, apa Puan Maharani yang menjadi Ketua Dewan sekarang ini bisa menghilangkan imej buruk dewan rakyat? Gak akan bisa! Puan gak punya kuasa untuk mengatur anggota dewan, sebab aturan telah dibuat jelas dan itu sebenarnya wajib dipatuhi oleh anggota dewan.

Kalau banyak orang berkata bahwa Reformasi dikorupsi, maka sebenarnya sejak setelah reformasi 1998 bergulir, reformasi telah dikorupsi. Bukan sekarang. Itu sudah jauh-jauh hari. Lantas siapa yang mengkorupsi reformasi? Dewan! Mereka adalah manusia-manusia tak tahu malu dan tak kenal diuntung.

Mereka bisa duduk disana karena darah mahasiswa, darah rakyat era reformasi. Jika bukan karena mahasiswa, takkan pernah ada yang namanya partai kecuali 3 partai yang dianggap halal, PPP-Golkar-PDI. Dan kalau tak ada partai lain, tak akan pernah mereka-merek ada di gedung dewan.

Jadi, cuma orang tolol yang hanya menyerang 1 partai.
Cuma orang tolol yang hanya menyerang pemerintah.
Cuma orang tolol yang bilang sekarang reformasi dikorupsi.
Kalau anggapan ini dianggap salah, artinya mata mereka ketutup tai!



Diubah oleh i.am.legend. 06-10-2019 16:04
ugtraveler
kojojotojo
salvation101
salvation101 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
2.3K
42
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.9KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.