ibliss666Avatar border
TS
ibliss666
Puncak Wadhal Gunung Lawu, Tragedi untuk 109 Santri (True Story)



Kala itu angin berhembus semilir menerpa wajahku. Tak terasa aku sudah beberapa bulan di Pondok Pesantren Mukminun ini. Lokasinya ada di Jawa Tengah dekat dengan Gunung Lawu yang tepat diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

"Besok kamu bawa sarung gak Yo?", tanya sahabatku Didi yang daritadi menghafalkan salah satu surat Al Quran.

" Bawa Di, aku asli orang sana ya tau lah dingin banget tu di gunung kok", jawabku. Besok ialah hari dimana kita berkemah ke Gunung Lawu, tapi kini mendung sudah menyapa, dipikiranku adalah rasa dingin yang pasti menusuk, melihat cuaca yang memang tengah memasuki musim penghujan. Bersama 109 serta 10 pembimbing Pondok Mukminun kami akan berangkat menggunakan truk dan entahlah sebanyak itu ada berapa truk yang akan membawa kami.

"Yaudah Yo, masuk dulu ini mendung banget", kata Didi yang tengah mengemasi buku dan alat tulis yang ada didepannya.

Namaku Aryo, orang yang cukup pendiam dan paling suka menikmati alam. Besok adalah hari yang kutunggu-tunggu karena berkemah di alam bebas sangat mengasyikkan.

Malampun menjelang dan hujan tidak datang menyapa kami di pondokan. Kami terlarut dalam dengungan Ayat-ayat Al Quran yang dihafalkan, memang seperti itulah keseharian kami, bergelut dengan ibadah dan kami sudah terbiasa.

Saat hendak beranjak tidur di dipan sederhana yang berada diujung koridor pondok, kami para santri sibuk menyiapkan perbekalan untuk besok, ini pengalaman pertama teman-temanku, dulu aku pernah ke gunung Lawu dan sedikit menjajah di sana, aku jadi merasa sedikit bangga karena pernah kesini, ya memang rumahku tak jauh dari sini.

Senin pagi kami berangkat, perjalanan menggunakan truk ini memakan waktu sekitar 2 jam, kami berdesak-desakkan, berdiri, dan sembari melihat alam yang masih asri selama di perjalanan. Jalan yang kami lalui masih sepi dan jalanan itu didominasi oleh angkutan desa, orang-orang masih ramai berjalan kaki dan naik sepeda.

Perbekalan yang kami bawa tak terlalu banyak, satu santri membawa baju kesehariannya dan dibagikan makanan untuk sementara agar memiliki tenaga dalam mendirikan tenda.

Tenda yang didirikan berjumlah 7 dan lokasinya ada di lereng timur dari gunung Lawu, tepatnya di Mojosemi, sebuah bumi perkemahan di Magetan, Jawa Timur. Oh ya santri yang mengikuti kemah ini berusia sekitar 13-22 tahun dengan 10 pembimbing dan kami saling membantu jika ada yang kesulitan, karena hidup di santri memang membuat kami seperti keluarga sendiri.

Seperti hari kemarin, langit tak secerah hatiku, mendung pekat menghampiri dan hujan pun melanda. Ternyata hujan membawa sedikit angin yang merobohkan satu buah tenda yang telah berdiri tegak. Akhirnya kami hanya berdiam ditenda hingga hujan mereda.

Kalau dari awal sudah buruk seperti ini aku merasa akan banyak kejadian yang tidak menyenangkan, semoga saja tidak ada suara gong yang terdengar di gunung Lawu ini. Sejak datang ke sini pukul 10 pagi tadi, kami melihat ustadz-ustadz tengah kesana kemari menyiapkan banyak hal, koordinasi bersama pengelola Mojosemi juga dilakukan oleh mereka, sesekali santri-santri yang ada di dalam tenda dipanggil entah untuk membantu yang bisa dibantu, seperti membagikan jadwal maupun secarik kertas panduan yang akan dijelaskan nantinya.

Langit sudah semakin gelap, malam telah datang, api unggun yang harusnya menyala ditengah-tengah lapangan, ternyata tak ada, hanya mengandalkan api kecil dari 'ublik' yang kami bawa dari pondokan. Gila, dinginnya setengah mati. Semua sudah bersiap untuk melaksanakan sholat magrib, dan kamipun bergantian dalam jamaah. Tak lama kemudian ustadz-ustadz di tenda seberang membagikan makanan untuk kami, walau tak banyak setidaknya bisa mengganjal perut kami untuk malam ini.

