juneldi
TS
juneldi
Pendakian Terakhir


Pendakian Terakhir
Petualangan Tiga Sahabat

By Juneldi


Indeks Cerbung
Di sini


“Gue harap lo seneng ama keputusan lo maksain kita semua ikut dalam ekspedisi ini, Jon!” rutuk Rino.

Mulutnya terus mengepulkan asap rokok tanpa berhenti. Entah sudah berapa batang yang ia habiskan, yang jelas ada lebih dari lima puntung rokok ia buang sembarangan. Aku sudah mengingatkannya untuk menjaga kebersihan lingkungan hutan. Ada pantangan yang harus diperhatikan selama berada di hutan. Namun, teguranku hanya dianggap angin lalu.

“Tidak mungkin aku senang dengan kejadian ini, No. Sama seperti kau juga, aku pun merasakan kesusahan. Tapi setidaknya, jangan pulak kau buang sampah sembarangan. Kita tidak tahu siapa yang akan marah nanti kalau sampai kotor hutan ini,” jawabku.

“Heh, Jigong! Gak usah nyinyir deh lu. Gue udah empet lihat muka lu. Suka-suka gue dong mau buang puntung rokok di mana. Siapa juga yang berani protes? Setan, Genderuwo, gue gak peduli. Gak takut. Kalo ketemu, gue jadiin asbak ntar.” Adi malah semakin menjadi-jadi sombongnya.

“Terserah kau lah, No!” Aku malas untuk memperpanjang debat.

Kini Sang Surya mulai surut kembali ke peraduan, dan mempersilakan Sang Rembulan tampil. Saat ini kami sedang beristirahat dalam sebuah gubuk reot yang sudah lama ditinggalkan penghuninya. Semua sangat kelelahan sehabis berjalan lebih dari lima jam, badan pun sudah terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan. Bermalam di gubuk adalah pilihan yang terbaik untuk diambil. Kubaringkan tubuh tambun ini dan mencoba tidur, sambil berharap esok hari akan ada jalan keluar dari hutan.

***



Keesokan pagi, Aku, Adi dan Rino mencoba kembali menelusuri jalan yang kami tempuh sebelumnya. Setapak demi setapak, tidak boleh melewatkan detail sekecil apapun. Hari ini adalah hari ketiga kami tersesat di Gunung Lawu. Persediaan makanan yang tersisa tidak akan cukup sampai satu minggu, apalagi untuk bertiga. Paling lama tiga hari lagi, kami semua akan mati kelaparan.

Rino masih bermasam muka padaku sejak awal kami berangkat. Aku tidak bisa menyalahkannya, sebagai anak Jakarta yang sudah terbiasa hidup modern dengan fasilitas lengkap, tersesat di hutan pastilah terasa seperti mau mati. Lain dengan Adi, lelaki Jogja itu masih lumayan tenang. Hidup dari kecil di pesisir pantai menjadikannya pribadi yang kuat. Ia juga tipikal orang yang selalu bisa diandalkan di segala situasi. Terutama saat menghadapi situasi sulit seperti sekarang.

Kuakui memang sedikit memaksa mereka berdua untuk ikut ambil bagian dari ekspedisi Gunung Lawu ini. Bahkan, sampai membohongi Rino yang ngotot sekali menolak. Awalnya, kukatakan kami akan bikin pesta kecil-kecilan di hutan. Wajar dia sekarang marah dan mungkin juga ada perasaan ditipu. Kini, ditambah kejadian tersesat di tengah hutan, pasti membuat perasaannya semakin tidak karuan.

Ekspedisi Gunung Lawu ini diadakan oleh sebuah majalah bergengsi berskala nasional. Mereka selalu mengadakan acara ini setiap lima tahun sekali. Sudah berjalan selama tiga puluh lima tahun. Bagiku terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja, apalagi aku sudah lama ingin merasakan menginjakkan kaki di Gunung Lawu. Namun, tentu terlalu beresiko jika berangkat sendirian. Itu alasan kenapa kuajak kedua sahabatku ini. Agar jika sampai terjadi hal yang di luar perkiraan, aku tidak perlu sendiri menghadapinya.

