cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
Aborsi


Serial Hana dan Ruang Forensik

Quote:


Keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialislah yang telah mengantarkanku kembali ke kota ini, kota di mana ibu mertua tinggal. Alasannya mengambil prodi di sini cukup sederhana, karena akan ada orang terpercaya yang mengawasi anak-anak selama aku kuliah lagi. Ibu mertua sendirilah yang mengusulkan itu. Hubungan kami sangat manis. Bahkan beliau lebih memanjakanku dibanding anaknya sendiri.

Anak pertamaku bernama Tyas, umurnya sudah sembilan tahun, kelas tiga SD, sedangkan anak keduaku bernama Rifki, baru lima tahun, masih TK. Suamiku tetap tinggal di kota kabupaten yang berjarak empat jam perjalanan dari rumah ibunya, di mana kami tinggal selama ini.

Kebetulan aku mengambil spesialisasi forensik. Entah kenapa aku sangat menyukai ilmu forensik. Dulu ketika aku masih menempuh pendidikan dokter umum, membaca diktat forensik bagiku seperti membaca novel Agatha Christie, dan semangatku dalam membacanya seperti semangat Hercule Poirot dalam memecahkan kasus.

Pagi aku berkata pada ibu mertua, akan mempekerjakan seorang pembantu rumah tangga untuk membantu kami di rumah. Pasti pekerjaan beliau akan bertambah dengan kehadiran kami. Terutama kehadiran Rifki yang kecepatannya memberantakkan isi rumah lebih cepat dari kecepatan siapapun membereskan rumah.

"Dari mana kamu dapat pembantu itu, Hana?" Ibu mertuaku bertanya.

"Dari Nofie, Ma. Dia teman kuliahku dulu. Nofie sekarang sedang ambil spesialis anak di sini."

"Oh, ya sudah. Yang penting ada referensi," kata ibu mertuaku.

"Iya, Ma, Hana juga takut kalau mempekerjakan ART tanpa referensi. Kata Nofie, ART yang mau kerja di sini itu sepupu dari ART Nofie. Namanya Maya. Umurnya sekitar empat puluh lima tahun, Ma."

"Baiklah kalau begitu."

Aku pun segera pamit, mencium tangan ibu mertua dan mengucapkan salam padanya.

Sesampainya di rumah sakit, aku melewati pintu gerbang kamar mayat, pintu antara ruang anatomi dan kamar mayat (kalau aku tak mau melintas di dalam kamar mayat), kemudian sampai di depan ruang forensik. Dian dan Hardi, kedua temanku sesama residen --dokter umum yang mengambil spesialisasi--forensik, telah duduk manis di ruang itu bersama beberapa dokter muda. Aku segera bergabung dengan mereka, menunggu dosen senior datang. Hari ini kami akan membuat visum dan mengotopsi jenazah.

Dosen senior kami muncul di ambang pintu dan meminta kami mengikutinya ke sebuah ruangan. Di sana terbujur 3 jenazah. Yang pertama seorang lelaki tua bertubuh tambun etnis Tionghoa yang ditemukan meninggal di sebuah kuil Budha. Yang kedua lelaki setengah baya, seorang tukang yang tersengat listrik. Sedangkan yang ketiga seorang mahasiswi sebuah universitas swasta yang meninggal diduga karena praktek aborsi seorang dukun.

Jenazah pertama dan kedua hanya dimintakan visum et repertum saja, sehingga tak membutuhkan waktu lama untuk mengerjakannya.

Sedangkan jenazah ketiga dimintakan otopsi untuk melengkapi berkas perkara. Dukun yang diduga melakukan praktek aborsi kepada gadis itu sudah ditangkap dan ditahan di kantor polisi.

Seperti biasa sebelum kami melakukan tindakan terhadap jenazah, kami berdoa menurut agama kami masing-masing.

Kain penutup jenazah dibuka. Tampak sosok gadis yang lumayan manis dengan bentuk tubuh yang ideal dan seksi. Dosen senior kami mulai melakukan otopsi. Sambil memberikan keterangan-keterangan kepada kami di setiap organ yang diperiksanya.

***

Hari sudah cukup sore ketika aku pulang. Seorang wanita telah menungguku. Bu maya, orang yang dijanjikan Nofie untuk bekerja padaku. Kami berbasa basi sebentar kemudian sampai ke inti pembicaraan, yaitu tentang gaji dan pekerjaan apa saja yang menjadi kewajibannya. Tak berapa lama wanita itu pun berpamitan pulang.

Keesokan harinya wanita itu datang tepat waktu. Pukul enam pagi. Aku tersenyum kemudian memintanya mengikutiku menuju kamar anak. Kuperkenalkan dia pada kedua anakku. Kewajibannya yang utama adalah mengantar jemput Rifki ke sekolahnya. Yang ke dua adalah membantu ibu mertua membersihkan rumah dan menyetrika.

