nofivinovie
TS
nofivinovie
Sisi Lain Seorang Pelakor


Apa yang menarik dari seorang pria beristri?

Uangnya?

Tidak.

Aku bukan pramuria yang begitu tergiur dengan iming-iming rupiah. Di samping itu, uang yang kudapat dari orang tua sangat lebih dari cukup. Jadi salah apabila ada yang menyangka aku mencari uang dengan menempel pada suami orang.

Mencari mangsa, menjeratnya, kemudian menghancurkan rumah tangga yang mereka bina sebelum kutinggalkan adalah tujuan. Mungkin kalian menganggapku gila. Ya, mungkin. Otakku sudah tidak bisa lagi membedakan mana perbuatan baik dan mana yang buruk.

Menjadi duri dalam mahligai orang lain adalah sebuah kepuasan. Kemudian aku bisa tertawa puas. Sangat puas.

Pekerjaanku menjadi seorang 'wedding organizer' begitu membuka akses bertemu dengan berbagai macam orang. Banyak di antara mereka yang akhirnya menjadi korban. Untuk masalah memorakporandakan rumah tangga, aku jagonya.

"Belum pulang?"

Sebuah suara yang sudah sangat kukenal mengagetkanku. Aku menoleh ke arah suara. Fadly, seorang perwakilan dari rekanan penyedia jasa multimedia terlihat tampan dalam balutan kemeja hitamnya.

"Aku belum pulang, sih, masih baru mau cari taksi." Dia bisa dibilang pria spesial karena kemampuan komunikasinya yang beberapa kali berhasil meyelamatkan reputasiku di hadapan klien.

"Naik motor malu nggak?"

"Kenapa malu?"

"Ya kali gitu. Kalau nggak malu, aku antar boleh?" Mata pria itu terlihat menunggu jawab dengan penuh harap. Aku tersenyum, mangsa baru.

Malam itu aku menerima tawarannya sekaligus mulai menebar jaring. Ternyata memang semudah yang kubayangkan. Dia sama dengan korban-korbanku di masa lalu.

Aku berhasil mengorek sampai ke akar.

Jaring dan racun semakin banyak kutebar.

Semakin lama hubungan kami makin intim.

"Mulai besok kamu sering-seringlah nginep di rumahku." Entah mengapa kalimat itu terus mengusik pikiran hingga akhirnya kulontarkan. Aku ingin sering-sering bersamanya. Rasa aneh yang sebenarnya aku bingung mengartikannya.

"Nggak bisa."

"Takut sama istrimu?"

Dia diam, tak berapa lama tangannya mengeluarkan rokok dari dalam saku kemeja, kemudian menyalakannya. Aku menikmati wajahnya yang terlihat serius menikmati asap beracun itu. Wajah tampan yang sepertinya sudah berhasil membuatku tergila-gila.

Hari terus berganti, hingga aku benar-benar sudah tidak ingin ditolak lagi.

Sore itu aku baru saja bersiap-siap untuk 'meeting' dengan klien. Baru saja selesai mandi saat seseorang membuka pintu kamar. Kaget bukan kepalang karena ternyata Fadly yang datang. Wajahnya tampak kusut.

"Aku nginep sini, ya?"

Aku yang masih terbengong karena kehadirannya yang mendadak menjadi semakin kaget mendengar kalimatnya. Aku yang hanya mengenakan kimono mandi mendekatinya kemudian memberi sebuah kecupan di bibir sebagai ucapan selamat datang. Sesi berikutnya tidak usah kuceritakan karena semua pasti tahu akhirnya.

Tiga hari Fadly menginap di rumahku.

Hari itu dia berniat pulang, kusuruh mandi agar badannya segar. Saat itulah ponselnya berdering. Nama seorang perempuan terpampang.

"Halo."

Hening. Beberapa detik berlalu, tetapi tak ada sahutan. Kututup dengan dengkusan.

"Siapa?"

Kuulurkan ponsel ke arahnya. Wajah itu meneliti benda persegi panjang yang baru saja kuberikan. Ada perubahan yang tampak nyata di sana.

Tanpa banyak bicara Fadly mengemasi tas punggung yang dibawanya saat datang. Bibirnya terkatup. Aku tidak suka menyaksikan aksinya. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa sedikit posesif. Apa aku jatuh cinta?

Selesai membereskan tas, Fadly langsung pergi. Tidak ada kata-kata manis yang akhir-akhir ini mulai kusukai. Tidak ada juga kecupan di dahi layaknya sepasang kekasih.

Tiba-tiba hidupku terasa hampa. Pikiranku berkelana entah ke mana. Terbayang indahnya sebuah pernikahan yang begitu sering kusaksikan.

Haruskah aku menikah?

Tidak. Aku tidak ingim seperti Mama. Wanita itu menghabiskan waktu sepuluh tahun dengan siksaan batin.

Masih teringat jelas malam itu saat usiaku baru memasuki sepuluh tahun. Papa terlihat mengemasi barang-barangnya setelah berulang kali memukul Mama. Mama hanya menangis tersedu-sedu sambil memegangi kedua pipinya yang basah oleh air mata.

Mama hidup tanpa gairah. Beliau hanya tersenyum saat bersamaku. Tidak ada lagi senandung kecil Mama saat memasak di dapur, menyirami tanaman bunganya, atau memberi ikan-ikannya makan. Dunia Mama berubah warna dalam sekejap. Mama menghabiskan waktu dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan.

