londo.046
TS
londo.046
"Mas Adhit, Aku Pengen Camping"


Suntuk, Jenuh dan penuh masalah. Kombinasi yang tepat buat gw untuk "pergi" sejenak tinggalkan rutinitas harian. Dari semua opsi yang mungkin diambil, gw putuskan untuk naik gunung. Selain murah, ada satu gunung yang dari dulu ingin gw taklukkan. Lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal gw, tapi justru belum pernah gw jejaki puncaknya. Padahal, beberapa puncak di negeri ini sudah gw jejaki. Gunung Muria, dengan puncaknya yang dikenal dengan puncak songolikur. Songolikur sendiri adalah istilah dalam bahasa jawa, yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia artinya duapuluh sembilan. Puncak duapuluh sembilan tidak terlalu tinggi, hanya mempunyai ketinggian 1600an di atas permukaan laut. Jauh di bawah puncak Semeru yang pernah gw taklukkan sebelumnya, yang ada di angka 3000an meter di atas permukaan laut.

Misi gw naik gunung kali ini bukan untuk menikmati keindahan alamnya, bukan juga ungkapan rasa syukur kepada semesta. Misi gw adalah, membuang kesuntukan dan membuang waktu yang mulai membosankan. Terlihat naif? Kenaifan bagi orang lain, bisa jadi adalah kesenangan bagi gw. Setiap orang bebas menilai, tapi gw juga punya kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kadang, kita tidak perlu mendengarkan orang lain, menabrak aturan tidak tertulis yang hanya menimbulkan sanksi sosial, agar kita tetap waras. Karena apa yang kita butuhkan, belum tentu manusia lain tahu.

Perjalanan gw awali setelah Ashar. Dari rumah, hanya butuh 30 menit untuk sampai di Desa Rahtawu. Di titik inilah pendakian akan gw awali. Sekali lagi, gw tidak mengejar sunrise. Hingga perjalanan pun, gw lakukan semau gw. Uang 5000 gw tukar dengan karcis masuk dan parkir agar sepeda motor gw ada yang menjaga sampai nanti gw turun. Perbekalan yang gw bawa hanya sepotong cokelat merek terkenal, air mineral 600ml dua botol, lampu sorot untuk pencahayaan di malam hari dan tidak lupa Djarum Super dua bungkus. Mau diprotes KPAI? Silahkan saja. Sebelum memulai perjalanan, gw sempatkan untuk ngudut sebatang sambil menikmati suasana asri di sekitar gw. Ah, andai lingkungan gw hidup seperti ini. Baru beberapa hisapan super yang begitu nikmat, seorang laki-laki setengah umur mendekat ke arah gw.

"Mau naik mas?" Tanya beliau dengan ramah, lalu duduk di sebelah gw.

"Iya Pak, sebentar lagi mungkin saya akan naik." Jawab gw.

"Rokok Pak?Monggo."  Ujar gw, menawari beliau rokok.

:"Wah makasih mas, ini saya bawa sendiri kok." Lalu dikeluarkanlah sebungkus Sukun putih. Rokok yang memang menjadi penguasa pasar di wilayah utara kota kretek.

"Apa tidak sebaiknya naiknya ditunda setelah Magrib saja mas sekalian. Mau melihan sunrise kan?" Tanya beliau.

"Ah tidak Pak, saya tidak ingin melihat apa-apa, hanya ingin jalan santai saja sih."

"Kalau hati sedang gundah, sebaiknya jangan naik gunung mas."

"Justru kegundahan hati akan hilang Pak dengan naik gunung." Balas gw.

"Gunung bukan tempat untuk bermain-main lho mas."

"Iya Pak, makanya ingin saya daki, kalau saya mau main saya akan ke Mall atau minimal rental PS Pak." Jawab gw sekenanya.

"Hehehehe." Hanya tersenyum, kemudian pergi tanpa permisi.

Orang yang aneh. Maunya apa? Mencoba menakuti gw dengan cerita horor? Gw sama sekali tidak takut dengan setan, jin, iblis atau apapun itu. Ketakutan gw hanya pada dua hal, pertama Tuhan dan kedua adalah Mama. Selain itu, tidak ada istilah takut. Mau semenyeramkan apapun, gw tidak akan pernahmuntir ketika mereka menampakkan diri di depan gw. Buat apa jadi manusia yang diciptakan Allah sempurna, kalau takut dengan setan yang tak sempurna dan terusir dari surga. Mau dilogikakan seperti apapun, yang sempurna itu yang paling baik. Paling baik kalah sama yang tidak baik? Lawakan macam apa yang coba mau kau dongengkan kepada gw Pak?