“Kurasa kita masih berputar-putar saja di rute ini, Jon.” Perkataan Adi membuyarkan lamunanku.

“Apa jangan-jangan kita sudah masuk ke dalam hutan larangan, ya?” Ia terdengar mulai khawatir.

“Entahlah, jujur ini pengalaman pertamaku naik gunung Lawu. Coba kau cek kompas! Apa arah kita masih benar?” tanyaku balik.

“Arah kita masih benar. Tapi kita malah balik ke titik yang kemarin lagi,” kata Rino bingung sambil terus memandang kompas yang dipegangnya.

“Sialan! Gue mau balik pulang aja, deh. Beneran nyesel gue udah kemakan omongan lu, Jon. Dasar bangke!” Tiba-tiba Adi melayangkan tinju kanannya.

Serangan mendadak itu membuatku tidak sempat menghindar, pukulan kerasnya medarat telak di dagu. Aku sempat terhuyung beberapa langkah ke belakang. Masih emosi, Rino mengejar hendak mencengkram kerah jaket denimku. Untungnya, Adi dengan cepat menangkap kedua tangan Rino dan mencoba menenangkan.

“Sudah! Tenangkan dirimu dulu,” seru Adi menahan kuat Rino yang masih terus bergerak.
“Jaga omonganmu. Dilarang bicara kasar selama berada di hutan.”

“Gimana mau tenang? Udah dua hari kita muter-muter jalan ini dari kemarin. Si Kebo itu harus gue kasih pelajaran karna udah jerumusin kita ikut ekspedisi sialan ini!” Rino terus memaki dengan bahasa kotor sambil menudingkan jari telunjuk ke arahku yang mengambil jarak agak jauh darinya.

Aku tak mau meladeni amarahnya dan memperumit masalah. Selain itu, dalam hatiku ada perasaan bersalah dengan kejadian ini.

“Oke, kau berhak marah. Kita tersesat ini memang semua salahku. Aku juga minta maaf karena sudah menipu kau untuk ikut. Tapi sekarang, yang harus kita pikirkan adalah cara keluar dari hutan. Emosi kau itu tidak akan menyelesaikan masalah,” ucapku dengan nada sepelan mungkin, agar mereda emosinya.

“Benar kata Joni, emosi tidak membantu menyelesaikan masalah kita. Sekarang, ayo tenangkan dirimu dan berhenti memaki,” sambung Adi sambil pelan-pelan melepaskan genggamannya di lengan Rino.

Belum sepenuhnya tenang, sambil bersungut dan menatap tajam ke arahku, Rino berkata, “Gue gak mau tau. Gimana pun caranya, lu harus bawa kita segera keluar dari sini.”

SREEKK!

Kami bertiga terkejut mendengar suara keras dadakan tersebut. Sepertinya berasal dari balik pohon rimbun yang berjarak lima belas meter ke arah utara. Beberapa saat kami hanya diam mematung saling berpandangan.

SREEKK! SREEKK!

Suara itu terdengar lebih keras dari sebelumnya dan semakin mendekat. Tak ingin membuang waktu lebih lama, kami bertiga lari sekuat tenaga membelakangi arah suara. Aku berada paling depan, disusul oleh Adi dan Rino yang tertinggal agak jauh di belakang.

Nahas bagi Rino, ia malah jatuh tersungkur akibat tersandung akar pohon besar yang mencuat keluar permukaan tanah. Aku dan Adi sempat berhenti hendak menolong. Namun, kelabatan bayangan sosok itu terlihat semakin dekat mengejar.

“Sudah, tinggalkan saja dia!” teriakku pada Adi berusaha mencegahnya kembali.