Mama kini bekerja di sebuah tempat bimbingan belajar. Kemampuan akademisnya yang lumayan bagus menjadikan Mama mengajar beberapa pelajaran sekaligus untuk tingkat SMA. Hari-hari Mama banyak tercurah ke sana. Aku senang karena pada akhirnya Mama bisa sedikit tersenyum.

Namun, Mama hanya wanita biasa yang punya rasa lelah. Mama jadi sering sakit. Bahkan untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari perlu bantuan. Aku hanya bisa menyemangati Mama dengan kalimat-kalimat hiburan. Aku yang polos hanya bisa menangis saat melihat Mama sering kali tiba-tiba tersedu di kursi rodanya.

Mama lumpuh. Namun, Papa masih tetap memberi kami uang seperti biasa. Dengan uang itu, Mama bisa diberikan perawatan terbaik. Meski pada akhirnya di tahun ke-10 Mama meninggal. Saat itu usiaku yang memasuki usia dewasa mulai terdoktrin bahwa laki-laki adalah kaum yang jahat. Aku tumbuh menjadi sosok penakut sekaligus pendendam.

Aku takut dikhianati, maka dari itu kupilih menghkianati. Aku juga takut milikku dicuri, untuk itu kucuri duluan milik orang lain. Begitulah.

Aku tersadar dari lamunan saat ponselku berdering. Nomor baru yang kemungkinan besar adalah calon klien. Namun, ternyata bukan.

Seorang wanita yang mengaku istri Fadly.

Baru kali ini aku gentar menghadapi wanita yang suaminya kuganggu. Biasanya tidak ada beban saat harus mengatakan hal-hal buruk yang bertujuan merusak rumah tangga mereka. Namun, kali ini perasaanku lain.

Wanita itu sama sekali tidak mengancamku.

Dia dengan sangat tenang justru mengundangku ke rumah mereka. Kepalang tanggung, kusanggupi. Aku akan datang segera.

Semampainya di rumah sempit di pinggir perkampungan yang lumayan ramai, aku dipersikakan masuk. Aku melangkah memasuki ruangan sempit yang terdapat tiga buah sofa kecil. Kulihat Fadly terduduk lemas di salah satu sofa. Aku sadar apa yang akan terjadi.

"Mbak Mona mau minum apa?"

Astaga, dia masih menawariku minum?

Aku hanya menggeleng.

"Langsung saja, apa yang perlu kita bicarakan?"

Senyum datar terbit di bibir wanita berhijab itu. Wajahnya yang bulat dan kusam sama sekali tidak menarik. Pantas Fadly begitu gampang kurayu. Baru saja wanita itu ingin membuka mulut, tiba-tiba saja ada yang datang dengan mengucap salam. Ternyata dua orang anak, mungkin seumuran enam atau tujuh tahun dan satu lagi mungkin sekitar tiga tahun. Keduanya adalah anak-anak yang cantik dengan kerudung dan gamis sederhana melekat pada tubuh-tubuh itu.

"Ma, ngajinya pulang cepat, soalnya ustazah bilang mau takziah." Dua anak kecil itu berbicara sambil menyalami kedua orang tuanya, lalu menghampiriku kemudian melakukan hal yang sama. Perasaanku bergetar tidak menentu.

"Kakak dan Adek main dulu, ya! Mama ada tamu, mau ada urusan penting jadi anak-anak nggak boleh tahu." Kuakui, cara berkomunikasi wanita itu sungguh mengagumkan.

Di saat rumah tangganya di ujung tanduk dan di hadapannya ada si perusak, tetapi dia tetap tenang itu sangat luar biasa. Hatiku ngilu. Wanita seperti ini mengingatkanku akan Mama.

"Saya minta maaf untuk semua yang sudah saya rusak," ucapku tulus saat kedua anak itu sudah berlalu. Air mataku turun begitu deras. Aku malu.

Tanpa kuduga, wanita itu justru memelukku. Erat. Ya Tuhan, cabut saja nyawaku sekarang! Mukaku sudah hilang entah ke mana.

***

Sebulan berlalu sejak drama menangisku di rumah Fadly. Badanku terasa aneh. Aku begitu sering lelah dan pusing.

Aku mencoba untuk banyak istirahat.

Sembuh, lalu kumat lagi.

Tanpa pikir panjang aku menemui dokter.

"Tidak sedang hamil, kan, Bu?" Pertanyaan dokter perempuan itu sontak membuat napasku tercekat. Hamil? Yang benar saja.

"Saya tidak hamil."

Begitulah, aku berkeras hati meyakinkan dokter bahwa aku tidak sedang hamil. Namun, rasa penasaran menggiringku untuk membeli alat tes kehamilan. Sepanjang perjalanan aku sibuk meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak hamil. Sesampainya di rumah, kusimpan alat itu untuk digunakan esok hari. Dalam hati dan otak ini, berbagai pikiran dan prasangka bermunculan. Aku ketakutan. Ketakutan yang baru kali ini kurasakan. Hingga keesokan harinya saat alat itu kugunakan dan hasilnya positif, duniaku terasa runtuh seketika.

Sekarang apa yang harus kulakukan? Meminta pertanggungjawaban? Atau melepaskan beban dengan sebuah goresan di pergelangan tangan?

Mungkin bagiku mati adalah solusi.


Lanjutan ada di:
lanjutan

lanjutan lagi

menuju akhir

ending

Gambar: https://instagram.com/djdeelishea?ig...=1wamfo69t65bw
Diubah oleh nofivinovie 20-09-2019 23:03
miniadilaKnightDruidsomeshitness
someshitness dan 50 lainnya memberi reputasi
51
22.4K
265
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.