Bapak itu pergi, dan gw pun mulai pendakian. Matahari mulai temaram, tanda malam akan datang. Gw yang hanya memakai kaos oblong, celana pendek selutut, topi dan sandal gunung berhenti sejenak. Selain menghormati adzan Magrib yang sayup-sayup mulai terdengar, gw juga bersiap memasang lampu sorot di jidat gw sebagai pencahayaan. Sambil menunggu adzan selesai, gw kembali merokok. Naik jam segini, dan belum pernah ke sini apa tidak takut tersesat? Tidak! Petunjuk jalan menuju puncak lebih dari cukup untuk menjadi panduan gw naik ke atas. Anggap saja ini salah satu tantangan, hidup tanpa tantangan itu apa enaknya sih?



Di tengah kegelapan dengan hanya diterangi sumber cahaya dari lampu sorot dan rembulan yang kebetulan bersinar terang, gw memulai langkah gw. Selangkah demi selangkah, menanjak, gw lalui dengan santai. Lebih dari setengah jam, gw belum menemukan satu manusia pun yang berpapasan atau sejalur dengan gw. Wajar sih, hanya orang sinting yang mau naik tepat setelah waktu Magrib. Katanya sih, waktu-waktu ini adalah waktunya para dedemit keluar. Bodo amat lah, kalau mereka mau keluar ya tinggal lihat apa maunya mereka. Niat mengganggu, ya mari kita berantem. Simpel kan?

Meskipun gw tidak mempunyai kemampuan supranatural, tapi gw terasa kalau ada sesuatu yang melihat dan memperhatikan gw. perasaan ini sudah muncul sejak gw mulai melangkah setelah adzan Magrib tadi. Gw acuhkan perasaan gw dan tetap berjalan seperti biasa. Pos pertama sukses gw singgahi, nafas gw masih panjang. Itulah yang menjadi alasan mengapa gw tidak singgah, meski banyak pendaki yang menawari gw untuk singgah. Baru beberapa saat berjalan, terasa ada yang melempar gw. Refleks, gw menoleh dong ke sumber lemparan. Ternyata tidak ada apa-apa. OK, abaikan saja mungkin cuma perasaan gw.

Kembali berjalan dan kali ini sambil ngudut. Jangan heran, jika orang merokok sambil nanjak itu napas jadi ngos-ngosan, hal itu tidak berlaku bagi gw. Justru rokok membuat gw sangat relaks dan tetap waras. Baru beberapa langkah dari lemparan pertama, sebuah batu menyasar tepat di kepala gw. Sumbernya jelas dari atas dan itu memaksa gw untuk refleks menengok ke atas. Di sana, di atas sebuah pohon besar nampak seekor makhluk yang tak bisa gw definisikan itu apa. Yang jelas ukurannya jauh lebih besar dari orang normal, berbulu dan matanya merah. Kaget? Jelas! Kaget banget malah. Tapi gw mencoba melawan kekagetan, sekaligus ketakutan yang gw rasakan. Iya gw masih punya rasa takut kok.



"Ra sah ganggu! Leg pengen ribut, kene mudun!" Kata gw dalam bahasa Jawa, yang artinya "Tidak usah mengganggu, kalau ingin ribut, sini turun."

Karena tidak ada jawaban, gw pun lanjutkan langkah. Was-was juga kalau makhluk ini ikuti gw. Setelah beberapa langkah, tidak ada lemparan yang mengarah ke badan atau kepala gw. Maka, gw simpulkan kalau dia tidak mengikuti gw. Gw tidak menengok ke belakang memang, bukan karena takut ya. Kalau takut mungkin gw sudah pingsan. Gw hanya ingin fokus pada tujuan gw. Kadang, menengok ke belakang itu tidak diperlukan di situasi yang gelap dan minim penerangan. Jika penerangan dianggap sebagai kebijaksanaan, maka manfaatkan itu untuk menegok ke depan, ke masa depan. Bukan untuk menyinari masa lalu atau yang ada di belakang.