Pada awalnya pekerjaan Bu Maya lumayan bagus. Aku merasa cukup tenang menyerahkan Rifki untuk diantar jemput sekolah olehnya.Tapi belum genap sebulan wanita itu bekerja pada kami, aku melihatnya berbuat kasar kepada anak-anak. Aku yang waktu itu kembali pulang untuk mengambil buku yang ketinggalan, melihatnya menarik tangan Rifki dengan kasar di depan pintu pagar. Aku melotot padanya dan dia merasa takut.

"Apa-apaan ini, Bu?" kataku sengit. "Kok kasar gitu sama Rifki?"

"Maaf, Bu ... saya tak bermaksud begitu, tadi hanya ... anu ... Rifki rewel ... emmm ...." Wanita itu sepertinya bingung mencari alasan.

Aku menggandeng Rifki masuk rumah, Bu Maya mengikuti dari belakang.

"Ada apa, Hana? Kenapa kembali?" tanya ibu mertuaku heran.

"Tanya saja padanya," jawabku ketus menunjuk ke arah Bu Maya.

"Maafkan saya, Bu, saya sedang kalut." Bu Maya mulai menangis.

"Memangnya ada apa?" tanyaku masih dengan perasaan marah.

"Anak saya yang masih SMA hamil, Bu." kata wanita itu. Suara tangisnya mengeras.

"Siapa yang menghamili?" Spontan aku bertanya.

"Pacarnya," jawab bu Maya. "Tapi pacarnya juga masih SMA dan tidak mau bertanggung jawab. Katanya hubungan mereka didasari suka sama suka."

Amarahku pada wanita itu sedikit demi sedikit mereda. Aku berpikir keras untuk bisa menolong wanita malang itu.

"Apa anak ibu sudah melakukan tes kehamilan?" tanyaku.

"Belum. Tapi sudah dua bulan ini tidak haid dan sering muntah-muntah di pagi hari," jawab Bu Maya.

"Begini saja, Bu. Bawa anak itu sore nanti ke sini. Saya ingin bertemu dengannya. Ada yang ingin saya bicarakan," kataku pada wanita itu.

"Ma, Hana sudah telat nih. Titip Rifki ya, Ma," kataku pada ibu mertuaku. Berharap beliau mengantarkan anak bungsuku itu ke sekolahnya hari ini.

Ketika aku sampai di ruang forensik, diskusi kasus sudah dimulai.

***

Bu Maya mengantarkan anaknya ke rumah ibu mertuaku malam hari selepas isya. Gadis itu baru enam belas tahun, tapi memiliki kesempurnaan tubuh seperti wanita dewasa. Wajahnya biasa saja. Matanya terlihat sayu dan sikapnya acuh tak acuh. Aku mengajaknya ke kamar dan membiarkan ibunya di ruang tamu.

Kututup pintu kamar rapat-rapat supaya tidak ada seorangpun bisa mendengar percakapan kami. Itu akan membuat gadis di depanku menjadi leluasa berbicara. Harapanku seperti itu.

"Siapa namamu?" tanyaku.

"Susi."

"Begini, Susi, kita hanya berdua di sini. Tak ada yang bisa mendengarkan pembicaraan kita. Aku ingin Susi menceritakan yang sebenarnya tentang apa yang terjadi," kataku sambil menatap dua bola mata sayu di depanku, mencoba menyelami apa yang ada di baliknya. "Aku ingin menolongmu, Sus. Kamu jangan takut. Apakah kamu hamil?"

"Entahlah, Bu, saya belum memeriksakannya ke dokter. Hanya setiap pagi saya merasa sangat mual, hingga bisa muntah-muntah berapa kali."

"Kalau begitu, mari kita tes. Letakkan air senimu di sini," kataku sambil menyodorkan botol kecil dan menunjukkan letak kamar mandi.

Gadis itu pun untuk beberapa saat menghilang di dalam kamar mandi kemudian muncul dengan membawa sebotol kecil urine. Aku segera memcelupkan alat test kehamilan dan hasilnya positif.

"Hasilnya positif, Sus," kataku. " Jadi ini janinmu bersama siapa?" tanyaku kepada gadis itu. Susi tersenyum kecut kemudian menatap kosong ke dinding. Mulutnya terkunci. Sejenak susana menjadi hening. Aku biarkan gadis itu menenangkan dirinya terlebih dulu. Aku tak mau mendesaknya supaya dia merasa nyaman.

"Ceritanya panjang, Bu ...." Gadis itu mulai terisak. Suaranya terdengar serak dan tertekan. "Saya tidak tahu ini anak siapa."

"Maksudmu kamu tidak hanya tidur dengan satu lelaki?" Gadis itu mengangguk.

