moviegangstaAvatar border
TS
moviegangsta
Bisa Bertemu? Bisa Bicara tentang Waktu itu? | CERPEN [ROMANCE]
Bisa Bertemu? Bisa Bicara tentang Waktu itu?

Sebuah cerita pendek romansa tentang "Aku" dan "Dia" yang rumit. Tentang perasaanku yang tidak bisa kuutarakan secara langsung. Tentang hidupku yang kurasa terkutuk kalau soal cinta.


Spoiler for PEMBERITAHUAN:





Ada telepon masuk ke ponselku. Berkali-kali. Aku hanya merasakan getarannya di atas meja namun enggan untuk melirik. Tidak ada nama yang muncul di sana, hanya nomor yang sepertinya familiar. Sepertinya. Aku bahkan tidak ingin benar-benar memanfaatkan ingatanku terhadap nomor itu, kuharap tidak seperti yang aku pikirkan. Aku separo enggan, separo penasaran. Ingin tahu, tapi juga takut di saat bersamaan.

“Dia mau apa lagi sih?” kataku.

Kalau memang itu dia.

Kali ini aku membatin.

“Lo beneran nggak mau angkat itu?”tanya temanku yang duduk di meja yang sama, melirik ke ponsel yang masih menyala dan bergetar, lalu mendadak berhenti dan menampilkan 23 missed call.

Aku menggeleng.

Aku tidak tahu apakah aku menggeleng karena memang aku tidak ingin mengangkat telepon itu atau aku menggeleng karena aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Itu sudah pasti dia. Aku ingat buntut nomor ponselnya seperti aku mengingat kenangan-kenangan lama tentangnya. Bersamanya. Tentang hari itu.

--



--


Panik.

Mungkin itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaanku. Aku merasa sudah lelah memendam perasaan kepadanya. Ke orang itu. Jadi kupikir sudah waktunya aku mengungkapkan semuanya. Lagipula dia seharusnya sudah tahu karena selama ini gerak-gerikku sudah sangat jelas menunjukkan kalau aku menyukainya. Aku menyukainya dengan sangat. Aku sangat-sangat menyukainya.

Kecuali kalau dia memang sebodoh itu dan setidak peka itu.

Aku menarik napas dalam sembari meyakinkan diriku bahwa setelah ini aku akan baik-baik saja.

Aku bukan orang yang bisa dengan mudah mengutarakan perasaanku dengan bicara langsung. Seringkali kucoba untuk terbuka dengan Mama atau kakakku, semuanya akan berakhir kaku dan canggung. Aku tidak ingin jadi kaku di depan dia. Jadi sebaiknya aku melakukannya dengan cara yang menurutku bisa memberikanku sedikit kepercayaan diri lebih: ditulis saja.

Sore itu aku mulai menulis. Kalimat demi kalimat. Memilih kata-kata dengan hati-hati. Menceritakan bagaimana selama ini aku jatuh cinta pada dia. Membuka tulisan itu dengan sebuah kutipan yang kubuat sendiri “entah ini perasaan dari Tuhan, atau dari setan.”

Kami berteman. Aku tahu dia tidak menyukaiku. Atau mungkin terbersit sedikit perasaan untuk menyukaiku. Tapi toh aku harus mengutarakan perasaan ini juga untuk benar-beanr tahu. Untuk benar-benar mendengar jawabannya.

“Kamu nggak pernah tahu rasanya gimana memendam perasaan dan menahan cemburu. Ah... mungkin kamu pernah merasakannya, tapi bukan buat aku.”


Aku sangat menyayangi orang ini.

Sayang sekali.

Sayang sekali dia tidak menyukaiku.

Lalu setelah aku menyelesaikan surat itu kupikir semuanya sudah aman. Tapi kemudian aku menyadari bahwa surat itu saja sudah salah. Aku tidak boleh meninggalkan sedikitpun jejak. Orang-orang tidak boleh tahu aku menyukainya. Karena kurasa dia pun tidak mau orang-orang tahu bahwa aku menyukainya.

“Berspekulasi lagi!”

Salah satu temanku pasti akan bilang begitu kalau aku mengatakan padanya soal kalimat terakhir tadi. Tapi memang begitu adanya. Aku tahu. Aku hanya tahu. Aku seolah sudah mengerti bagaimana jalan pikirannya. Aku tahu dia tidak akan suka pengakuan ini. Aku tahu dia tidak akan suka surat ini. Dan surat akan meninggalkan jejak. Aku harus mencari jalan lain untuk mengutarakan perasaan ini. Tapi apa...?

Kalau aku tidak bisa bicara langsung...

Kalau bisa tidak langsung...

Aku melirik ponselku dan membuka aplikasi perekam suara, lalu membaca surat itu pelan-pelan sambil merekamnya.

Aku akan mengunggah rekaman suara itu ke cloud dan memberi akses hanya ke dia. Ketika dia sudah mendengarkannya aku akan menghapusnya nanti. Aku akan membuat file itu seperti dokumen rahasia yang bisa hancur dan hilang dengan sendirinya tanpa jejak digital.

Aku akan melakukan itu.

Tapi lalu, bagaimana cara memberikannya?

--



Ceritaku soal pengakuan ini memang agak aneh dan kamu mungkin akan sulit untuk percaya. Tapi aku bisa jamin kalau ini seratus persen nyata.

Aku mengundangnya ke sebuah acara makan-makan sore. Hanya kami berdua. Malamnya kami akan menonton acara musik bersama. Ini adalah momen yang sudah kami nanti-nantikan. Acara musiknya, maksudku. Sementara menghabiskan waktu dengan dia mungkin hanya aku yang menginginkannya. Karena jauh di lubuk hatiku aku tahu dia tidak begitu nyaman menghabiskan waktu denganku.