Langkah demi langkah gw ayunkan dengan santai dan gembira. Tidak lupa gw perhatikan betul rute yang gw lewati. Sekali lagi, gw harus berterima kasih dengan siapapun yang sudah membuat petunjuk jalan menuju puncak. Apa yang mereka lakukan, sangat membantu gw. Di depan, gw lihat ada cahaya lumayan terang. Akhirnya, ketemu juga gw dengan pendaki lain, begitu pikir gw. Tapi setelah gw semakin dekat dengan objek terang tersebut, gw jadi tahu kalau itu bukan para pendaki, melainkan orang yang sedang menebang kayu dengan diterangi oleh obor. Tidak salah baca kok, itu memang obor. Gw sempat mikir juga, apa tidak takut kalau obor ini akan membakar lahan di sekitar sini ya.

"Monggo Pak."  Sapa gw sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua. Si penebang seorang laki-laki paruh baya.

"Heh! Mau kemana kamu?" Tanya si Bapak agak keras. Semua percakapan dalam Bahasa Jawa akan gw translate ke Bahasa Indonesia ya.

"Muncak Pak, gimana?" Tanya gw sembari mendekati beliau, lalu mematikan lampu sorot di kepala gw. Ini bentuk sopan santun saat bicara pada orang yang lebih tua.

"Apa tujuan mu naik ke atas sana?" Pertanyaan aneh, kepo banget nih Bapak-Bapaknya.

"Nyari lelah, menyegarkan pikiran dari ruwetnya dunia Pak." Ini jawaban jujur lho.

"Dasar manusia! Sudah diberikan keistimewaan yang begitu banyak, masih saja mengganggu yang lain!" Sergahnya.

"Maaf Pak, mengganggu yang lain? Maksudnya apa ya?"

"Kalau rumah mu diinjak-injak, kira-kira bagaimana? Heh!!"

"Rumah siapa yang saya injak-injak Pak?" terpancing juga gw untuk ngomong keras.

"Sombong kamu!!" Bukannya menjawab, malah memaki gw.

" Bapak ini aneh, di sini tidak ada rumah, tidak juga ada manusia kecuali Bapak, lalu siapa yang saya ganggu Pak?" Tanya gw kemudian.

" Sudah sana pergi!" Sial! Gw diusir!

"Suwun Pak."



Makin banyak saja orang stress di dunia ini. Gw ga ngapa-ngapain dianggap mengganggu. gw jalan juga biasa saja. Jangankan misuh-misuh, ngomong juga kalau ketemu sama orang. Gw baru berjalan beberapa langkah, ketika gw menyadari ada yang aneh. bentar, apakah kata "rumah" itu kata dalam arti sebenarnya, atau? Segera gw tengokkan kepala gw ke belakang dan.. Gelap gulita. Gila! Padahal gw yakin, kalau beberapa meter di belakang tadi ada Bapak tua yang sibuk dengan aktivitas penebangan kayu lengkap dengan obor sebagai penerangannya. Sekarang, hilang seolah tanpa bekas! Kalau itu manusia, gw tidak yakin bisa secepat itu berkemas-kemas. Bahkan jika dia pasukan khususnya TNI sekalipun, tetap butuh waktu dalam hitungan menit untuk mematikan semua obor dan membereskan kayu-kayu yang berserak.

Jadi siapa orang tua tadi? Apakah penghuni yang punya rumah di sini? Sambil berfikir, gw putuskan untuk stop dan membuka perbekalan di tempat itu! Iya di tempat fenomena aneh tadi tersaji di depan mata gw. Gw buka satu botol air yang gw bawa dan mulai memakan cokelat yang tadi gw bawa sebagai bekal. Tidak lupa, klepus-klepus dengan rokok sambil memikirkan keanehan yang baru gw alami. Tidak ada kejadian aneh berikutnya, yang ada hanya suara hewan malam dan nyamuk yang mulai mengganas. Maka, segera gw kemasi semua perbekalan yang gw bawa termasuk membawa sampah yang gw hasilkan. gw tahu kalau di Pemkab Kudus tidak menggaji orang untuk menyapu hutan ini, jadi kesadaran saja untuk bawa sampah yang dihasilkan.

Langkah demi langkah, akhirnya menuntun gw sampai di pos kedua. Kabarnya ini pos terakhir sebelum sampai di puncak. Sekali lagi, tawaran melipir dari orang-orang di sana gw abaikan. Gw memilih untuk terus berjalan. Puncak sudah ada di depan mata, hanya sebuah tanjakan dengan kanan kiri jurang yang perlu gw taklukkan. Di sini, fisik gw mulai diuji. Untungnya gw sering olahraga jadi tanjakan seperti ini bukan masalah besar buat gw. Agak ngerinya ya kiri kanan jurang itu tadi. Penerangan minim, hingga membuat gw harus fokus dan hati-hati. Masih ditambah dengan perasaan kalau gw masih dalam pengawasan dari yang tidak bisa gw definisikan, apa dan siapa mereka.