“Gila kamu! Kita harus tanggung jawab menyelamatkan Rino, Jon. Jangan jadi pengecut!” bantahnya.

“Terserah kau lah kalau mau selamatkan dia, tapi aku tidak sudi mati jadi santapan makhluk itu.” Secepat kilat, aku kembali berlari menjauh. Kutolehkan pandanganku sekilas, ternyata Adi benar-benar berlari kembali ke arah Rino.

“Dasar bodoh! Cari mati saja,” umpatku. Aku berusaha mempercepat langkahku.

Sedetik kemudian, aku terkejut mendengar teriakan Rino dari kejauhan, bercampur dengan semacam suara auman yang menggelegar. Tak berapa lama kemudian, disusul teriakan Adi kesakitan. Suaranya dan auman keras sosok itu jadi satu terdengar menggema di seluruh hutan. Kaki ini terus berlari semakin jauh meninggalkan tempat itu.

Hatiku kini bergemuruh dengan perasaan campur aduk, mengutuk sikap pengecut yang baru saja kutunjukkan. Kedua kelopak netra ini sembab karena tak berhenti mengeluarkan air mata. Linangannya membasahi pipi, mengiringi rasa bersalah yang menghantui.

Entah sudah berapa lama kupaksakan kaki untuk terus berlari, yang jelas suasana hutan kembali sunyi. Napas ini tersengal-sengal dan langkahku pun kini gontai. Tidak kuat lagi rasanya melanjutkan perjalanan. Pandanganku mulai gelap.

***

Suara kayu dipatuk membuatku tersadar dari lelap dari pingsan tadi malam. Perlahan saat coba untuk bangkit, terdengar suara gemertak tulang-tulang yang kaku Aku mengucek mata dan memperhatikan keadaan sekeliling. Nampak seekor burung sedang mematuk ranting kecil. Ia seperti tak peduli dengan keadaan sekelilingnya.

Perhatianku kini tak bisa lepas dari tingkah burung tersebut. Kini, ia melompat-lompat menuju suatu arah. Bagai kerbau dicucuk lubang hidungnya, aku mengikuti arah burung misterius itu. Sesekali ia terbang beberapa meter lalu turun kembali ke tanah dan melompat-lompat. Seolah, ia ingin menunjukkan sesuatu padaku.

Selang sekitar setengah jam kemudian, aku merasakan suasana hutan ini berbeda dari sebelumnya. Sekarang, jadi terlihat terang benderang. Sinar mentari subuh yang menembus daun-daun pepohonan tinggi terasa lebih hangat. Semakin berjalan ke depan, baru kusadari bahwa ternyata posisiku sudah sampai di puncak gunung. Seakan ingin memberitahu bahwa tugasnya telah selesai, burung ajaib tadi pun terbang jauh meninggalkan.

Terpana dengan nuansa menakjubkan di puncak Gunung Lawu, aku melemparkan pandangan kosong ke arah terbangnya burung tadi. Kini perasaanku jadi galau tak menentu. Satu sisi, ada kelegaan karena bisa selamat tiba di puncak, sesuai cita-cita. Namun, di lain sisi, hatiku perih mengingat dua sahabatku kini telah tiada. Mereka mati akibat buah dari keegoisanku.

Aku tertawa dan kemudian menangis keras. Seandainya aku tidak egois mengajak mereka. Seandainya Rino tidak melanggar pantangan. Begitu banyak seandainya seliweran di benakku. Tanpa bisa kutahan, air mataku kembali berlinang. Menangisi penyesalan seumur hidup ini.


Sumber gambar : Dokpri


PEKANBARU, 22/09/19


Bersambung

Cek indeks cerbung di post 2
Diubah oleh juneldi 30-10-2019 23:41
zafinsyurgasomeshitness4iinch
4iinch dan 34 lainnya memberi reputasi
35
12.4K
136
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.