sitinur200
TS
sitinur200
Didemeni Ronggeng Gunung Sinden
Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat kejadian dan alur, itu hanya unsur ketidaksengajaan

Happy Reading




Tidak seperti tahun sebelumnya, tahun ini gue dan kedua teman gue akan mengadakan pendakian ke Gunung Sinden. Gunung yang terletak di pelosok Jawa Barat, bagian selatan. Gunung yang akan kami kunjungi, benar-benar berada di pedalaman kampung.


Documen pribadi


Menurut info yang gue dapat, perjalanan menuju Gunung Sinden sekitar tiga jam dari Kampung Cigugur. Menapaki jalan setapak, kemudian melewati Kampung Cikonde yang berada di kaki gunung. Jalanan yang ditumbuhi pepohonan besar, akan sangat menguji kekuatan mental kami.

Perjalanan dari Tegal menuju Kampung Cigugur kurang lebih sembilan jam, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat jam tujuh malam. Supaya bisa istirahat dulu dan paginya bisa langsung melakukan pendakian. Setelah semuanya siap, kami berangkat dengan membawa mobil pribadi. Barang-barang yang dibawa tidak terlalu banyak. Rencananya, kami akan menitipkan mobil di rumah teman gue.

Sepanjang perjalanan, kami bergantian menyetir. Semilir angin malam khas pegunungan mulai terasa. Itu tandanya, tempat yang bakal kami kunjungi udah dekat. Dan gue kebagian nyetir paling terakhir.
Yang membuat gue yakin udah dekat ke Kampung Cigugur, karena ada gapura Selamat Datang di Kampung Cigugur

Ruginya kebagian nyetir terakhir, pas gue nyetir Boim sama Ferry malah ngorok. Horor banget, masa iya gue gak ada teman ngobrol. Jalanannya gelap lagi, cuma ada satu lampu, itu pun kayak lampu disco. Krejep ... krejep.
Mau gak mau gue harus mau, semoga aja jarak ke Kampung Cigugur gak jauh.

Hanya suara jangkrik dan burung hantu yang menemani gue sepanjang perjalanan, setelah lampu di depan, gue gak nemuin lagi lampu penerangan. Hawanya benar-benar sejuk, sampai akhirnya gue berhenti sebentar dan pake jaket. Saat gue pake jaket, tiba-tiba mobil goyang-goyang. Gak mungkin Boim dan Ferry yang goyangin, mereka dari tadi ngorok.

"Bro! Bangun dong, kalian berasa juga gak, sih kalo mobil goyang-goyang?"

"Hmmmm ... ada gempa, ya?" gerutu Boim.

"Bukan. Ini bukan gempa, mobil kita kayak ada yang goyangin."

Boim dan Ferry akhirnya terbangun. Tetapi, mobil yang sebelumnya goyang sudah berhenti. Yang tadinya tenang-tenang aja, tiba-tiba bulu kuduk gue merinding.
"Ah! Perasaan gue aja paling."

Srebet ....

Seperti ada sesorang lewat depan mobil, tapi saat ditengok kanan kiri, gak ada siapapun.

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam setengah, akhirnya gue sampai dan teman-teman sampai ke tempat tujuan. Rumah temen gue, namanya Selo.
Di sana, ada banyak rumah dengan arsitektur kuno. Rumah-rumah panggung dan di halamannya rata-rata ada pohon besar. Lampu-lampu rumah, sebagian ada yang masih pakai obor.

Sebelum gue ketuk pintu, ternyata Selo udah lebih dulu bukain pintu. Mungkin, karena di sini sangat hening, jadi suara mobil kami mudah terdengar.
Selo adalah teman gue di kampus. Tapi, minggu ini lagi libur, makanya dia pulang. Saat melihat jam di dinding rumah Selo, menunjukkan jam empat, dini hari.
Lumayan, ada waktu beberapa jam untuk kami istirahat sebelum mendaki besok pagi.