Puncak!! Ada sensasi menyenangkan saat kita naik gunung dan sampai di puncak. Perasaan yang berkali-kali gw rasakan dan tidak pernah bosan untuk mengulanginya. Sensasi itu yang sedang gw rasakan sekarang. Sepeti lepas semua beban, masalah dan kesumpekan yang gw rasakan selama ini. Keluarkan rokok, air dan sisa cokelat adalah hal yang gw lakukan. Duduk menikmati tembakau bakar sambil merasakan kesejukan yang tercipta, lalu nikmat mana lagi yang akan gw dustakan? Belakangan gw sadar kalau gw di sini seorang diri. Maklum, malam masih awal. Pemburu Sunrise biasanya akan nanjak tengah malam bahkan lebih dari bawah. Agar tiba di sini pas sunrise, mereka akan banyak beristirahat di pos-pos yang tersedia. Gw? Dari awal gass terus tanpa stop kecuali waktu ketemu demit. Eh, bener demit tidak? Hanya Tuhan yang tahu.

Seiiring dengan kesadaran gw, terdengarlah suara gamelan yang begitu syahdu. Bayangkan di puncak gunung, jauh dari perkampungan, sendirian dan ada suara gamelan yang syahdu. Bagus banget kan keadaan gw? Gw hanya tersenyum dan mengatakan dalam hati, "sini keluar kalau emang punya nyali." Tantangan untuk mereka, makhluk inferior yang memang seang menggoda manusia. Gw tunggu beberapa saat, tidak ada apapun, hanya suara gamelan yang sayup-sayup masih terdengar. Gw mulai beralih fokus pada masalah gw, bukan lagi buat nantangin demit.

"Aduh, berat banget sih.." Suara seorang wanita yang jelas banget terdengar oleh gw. Nampak ada kilatan cahaya lampu sorot di jalan menuju puncak.

Gw segera menghidupkan lampu sorot dan mengarahkannya kepada cewe itu. Sekilas bisa gw lihat seorang cewe, masih muda dengan tas ransel besar dengan topi kupluk. Jaketnya juga tebal, dandanannya kelihatan banget kalau dia anak kota yang tidak pernah hidup susah. Gw matikan lampu sorot gw, pendaki fashion. Gw agak kurang suka dengan jenis pendaki ini. Mereka naik gunung hanya untum berfoto dan pamer kepada teman-temannya. Sebuah tujuan yang menurut gw hanya dilakukan oleh orang-orang kurang belaian dan perhatian.

"Eh ada orang ya." Kalimat yang jelas terdengar di telinga gw, disusul dengan kilatan lampu yang menyilaukan menuju ke arah gw.

"Maaf mas kalau ganggu, aku Nadia." Senyum itu manis juga, apalagi dia tanpa sungkan mengulurkan tangan penuh persahabatan.

"Adhit." Jawab gw pendek.

"Kamu kok sendirian mas, temannya mana? " Bisa gw tebak kalau cewe ini tipe cewe ribet, dan cerewet. Apa urgensinya dia ngurusin gw yang lagi sendiri, sedangkan dia juga sendiri.

"Bukannya kamu juga sendiri ya?" Tanya gw balik. Sekilas gw lihat ada binar di matanya. Mata itu cantik sekali.

"Hehehehe.. Aku ditinggal sama teman ku mas, tahu tuh belum sampai puncak kok malah sudah pulang. Payah." Ujarnya maja, khas anak kota.

"Oh, ga takut ke sini sendirian?"

"Hihihihi takut apa mas? hidup terlalu sayang kalau dihabiskan dengan ketakutan-ketakutan." Boleh juga nih kata-katanya.

"Aku mau naik gunung dilarang, katanya aku asma. Bisa kambuh kapan saja. Tapi aku nekad dong. Hidup cuma sekali, masak ga boleh sampai puncak gunung.'" Cerocosnya tanpa gw tanya. Pas kan dugaan gw? Dia cerewet!

"Kamu kuliah di mana?" Tanya gw.