Di tengah dinginnya malam, kami berkumpul ke tengah-tebgah tenda yang melingkar, mendengarkan apa saja yang akan kami lakukan untuk besok. Ada agenda menjelajah hingga ke puncak dan kami antusias dengan itu karena selain belum pernah ke sana, orang bilang puncak gunung bisa menguak jati diri kita. Setelah mendengar arahan-arahan dari para ustadz akhirnyapun kami kembali ke tenda, setelah sholat Isya tak ada kegiatan yang bisa kami lakukan, hanya bergumul bersama karena dinginnya yang luar biasa. Jaket hanya dimiliki oleh sebagian anak, di tahun 1987 andalan kami hanya kain panjang berbentuk sarung untuk menghangatkan diri.

Di pondok kami memang sering hidup sederhana, jadi liburan seperti ini adalah salah satu hal yang ditunggu-tunggu walau berangkatnya berdesakan karena hanya menggunakan dua truk, kami tetap bahagia setidaknya tidak berjalan kaki untuk ke sini, hehe. Seperti biasa, jam 3 pagi adalah saatnya kami bangun dan melakukan sholat malam, tanpa dikomando kami bergantian mengambil wudlu dan membuat barisan jamaah di dalam tenda masing-masing, sembari menunggu subuh menjelang kami bercengkerama dan membahas apa saja yang akan dilakukan saat menjelajah tiba. Kelompoknya di bagi menjadi 5, begitu pula ustadznya, ada sekitar 20an santri dalam satu kelompok.

"Banyak ya sekelompok, nanti ada yang ketinggalan gak tau lagi", cetus Bayu salah satu temanku yang berada dibelakang punggungku.

" Lah jangan gitu, di gunung ga boleh ngomong sembarangan", pintaku padanya.

Kami satu tenda ditambah beberapa santri dari tenda lain menjadi satu kelompok dengan jumlah 24 santri, dipimpin oleh ustadz Wahib kami berada di kelompok III. Pukul 10 pagi kamipun mulai berangkat, di perjalanan sangatlah mengasyikkan, kami bercanda dan saling mengingatkan satu sama lainnya, Ustadz Wahib juga menceritakan berbagai pengalamannya saat berada di alam terbuka.

Jalan yang kami lalui seperti tak pernah dijamah manusia, tumbuh-tumbuhan masih banyak dan kami harus membabat alas agar bisa dilewati. Tanpa bantuan alat seperti kompas, peta bahkan pakaian kami biasa saja, masih saja nekad untuk berangkat. Tadi kami berangkat melalui jalan setapak dari Mojosemi, jalan Wadhal, pintu belakang dari gunung Lawu ini.

Kami hanya mengenakan baju keseharian namun cuaca yang kemarin diterpa hujan sedikit tak berasa dingin karena kondisi kami yang terus bergerak. Di perjalanan kami bertemu dengan kelompok lain, kemudian kami saling memutuskan untuk tidak satu jalur, akhirnya dua kelompok yang bertemu saling memisahkan diri, tak hanya berpapasan dengan kelompok lain, saat melihat jalan yang seperti sudah dilewati para santri, kamipun mencari jalan lain, jiwa muda kami bergelora.

Ternyata banyak tebing dan jurang yang curam di sini, kami harus berhati-hati agar tak terpeleset jatuh kedalamnya. Hingga akhirnya kami mencapai satu puncak yang belum terlalu tinggi, masih terlihat puncak yang lain di sana, tanpa berfikir panjang kamipun melanjutkan perjalanan. Tak terasa hari mulai gelap, padahal seharusnya kami sudah kembali ketika pukul tiga sore, akhirnya kami memutuskan kembali dan ternyata didepan sudah terhadang kabut yang mulai menyelimuti. Tanpa adanya ilmu untuk mendaki dan minimnya pengalaman kami pun hanya berjalan tanpa arah, hari semakin malam, tak terasa juga perbekalan kami semakin menipis.

Ditengah kebingungan, kami hanya berdoa dan berdoa sembari duduk di salah satu bebatuan yang ada karena tanahnya masih basah akibat hujan pada hari Senin. Teman-temanku sudah lelah dan mencoba meluruskan kaki, mereka mengambil napas dalam-dalam sambil memegangi perut dan ada juga yang menunduk ke tangan yang ditopang pada lutut. Ustadz Wahib masih mencari jalan yang sekiranya bisa dilalui dan mencoba mengingat-ingat arah mana mereka berangkat tadi, sedikit demi sedikit kami berjalan lagi, tak jarang ada jurang yang curam serta jalan yang terjal kami lalui, tanah yang licin membuat kami kesulitan dalam berjalan, apalagi badan sudah basah dengan lumpur dan sesekali ada yang terpeleset karena memang hanya menggunakan sandal yang biasa dipakai di pondok.