Tapi malam ini aku akan mendengar langsung jawabannya.

Serangan panik itu datang lagi ketika konser selesai dan sudah waktunya kami berpisah untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing. Aku menggenggam sebuah flash drive di tanganku yang akan kuberikan untuknya. Sebuah flash drive dengan potongan selembar kertas berisi pemberitahuan untuk mendengarkannya sebelum hari ini berakhir.

Dia tertawa. Agak mengejek.

“Apaan sih?”

“Dengerin aja. Itu perasaanku.”kataku.

Aku tidak melihat ekspresinya ketika mengatakan itu karena aku langsung pergi. Dan dalam perjalanan pulang itu panik kembali menyerangku.

Aku merasa tidak ingin mendengar jawaban apapun darinya.

Aku merasa tidak ingin berhubungan lagi dengannya.

Karena aku yakin setelah ini dia pun tidak ingin berhubungan lagi denganku. Aku yakin.

Flash drive itu berisi sebuah dokumen yang bertuliskan tautan yang harus dia buka. Di dalam tautan itu ada rekaman suaraku. Rekaman suara isi hatiku. Curahan perasaanku untuknya. Serangan panik itu datang karena pikiran-pikiran yang menyerang tentang bagaimana dia akan menanggapi semua itu. Suaraku yang tidak enak di telinga serta curahan perasaan yang agak canggung.

Dia tidak suka aku. Aku tahu. Tapi aku ingin mendengar jawabannya sendiri dari dia. Aku menunggu hingga tengah malam dan tidak ada apapun. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Tidak ada apapun.

Dia tidak mendengarkannya, kah?

Dia tidak mau menanggapinya, kah?

Dia tidak suka aku? Itu sudah pasti.

Atau dia dalam perjalanan ke tempat tinggalku dan ingin bertemu denganku lalu memelukku erat dan bilang dia juga punya perasaan yang sama?

Yang satu itu pastilah hanya halusinasiku.

Bodoh sekali rasanya.

Aku menunggu sambil berdebar. Jantungku tidak bersahabat lagi. Debarannya terlalu kencang sampai aku susah tidur. Tapi pelan-pelan aku lelah juga. Menunggu jawaban ternyata melelahkan. Aku pun tertidur.

Ketika terbangun keesokan harinya aku menerima pesan darinya:

Spoiler for Pesan darinya:


Baik.

Dunia memang sekejam itu padaku.

--

Aku tidak sempat mencuci muka. Boro-boro cuci muka, aku bahkan tidak bisa bernapas dengan lancar ketika membaca pesan itu. Kepanikanku semalam rasanya sia-sia saja. Tolong lupakan halusinasi bodoh itu juga.

Aku membalas pesan itu singkat dengan link yang seharusnya dia buka lalu, ya, lagi, aku panik lagi. Kali ini menunggu apa tanggapannya setelah mendengar rekaman itu. Aku hanya butuh satu kalimat saja, aku tidak peduli kalimat yang lain. Aku hanya ingin tahu apakah dia menyukaiku atau tidak. Apakah dia menerima pengakuan perasaanku itu dan mau berhubungan serius denganku atau tidak.

“Aku tidak punya keinginan lain selain dirimu. Menahan perasaan seperti ini rasanya seperti mau mati. Tolong jawab aku dengan sejujur-jujurnya, aku akan terima apapun jawaban darimu.”


--

Ponselku bergetar. Satu pesan masuk.

Hatiku mencelos. Kepalaku mendadak pusing. Kepanikan itu hilang, bersyukur rasanya, meski kemudian tergantikan dengan kesedihan dan rasa pilu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Dadaku sesak, tapi rasa sesak yang kali ini berbeda. Otot-ototku rasanya seperti melemas dan seolah tak bisa lagi melakukan apapun. Air mataku mendadak menetes. Pipiku sudah basah. Rasanya ingin menangis sekeras-kerasnya.

Perasaan macam apa ini?

Kenapa campur aduk begini?

Tanganku gemetar. Kakiku mendadak dingin. Udara di sekitarku sepertinya berkurang secara drastis dan napasku jadi pendek-pendek.

Bagaimana aku harus mendeskripsikan perasaanku saat itu?

Spoiler for Jawaban darinya:


--



“Demi Tuhan, angkat deh!”

Aku melirik ke ponselku lagi setelah pikiranku melayang ke momen dua tahun yang lalu. Dia menelepon lagi. Untuk yang ke 50 kalinya.

“Lo aja yang angkat, mau nggak?” aku menyodorkan ponsel itu ke temanku.
“Siapa sih? Telemarketing asuransi?”

“Orang yang gue suka dulu, tapi nolak gue. Sekarang gue nggak tahu kenapa dia mendadak nelepon. Gue nggak mau ngomong sama dia lagi. Gue nggak bisa. Ini gue udah bakalan kena panic attack lagi sebentar lagi karena gue bisa merasakannya. Bilang aja gue udah mati,”

“Gila kali!”
dia menolak menjawab telepon itu sampai akhirnya ponselku berhenti bergetar. Setelah notifikasi 51 missed call muncul, sebuah pesan teks masuk.

Dari dia.

Aku bersumpah demi Tuhan kepalaku rasanya mau pecah. Aku mulai terserang panik yang sudah tidak pernah lagi aku rasakan sejak malam aku memberikan flash drive itu padanya. Sesederhana menekan layar ponsel saja aku tidak sanggup.

Aku menarik napas panjang. Menahannya sebentar. Lalu mengembuskannya sambil menekan layar ponsel untuk membuka pesan itu.

Spoiler for Pesan dari dia:


--- TAMAT ---


Spoiler for Credits:
KnightDruid
anasabila
someshitness
someshitness dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.2K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.