"Masih SMA mas, hehehhe. Muka ku tua banget ya mas? Ahahahaha.." Jujur, gw mulai suka dengan senyum dan tawanya, manis dan ga membosankan. Cerewetnya? Nanti dulu deh.

"Bukan gitu, biasanya kan yang suka naik gunung itu anak-anak kuliah. Kamu dari SMA mana?" Tanya gw lagi.

"SMA G mas hehehe."

"Hah? Kok sama."

"Lho kamu kelas berapa e mas? Kok ga pernah liat?"

"Aku alumni sana."

"Yeee.. Pantesan ga pernah liat, aku masih kelas dua mas hehehe."

"Mau bermalam di sini?" Tanya gw melirik tas besar yang gw yakin berisi tenda.

"Iya mas, masnya juga kan?"

"Belum tahu sih, aku ga bawa tenda. Paling nanti turun."

"Yah aku sendirian dong, mana ga bisa pasang tendanya lagi." Apa ini "kode???" IYKWIM.

"Balik aja, bahaya cewe di sini, sendirian lagi."

"Tapi aku pengen camping yo mas. Aku tuh setiap naik gunung selalu dilarang karena punya asma. Ini kesempatan aku sudah sampai sini, mau disuruh pulang juga. GA MAU" Jujur gw eneg dengan sikap manjanya. Tapi gw juga ga tega dengan rengekannya.

"Ya sudah, aku bantu kamu dirikan tenda."

"Yeee makasih mas. Ahahahaha."

Tanpa menunggu lagi, gw bangunkan tenda untuk dia. Sebuah tenda mewah yang muat untuk dua orang. Tenda terbangun, gw kumpulkan beberapa ranting kering untuk membuat api sekedar untuk menghangatkan badan. Semula gw memang kurang suka dengan sikap Nadia. Tapi, makin ke sini gw harus objektif kalau dia tidak seburuk yang gw kira. Dia mengalami diskriminasi hanya karena dia sakit asma. Apa-apa dilarang, apa-apa ga boleh. Hingga pada satu titik, dia bangkit dan memberontak lalu nekad naik gunung. Gw selalu suka dengan mereka, kaum pemberontak yang melawan kemapanan berfikir kaum kolot.

Malam semakin larut, Nadia gw suruh tidur dalam tenda. Gw? Di luar tentu saja. Meskipun dia tadi sempat meminta gw untuk tidur di dalam saja. Gw tolak, bukan karena gw homo, tapi karena gw sadar, zina itu dosa, #ngalim. Gw tidak langsung tidur sih, gw memilih berdiam di depan api yang tadi gw buat. Merenungi semua masalah yang gw alami dan mencoba mencari solusi paling benar. Pikiran gw masih melayang kemana-mana, ketika ponsel gw menyalak hebat. Gile nih provider, sampai puncak masih ada sinyalnya lho. Wajar sih, puncaknya tidak terlalu tinggi. Ada nama Lakso di ponsel gw. Lakso ini kerja di BPBD, teman gw naik gunung, orang Jogja asli yang sudah pindah ke kudus dua tahun lalu. Segera gw angkat

"Dab, kamu di mana?" Tanyanya, namun agak putus-putus kendala sinyal sepertinya.

"Pie Dab? Aku di atas ini, songolikur." Jawab gw.

"Nang puncak e?" Tanya Lakso memastikan.

"Iya dab, gimana?"

"Ini tadi ada kabar dari SMA G, katanya mereka dari siang mengadakan pendakian, niatnya sih tidak mau sampai puncak cuma hiking biasa gitu sampai pos dua. Nah entah bagaimana ceritanya ada beberapa anak yang nekad naik dan sialnya ada satu anak yang jatuh ke jurang karena asmanya kumat." Deg! Jantung ini berasa piston YZR M1 nya Vallentino Rossi di 20000 rpm.

"Anaknya cewe?" Tanya gw ke Lakso.

"Iyo e dab."

"Namanya Nadia?" Tanya gw lagi.

"Heh! Tau dari mana kamu dab? Iyo bener!"

Belum sempat gw teruskan obrolan dengan Lakso, Nadia sudah berada di depan gw, lalu tangannya menyentuh bahu gw. Tangannya dingin, mukanya pucat. Sunyi, senyap dan..

"Mas Adhit, aku pengen camping.."




Tenang di  sana Nadia..


Sumber Gambar : sini, sini, sini



jeff123556tien212700Handipoet
Handipoet dan 28 lainnya memberi reputasi
29
12.2K
75
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.