YumnaAzaleaAvatar border
TS
YumnaAzalea
Bara di Gunung Lawu

Ini adalah kisah fiksi yang terjadi di Gunung Lawu. Namun, tidak menutup kemungkinan akan menjadi nyata bila bertidak sebagaimana dalam cerita ini.


Tahun 2005

Lulus SMA, mimpiku untuk kuliah kandas karena gagal masuk perguruan tinggi negeri. Tidak ada pilihan lain kecuali mengisi waktu dengan bekerja. Dengan ijazah SMA, ternyata hanya cukup untuk menjadi buruh di pabrik. Tak mengapa, aku percaya, banyak pelajaran dan pengalaman yang aku dapat saat bekerja. Maka di sinilah aku, di sebuah pabrik garmen di kabupaten Sukoharjo, cukup jauh dari rumah hingga membuatku harus menyewa kamar kost agar tidak terlalu lelah.

Tepat pukul dua, sirine tanda selesai shift pagi berbunyi. Semua pekerja berhamburan, berebut pintu keluar yang tak cukup lebar bagi ratusan pekerja, berdesakan.


“Misi, misi … maaf, aku duluan, ya?” Siska tampak terburu-buru, menerobos padatnya antrian pintu keluar.

“Tunggu, tunggu! Kok buru-buru amat, sih?” tanyaku.

“Aku ada janji, muncak!”

“Serius? Ke mana?”

“Gunung Lawu.”

“Aku ikut, ya?”

“Boleh, cepetan. Sejam lagi aku tunggu di perempatan. Telat tinggal!”

“Siap!”

Aku dan Siska berpisah menuju tempat kost masing-masing. Ya, kami tidak satu kost, tapi cukup akrab.

Ini pertama kalinya aku akan naik gunung. Sebenarnya sudah cukup lama aku ingin naik gunung, tapi setiap kali akan berangkat, selalu saja ada sesuatu yang menghalangi hingga akhirnya batal. Tak banyak yang bisa kupersiapkan, hanya jaket dan satu set pakaian ganti.

Satu jam berlalu dengan cepat. Sesuai janji, aku menunggu Siska di perempatan dekat pabrik.  Tak berapa lama ia datang. Sama sepertiku, dia tak tampak membawa banyak barang, hanya sebuah ransel tanggung di punggungnya. Siska mengajakku naik bus jurusan Solo.

Sampai di Terminal Tirtonadi kami turun. Ternyata teman-teman Siska sudah menunggu di sana. Empat orang laki-laki dan dua orang perempuan lengkap dengan tas ransel besar khas pendaki gunung. Siska memperkenalkanku pada mereka yang ternyata adalah teman masa SMA-nya dulu.

Dari Tirtonadi kami naik bus jurusan Tawangmangu. Perjalanan ini memakan waktu kurang lebih dua jam, lumayan untuk istirahat karena lelah usai kerja. Sesampainya di Terminal Tawangmangu, kami naik angkutan lokal untuk mencapai Cemoro Sewu. Menurut teman-teman Siska yang sudah pengalaman, jalur ini yang paling pendek, juga posnya mudah dijangkau kendaraan umum. Hanya sekitar dua puluh menit perjalanan untuk sampai di Cemoro Sewu. Kami turun kemudian istirahat sebentar.

Spoiler for Bara di Gunung Lawu:


Arloji menunjukkan pukul tujuh malam saat Arga mengajak kami untuk memulai perjalanan. Arga berjalan paling depan, diikuti Siska, aku, Rino, Meta, Ayu, Bowo, dan yang paling belakang Satria. Udara dingin mulai merasuk, mendirikan bulu-bulu halus di sekujur tubuh.

Dua puluh menit sudah kami berjalan di medan yang menurutku tidak terlalu berat. Namun, Siska sudah mulai ngos-ngosan, beberapa kali ia berhenti sebentar, mengambil napas, kemudian berjalan kembali. Begitu pula dengan Meta dan Ayu. Hanya aku yang masih segar di antara kami berempat.  Tak heran, aku hobi bela diri jadi terbiasa dengan olah fisik dengan kadar cukup berat.

“Masih belum capek? Gimana kalo kita jalan duluan?” tawar Arga. Aku merasa cukup tertantang dengan tawaran ini. Kuiyakan, dan kami berjalan terlebih dahulu meninggalkan mereka. Semakin jauh kami berjalan, suara canda tawa teman-teman semakin pelan terdengar, hingga akhirnya tak terdengar sama sekali.

Rembulan tampak bulat sempurna, angin dingin yang berhembus memberi suasana sejuk diantara peluh. Aku dan Arga berbasa basi ringan, saling bertanya kegiatan keseharian. Dia cukup humoris, seringkali membuatku tertawa hanya karena hal-hal remeh yang dijumpai. Sesekali kami saling terdiam, mendengarkan suara alam yang bersahutan, dedaunan yang bergesekan, juga … burung gagak.

Kulebarkan telinga, memastikan bahwa itu benar-benar burung gagak. Ya, tak salah lagi. Bulu halus di belakang tengkukku berdiri, kali ini bukan karena udara dingin, tapi karena perasaan ngeri yang tiba-tiba datang.