***

"Bro! Gue titip mobil, ya. Palingan sehari, dua hari gue mendaki. Nanti kalo ada apa-apa, gue hubungi lu lagi." Gue pamit, sambil ngasih kunci mobil ke Selo.

"Oke, Bro. Hati-hati, ya. Rute yang gue arahin semalam udah ngerti, kan?"

"Udah. Gue berangkat, ya."

"Oke."

Menurut rute yang diarahkan Selo, setelah melewati perkebunan pinus dan pohon jati, nanti akan sampai di Kampung Cikonde. Biasanya, di sana tempat beristirahat para pendaki Gunung Sinden.
Namun, Selo memperingatkan supaya kami gak buang air kecil di balik pohon besar. Namanya pohon Gintung. Di Kampung Cikonde, hanya ada satu pohon paling besar.

Jalan yang kami lewati sebelum sampai ke Kampung Cikonde cukup jauh. Di sisi kanan dan kiri dipenuhi pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi ke atas. Hari yang cerah terasa dan panas pun terasa dingin.
Sekitar setengah jam, akhirnya kami sampai di Kampung Cikonde. Benar kata Selo, warga kampung sini hampir semuanya menggunakan konde. Kecuali, laki-laki.

Setelah sampai, kami langsung mencari tempat untuk istirahat. Saat libur panjang, memang banyak yang mendaki. Tenda-tenda sudah banyak terlihat di antara kaki gunung.
Sayangnya, kami tidak membawa tenda. Karena, hanya akan beristirahat sebentar dan melanjutkan pendakian.

"Jang! Kenapa tidak mendirikan tenda?" tanya salah satu warga yang melihat kami tiduran di atas rerumputan.

"Nggak, Pak. Kebetulan kami hanya istirahat sebentar dan akan langsung melanjutkan pendakian," jawabku.

"Euleuh ... euleuh. Atuh nanti kemalaman, kalo terjadi apa-apa gimana?"

"Nggak, kok, Pak. Nanti di sana kita cuma sebentar."

"Semoga beruntung, ya. Soalnya ...." sesebapak itu gak melanjutkan ucapannya.

"Kenapa, Pak?"

"Nggak. Nggak apa-apa. Saya permisi dulu, Jang. Hati-hati, ya."

Setelah sesebapak itu pergi, kita kembali berkemas.

"Gue kenc*ng dulu, ya," ucap Ferry.

"Jangan lama. Bentar lagi kita lanjut jalan."

Untungnya, di dalam ransel gue bawa makanan dan minuman yang lumayan banyak. Di Kampung Cikonde, sama sekali tidak ada warung satu pun. Yang gue denger, warga sekitar hanya memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan. Spechless!

***

Jalan menuju Gunung Sinden tidak terlalu buruk yang gue bayangkan.

Selama perjalanan, gak ada satu hal apapun yang janggal Hanya saja, Ferry lebih banyak bengong. Entah ... apa yang ada dalam pikiran anak itu.

Satu jam perjalanan, kami udah sampai di tempat istirahat ke-2. Memakai peralatan seadanya, kami istirahat di atas rerumputan hujau.
Perjalanan menuju Gunung Sinden tinggal dua jam lagi. Jam di pergelangan tangan masih menunjukkan pukul sembilan. Masih banyak waktu.

"Bro! Lu kenapa bengong mulu? Tar kesambet, lho." Boim menepuk bahu Ferry.

"Gue tadi lihat cewek cantik, Bro. Pake konde sama baju kebaya gitu."

"Di mana? Lu ngintip, ya?" tanya gue.

"Pas gue kenc*ng tadi ... dia lagi duduk di bawah pohon besar."

"Elaaaah! Itu palingan ibu-ibu abis dari kebun. Udah lah, kita lanjut lagi, yuk!"

Serentak, gue tepis pernyataan Ferry. Tapi, bisa jadi juga emang benar apa yang dikatakan Ferry. Kalau pun iya, apa untungnya buat gue?