"Waktu itu tengah malam, hujan turun dengan deras. Ibu sudah tertidur lelap dan Bapak baru pulang dalam keadaan mabuk. Bapaklah yang menghancurkan kesucian saya, Bu." Aku terkejut luar biasa. Amarahku mendadak bergejolak.
Gadis itu menangis sesenggukan untuk beberapa saat. Aku mengusap punggungnya. Berusaha menguatkan punggung yang menanggung beban berat untuk anak seusianya.

"Paginya ketika dia sadar, dia mengancam akan menceraikan bahkan membunuh Ibu jika sampai saya menceritakan hal itu." Gadis itu melanjutkan ceritanya ketika sudah bisa menguasai diri. "Saya sangat sayang Ibu saya. Saya tak mau sesuatu terjadi padanya. Jadi saya putuskan untuk diam." Gadis itu kembali sesenggukan. "Tapi hal itu tidak hanya terjadi sekali, sejak saat itu Bapak sering kali menyelinap ke kamar tanpa sepengetahuan ibu."

Kuulurkan selembar tissue pada Susi. Gadis itu menyeka air matanya.

"Kemudian saya berpacaran dengan seorang cowok dan sayapun melakukannya dengannya. Saya sudah hancur, Bu, tidak ada lagi masa depan untuk diselamatkan."

Aku tertegun untuk beberapa saat. Cerita ini sungguh tak kuduga sama sekali. Aku mencoba mendapatkan jalan keluar bagi gadis belia depanku itu.

"Bagaimana kalau saya gugurkan saja kandungan ini, Bu?" tanya Susi membuatku tersentak kaget.

"Apakah kamu mau membunuh nyawa yang tak berdosa itu, Sus?"

"Kelahirannya di dunia tidak ada yang mengharapkan, Bu, dia tidak akan hidup bahagia ...." Mata Susi menerawang jauh. Aku terdiam sejenak.

"Bagaimana kalau besok aku membawamu ke lembaga perlindungan anak, agar kamu mendapatkan bantuan hukum? Bagaimana menurutmu?" tanyaku pada gadis itu. "Kita akan bertanya adakah kemungkinan aborsi legal dilakukan dalam kasusmu ini, Sus. Datanglah ke sini jam delapan. Aku akan minta ijin kuliah agar bisa mengantarmu."

Susi tidak langsung menjawab. Gadis itu seperti ragu. "Baiklah, Bu. Besok pagi saya ke sini." Tak kuduga dia akan menyetujuinya.

Aku menyodorkan selembar tissue lagi pada Susi. Gadis itu mengusap air matanya.

"Aku tunggu besok pagi ya, Sus," kataku. "Jangan beritahukan ini kepada orang tuamu." Gadis itu mengangguk. Aku merasa sedikit lega.

Kami kemudian ke luar kamar. Di ruang tamu, Bu Maya menyambut putrinya dengan pandangan menyelidik.

Keesokan harinya baik Bu Maya dan Susi tidak datang ke rumahku. Apakah Bu Maya atau suaminya tahu ke mana tujuan kami hari ini sehingga mereka mencegahnya? Terutama ayah Susi?

Aku tidak jadi bolos kuliah hari itu dan mengikuti kegiatan seperti biasa.

***

Ini hari ke dua Bu Maya tidak masuk kerja tanpa pemberitahuan. Susi juga tak memenuhi janjinya untuk datang. Apa gerangan yang terjadi pada gadis itu? Aku gelisah.

Pagi ini sangat mendung. Ketika aku sampai di ruang forensik hujan turun dengan deras.

Seperti biasa, kegiatan pagi ini diawali doa. Kami akan mengotopsi jenazah yang diantar tengah malam tadi.

"Ini korban aborsi illegal," kata rekanku seraya membuka penutup jenazah itu. Alangkah terkejutnya aku, karena yang tampak adalah wajah Susi!

"Susi?!" aku terpekik.

"Kamu mengenalnya?" tanya seniorku.

"Dua hari yang lalu saya berbicara secara pribadi dengannya."

Otopsi segera dilakukan oleh dosen senior. Perasaan mengharu biru menderaku. Aku hampir tak kuasa menahan tangis. Semoga Tuhan mengampuninya. Anak yang seharusnya mendapat perlindungan dari orang tua tapi malah sebaliknya. Orang tua merusaknya.

Kudengar dari Nofie kalau Bu Maya ditangkap polisi karena dia yang membawa Susi ke dukun. Bagaimana dengan penjahat sebenarnya, yang menjadi latar belakang tragedi ini? Dia masih melenggang bebas sementara anaknya meninggal dan istrinya masuk tahanan.

Bersambung
Diubah oleh cattleyaonly 14-09-2020 06:26
someshitness
kembojakuning
pulaukapok
pulaukapok dan 37 lainnya memberi reputasi
38
16K
145
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.