“Aneh.” Arga seperti bergumam pada dirinya sendiri, tapi cukup terdengar di telingaku.

“Kenapa?”

“Denger suara burung gagak?” Ternyata Arga sependapat denganku. Pandangannya mengitari sekeliling seperti mencari sesuatu, aku masih memperhatikannya. “Kalo di sini memang banyak cerita mistis soal burung jalak, bukan burung gagak. Toh, burung gagak kan memang habitatnya di hutan, wajar kan kalo dia di sini?” lanjutnya.

Perasaanku mulai tidak enak. Aku bukan indigo, tapi firasatku tentang sesuatu yang tak tampak tak pernah salah. Gagak diidentikkan dengan kematian, dan kini suaranya benar-benar terdengar menyayat, mengiringi perjalanan kami.

Beberapa kali kami bermain tebak-tebakan, memecah sunyi, mengusir segala perasaan tidak nyaman karena burung nazar. Tibalah kami di sebuah persimpangan, belukar tampak rimbun di kanan, kiri, dan di antara persimpangan itu. Aku yang berjalan di depan, seketika berhenti.

“Kanan atau kiri?” tanyaku.

“Kiri,” jawab Arga tegas.

Aku kembali berjalan di depan. Malam benar-benar gelap, tak memberi celah pada cahaya untuk sedikit saja menerangi langkahku. Hanya cahaya senter di tanganku yang menunjukkan jalan padaku. Aku bercerita panjang lebar pada Arga tentang kegiatan hari ini di pabrik. Tapi, tunggu! Arga tak menyahut sama sekali. Setelah sepuluh meter melangkah, baru kusadari hanya ada satu cahaya senter. Kemana Arga?

Aku berhenti, berbalik untuk melihat di belakang. Kosong! Arga tidak di belakangku. Jantungku mulai berdegub tak karuan.


“Arga!” Kucoba memanggil. Sunyi, tak ada sahutan maupun suara apapun, begitu pula dengan si gagak.


“Arga! Di mana kamu?” Aku mencoba memanggil kembali. Nihil. Tetap tak ada sahutan. Kuberanikan diri melangkah ke arah persimpangan terakhir kudengar suaranya. Namun, belum sempat aku melangkah lebih jauh, tiba-tiba ….

Quote:


Namun, tiba-tiba tawa keras nan mengejek khas Arga terdengar. Aku mengelus dada, antara lega dan marah. Ternyata Arga mengerjaiku!

Kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan Arga terus meledekku. Berkali-kali pula kupukul lengannya untuk melampiaskan kekesalanku. Kali ini Arga berjalan di depan, aku tak mau lagi berjalan terlebih dulu.

Tiba di Pos II, kami disambut warung-warung kecil di kanan dan kiri. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil menunggu teman-teman yang lain sambil menikmati kopi di salah satu warung di sana. Tak banyak pendaki saat ini, hanya beberapa orang saja yang tampak sedang beristirahat juga.

Setelah hampir dua puluh menit rombongan datang. Canda tawa tiba-tiba bergema memecah kesunyian. Meta, Ayu, dan Siska terlihat sangat senang meski ngos-ngosan.

“Mau lanjut sekarang?” Arga mengajakku untuk berangkat terlebih dulu. Lagi-lagi kuiyakan karena istirahatku sudah cukup lama.

“Eh, tunggu! Kalian mau ke mana?” tanya Satria.

“Kita duluan, ya?” jawab Arga.

“Jangan gitu, donk. Tunggu bentar, deh. Nanti kita berangkat bareng-bareng. Kita ini tim, oke?”

“Halah! Kelamaan nunggu kalian.” Arga menimpali kemudian berlalu, aku berjalan di sampingnya.

Medan yang dilewati kali ini berupa bebatuan besar dan menanjak. Benar-benar menguras tenaga. Sebentar-sebentar aku meminta istirahat. Kaki mulai pegal, napas ngos-ngosan. Baru tiga puluh menit berjalan, akhirnya aku benar-benar harus istirahat. Kami berhenti, duduk di sebuah batu yang sedianya kami lewati. Arga menyalakan rokok, cukup membuatku terkejut. Seorang pendaki yang merokok, tak kuduga.

Setelah letihku hilang, aku mengajak Arga kembali melanjutkan perjalanan. Aku mulai tidak suka dengan asap rokoknya.

“Oke, tunggu sebentar, ya!” Arga tiba-tiba berdiri kemudian berjalan ke arah pohon besar di tepi jalan tanpa sempat aku bertanya. Entah apa yang ia lakukan.

Tak berapa lama ia kembali dan mengajakku melanjutkan perjalanan. Belum terlalu jauh berjalan, kami di hadapkan pada sebuah persimpangan seperti sebelumnya. Arga berhenti, sepertinya ia ragu-ragu.


“Kenapa?” tanyaku penasaran.

“Oh, enggak …!” Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal padanya, tapi … entah, aku sendiri tidak berani berprasangka.

Arga berjalan, memilih jalur kiri. Aku mengikutinya di belakang. Namun, rasa-rasanya langkah Arga semakin cepat, bahkan hampir berlari. Aku mulai kesulitan mengikutinya.