***

Sekitar satu jam kami melakukan pendakian, tapi, kok gak nemu pos peristirahatan, ya? Katanya ada satu pos lagi. Apa mungkin cuma dua pos, ya? Ah, sudahlah. Kami istirahatnya nanti aja di atas gunung. Lagian, udah gak sabar pengen menikmati indahnya pemandangan dari atas Gunung Sinden. Yang katanya, kalo melihat ke bawah, pemandangannya seperti bentuk cinta 'love'.

"Kita gak istirahat dulu, Bro?" tanya Boim yang terlihat kelelahan.

"Iya, nih. Gue juga udah lemas banget. Fiuh!" Ferry menimpali.

"Ya udah. Kita istirahat di sini aja. Bukannya kata Selo, pos peristirahatannya ada tiga, ya? Kita, kok belum nemu lagi?"

"Iya, sih. Terus ... buktinya cuma dua, di sini gak ada," jawab Ferry.

Tidak menjawab. Gue sedikit heran dan terbengong.

Setelah beberapa menit, kami lanjutkan kembali pendakian. Sudah mulai terlihat puncak gunung yang menjadi tujuan kami. Akan tetapi, saat kami akan melanjutkan pendakian--terdengar seperti alunan suara degung.

"Mungkin di atas ada pos peristirahatan."

Segera gue berjalan menuju sumber suara.

Singkat cerita.

Gue berhasil menuju pos peristirahatan, tapi gak menemukan yang memainkan alat musik degung di sana. Sedangkan Ferry, tiba-tiba hilang. Entah kemana.

Panik. Gue dan Boim mencari Ferry. Nihil! Gak ketemu juga. Jam di pergelangan tangan sudah menunjukan jam dua belas, siang. Kalo Ferry belum juga ketemu, kami bisa kemalaman pulang nanti.

"Gimana, nih? Mana kita belum sampe ke puncak lagi."

"Coba tanya ke orang-orang di tenda, kali aja ada yang lihat," jawab Boim.

Setelah kami bertanya ke beberapa orang, tidak ada satu pun yang melihat Ferry. Padahal, menuju puncak tinggal sedikit lagi. Sial!
Mau nelpon Selo, sinyal nggak ada. Sebisa mungkin, kami harus menemukan Ferry secepatnya.

Langit sudah tidak lagi terang, sedikit redup. Karena, sudah jam empat, sore. Kurang lebih empat jam gue dan Boim mencari Ferry, belum juga ketemu.
Tidak terasa, ternyata kami sampai juga di puncak Gunung Sinden. Sayangnya, Ferry gak ada.
Boim tampak menikmati pemandangan.

"Bro! Lu malah enak-enakan. Ferry gimana, nih? Kalo dia gak ketemu juga gimana?"

"Ya ... gimana lagi? Kita udah sampe di puncak, tapi Ferry tetap gak ketemu. Hm!"

Dengan perasaan gak tenang, gue tetap mencoba berpikir positif kalo Ferry bakal ketemu. Pemandangannya memang sangat indah, sawah-sawah yang berasa di bawah kaki gunung terlihat seperti bentuk lope yang begitu indah.

Saat gue melihat ke belakang, mata gue langsung tertuju krme anak Gunung Sinden. Yang katanya, gunung itu gak boleh dikunjungi. Tapi, kok gue kayak melihat Ferry di sana.

"Bro! Ferry ..., Bro! Dia di sana."

"Mana, sih?" Boim menghampiri.

Benar. Ternyata itu Ferry, tapi dia sama siapa? Kok, kayak cewek, pake konde dan kebaya gitu. Oh, iya. Gue inget, Ferry pernah ngomong kalo dia melihat cewek di bawah pohon besar. Jangan-jangan pohon besar yang dimaksud Ferry, pohon Gintung.

Dari kejauhan, gue panggil Ferry. Tapi, dia gak menghiraukannya. Aneh banget si Ferry itu. Pun Boim yang sedari tadi terlihat mengamati cewek berkonde itu.

"Lu, ngapain malah bengong. Kesambet berabe."

"Kagak. Gue cuma heran, si Ferry, kok bisa sampe di sana?"

"Bener juga, Lu."

Tiba-tiba cewek berkonde itu melihat ke arah kami. Matanya mendelik dan wajahnya terlihat tua, keriput.
Bukan hanya cewek itu, Ferry juga melihat ke arah kami. Dia menghampiri, tapi tatapannya kosong.

"Lu baik-baik aja, kan, Fer?" tanya Boim.

"Iyalah. Itu cewek yang gue maksud tadi, cantik, kan?" seru Ferry tersenyum, tapi tatapannya masih kosong.

"Cantik apaan. Nenek-nenek gitu, keriput. Ha-ha-ha." Sontak gue tertawa.

Namun, ada yang aneh dari wajah Ferry. Dia terlihat kesal, kemudian berlalu pergi ke anak gunung tadi

"Eh! Fer, jangan ke situ lagi. Bahaya!" teriak gue.

Ferry tetap berjalan. Dan nenek-nenek itu seketika tersenyum menyambut kedatangan Ferry.
Gue dan Boim bingung. Apa yang harus dilakukan? Gak mungkin kami ikut pergi ke anak gunung itu, bisa bahaya.

Sedangkan hari mulai gelap, Ferry masih berada di sana. Kami berusaha mencari cara untuk membawa Ferry pulang, tapi tetap tidak berhasil.

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang berdua, setelah itu meminta bantuan untuk membawa Ferry pulang.

***

Konon, ada seorang ronggeng yang sangat cantik di Kampung Cikonde, namanya Nyi Marangge. Saking cantiknya, banyak sekali laki-laki yang berebut untuk ngibing bareng Nyi Marangge. Namun, di balik itu ada ronggeng lain yang tidak menyukainya, kemudian ronggeng itu menyuruh segerombol laki-laki untuk membunuhnya.

klik sumber

Nyi Marangge berhasil dibawa ke puncak gunung, sebelum dibunuh, Nyi Marangge dirudapaksa terlebih dahulu secara bergantian. Setelah kejadian itu, Nyi Marangge gentayangan, banyak warga sekitar yang melihat Nyi Marangge ngibing di tengah malam.
Warga merasa terganggu, lalu menyuruh kyai untuk mengusir Nyi Marangge.

Nyi Marangge menuruti permintaan pak kyai, tapi dengan satu syarat. "Seluruh warga harus memakai konde, kecuali laki-laki. Nyi Marangge akan berdiam diri di anak gunung, yang dulunya nama gunung itu adalah Gunung Dadali, sebelum berganti nama menjadi Gunung Sinden. Dan salah satu pohon besar yang biasa disebut Pohon Gintung akan menjadi tempat persinggahannya kapan pun dia mau."

Warga pun meng-iya-kan permintaan Nyi Marangge. Dan sampai sekarang, warga masih menerapkan itu.

***
Setelah turun gunung. Gue dan Selo segera menuju salah satu rumah pak kyai yang ada di tengah-tengah hutan. Menurut warga Kampung Cikonde, hanya pak kyai Durjan yang bisa menaklukan Nyi Marangge.
Kami berhasil menemukan rumah pak kyai Durjan dan ia juga meng-iya-kan untuk menolong kami.

Namun, karena sudah larut malam. Pak kyai Durjan menyuruh kami untuk bermalam di rumahnya dan melanjutkannya besok.

***
Sampai di puncak gunung. Pak kyai segera menemui Nyi Marangge dan menyuruhnya untuk melepaskan Ferry. Tapi, Nyi Marangge menolaknya. "Aku sudah jatuh cinta dengan laki-laki ini." Begitu ucap Nyi Marangge.
Pak kyai terus membujuk Nyi Marangge, akhirnya Ferry dilepaskan dari peletnya dan berhasil kami bawa pulang.

Tamat
sebelahblogzafinsyurgainfinitesoul
infinitesoul dan 17 lainnya memberi reputasi
18
3K
53
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.