“Arga, tunggu! Pelan-pelan!” seruku. Tapi ia seakan tak peduli. Hingga akhirnya aku benar-benar kehilangan jejaknya.

“Arga!” Aku berteriak. Tak ada jawaban. Sunyi, sangat sunyi. Lebih sunyi dari sebelumnya.

‘Ah, jangan-jangan dia mau mengerjaiku lagi.’ Aku mencoba berpikir positif.

“Arga! Jangan bercanda lagi, dong!” Batu-batu besar dan medan yang menanjak membuatku kesulitan untuk bergerak cepat. Aku hampir kehabisan napas. Kuputuskan berhenti sebentar. Saat berhenti itu, suara burung gagak kembali terdengar. Jantungku yang berdetak kencang karena tubuh bergerak banyak, kini semakin dipacu oleh kengerian. Aku benar-benar sendiri.

“Arga!” Aku kembali berjalan dan berteriak memanggil laki-laki bertubuh tinggi tegap yang tadi bersamaku. Tetap tak ada jawaban.

Tiba-tiba burung gagak yang sejak tadi bersuara menampakkan wujudnya, hinggap di bebatuan di depanku. Hitam, kelam, sorot matanya tajam. Aku terkejut, jantungku kembali berdegup kencang, tubuhku bergetar, keringat bercucuran meski udara dingin menyambar-nyambar. Aku menepi, berjalan ke depan pelan-pelan, berusaha untuk tidak mengusiknya. Namun, gagak itu justru terbang, kemudian hinggap di bebatuan lain di depan, seolah-olah ingin menunjukkan sesuatu padaku. Lagi, gagak itu terbang, aku mengikutinya, hingga akhirnya menemui jalan buntu.

‘Baiklah, aku salah.’

Baru saja hendak berbalik, kulihat cahaya dari balik rimbun dedaunan, lirih suara rintihan terdengar. Aku mendekat, kuterjang semak belukar di depanku. Duri-duri menggores kulitku, perih. Namun, rasa penasaran membuatku terus melaju, hingga menemui ujung. Terbentang di hadapanku lahan datar yang tak begitu luas.

Spoiler for Api:


Aku berteriak keras menyaksikan apa yang ada di sana. Tubuh bergetar hebat. Tulang-tulang seolah melunak, aku hampir rumbuh. Arga berteriak dengan api membakar sekujur tubuhnya. Di kirinya, makhluk dengan kepala tinggal separuh dan berlumuran darah. Di sebelah kanannya wanita berambut panjang tak beraturan berwajah pucat memandangnya dengan tatapan tajam seakan hendak menelannya mentah-mentah. Di sisi lain, makhluk-makhluk yang tak kalah mengerikan mengitarinya.

“Lari …!” Di sela rintihannya, Arga menyuruhku berlari.

Kukumpulkan segenap kekuatan kemudian berlari menjauh. Menyusuri jalan-jalan yang tadi telah kulewati. Beberapa kali aku terjatuh, darah bercucuran dari pelipis akibat benturan dengan bebatuan. Tubuh terasa remuk. Dengan sisa kekuatan aku berdiri, dan berlari. Hingga akhirnya ….

“Bruukk!” Aku menabrak sesuatu, tepatnya seseorang. Dia mencengkeramku kuat. Aku berteriak sekencang-kencangnya, meronta.

“Asti, Asti … tenang, ini aku!” suara perempuan yang kukenal. Kubuka mata, menatap lekat ia. Siska. Aku tersedu, lega, sedih, takut, menumpahkan semua rasaku. Kengerian masih melingkupiku.

“Ada apa? Di mana Arga?” tanya Satriya. Kuceritakan semua dengan tubuh yang masih bergetar.

“Kamu yakin? Nggak ada persimpangan di sekitar sini,” jelas Satriya. Aku hanya terdiam, mengingat kembali rentetan kejadian yang baru saja kulalui. Satriya memeriksa tempat di mana kulihat Arga merintih dengan tubuh terbakar. Nihil, tidak terdapat apapun. Mereka mengajakku kembali ke Pos 2, kemudian menghubungi SAR untuk melaporkan hilangnya Arga.

SAR melakukan pencarian malam itu juga, tapi tidak ada hasil. Hingga pagi menjelang, SAR tidak menemukan apapun, bahkan tanda-tanda habis terbakar pun tidak ada.

“Kalau memang benar dia sering ke sini, harusnya tau. Pantang mengganggu pemilik rumah, apalagi sampai membakar dan buang air di sana.” Seorang laki-laki tua berjalan tepat di hadapanku. Kucoba mencerna kata-katanya. Teringat sebelum kejadian, ia sempat menyulut rokok kemudian pergi ke balik pepohonan kemudian kembali tanpa rokok di tangannya.

“Jangan-jangan ….” Aku hanya bisa menangis tersedu.

End

 
Diubah oleh YumnaAzalea 28-09-2019 04:08
Gresta
ceuhetty
sebelahblog
sebelahblog dan 26 lainnya memberi reputasi
27
3.7K
81
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.