Medan yang dilewati terlampau terjal dan kami yakin saat berangkat tadi, tidak melalui jalan ini. Namun kami hanya mengikuti arahan ustadz Wahib, semakin lama tenaga kami terkuras dan sebentar-sebentar istirahat. Rasa haus dan perut mulai keroncongan membuat sebagian dari kami sedikit meracau dengan mengatakan yang tidak-tidak, yah ini memang pengalaman pertama menjelajah gunung hingga puncak.

Seperti tahu jalan beliaupun mengutus 3 santri yang masih kuat untuk turun dan meminta pertolongan, karena hari sudah semakin gelap dan ada santri yang sudah tak kuat untuk berjalan lagi. Kami yang tersisa masih berdiam di sini, tanpa perbekalan dan hanya berusaha mencari apapun yang bisa dimakan namun kami juga tidak tahu tumbuhan mana yang bisa dimakan. Ustadz Wahib pun membacokkan parangnya ke pohon yang berada disebelahnya dan beliau mencicipi getah yang keluar dari batang pohon, "Tidak enak", katanya.

Air tinggal setengah botol besar, kami saling membagi dan mencoba berhemat, beberapa santri mencoba berkeliling ke area terdekat untuk mencari sesuatu yang mungkin berguna. Aku hanya menerawang di kejauhan, hanya kegelapan yang semakin pekat, aku tidak bisa membayangkan bagaimana tiga temanku tadi turun, apakah mereka baik-baik saja?, aku tidak tahu.

Daripada berdiam diri seperti ini kamipun sepakat untuk turun lagi dengan saling berdekatan agar tidak terpisah karena jalan yang terlampau gelap. Aku hanya bisa berdoa agar kuat membawa raga ini sampai bawah. Kami saling memijat saat beristirahat, kami meminta ustadz untuk berdoa agar kami semua selamat, kami menahan tangis karena mengingat orangtua kami yang belum mengetahui bahwa kami tidak baik-baik saja. Ini baru hari pertama dan belum ada 24 jam, kamipun bermalam di sini, tanpa alas tanpa baju tebal, hanya berdekatan satu sama lain.

Jika besok siang hari tidak ada kabar dari santri yang turun tadi maka kami akan mengirim santri lagi untuk mencari bantuan. Waktu semakin bertambah, tenaga kami semakin berkurang dan kamipun tertidur dengan perasaan was-was.

"Yo, gimana kalau kita tidak bisa pulang?", tanya Bayu yang sedang terbaring sambil menekuk lutut ke dada dan berselimut sarung, suaranya sudah parau dan dia mengusap matanya.

" Gapapa Yu, kita sudah berjuang sedari tadi siang, memang begini adanya, besok kata pak Ustadz kan mau kirim orang lagi", kataku sembari menenangkannya.

Dinginnya malam dan suara perutku membuatku sulit untuk tidur, suara binatang dari kejauhan terdengar bersahut-sahutan. Hanya gelap yang terlihat, hanya daun dan ranting yang sekarang ada di atasku, menutupi cahaya dari bintang yang munculpun tidak.Semakin lama aku tertidur sendiri, santri yang lainpun juga sudah mencoba tidur, tak ada yang bisa kami lakukan selain berdoa dan berdzikir, kami percaya bahwa Allah bersama kami.

Saat pagi tiba Ustadz Wahib mengumpulkan kami dan mengajarkan kepada kami untuk ikhlas dalam membaca dzikir, kemudian mengutus 6 orang dari kelompok ini untuk turun dan mencari bantuan, karena ini sudah berganti hari dan bahaya jika lebih lama terbengkalai di sini. Akhirnya 6 orang yang berusia paling tua menuruni gunung dengan bermodalkan kayu untuk menopang tubuh mereka, dan kami hanya duduk memandangi sekitar lalu menjelajah sedikit untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa dimakan, aku menemukan ulat jati yang berada di dalam tanah dan kuberikan pada Ustadz Wahib.

"Ustadz, ini ada ulat jati, aman dimakan, makanlah Tadz", tanpa mengurangi rasa hormat aku menawarkan ulat jati yang tadi kukumpulkan.

" Gak perlu Yo, aku masih kenyang", kata Ustadz Wahib sambil menepuk perutnya yang sedikit buncit itu.

Mungkin beliau belum pernah dan tidak tega memakan ulat-ulat ini, pikirku. Akhirnya aku makan dengan santri yang tega memakannya mentah-mentah, walau sama sekali tak mengurangi rasa lapar ini, namun perut rasanya sudah perih dan melilit.

Semak belukar yang rimbun didepanku seperti melambai-lambai ingin dimakan, namun aku tak tahu apakah semak-semak ini bisa dimakan atau tidak.

"Ini bisa dimakan gak ya?", gumamku kepada teman-teman yang tersisa 13 orang ini.

"Janganlah Yo takut nanti malah gatal gimana", sahut salah satu dari mereka, Parlan namanya, ia tampan walau namanya ndeso.

Sudah tengah hari, kamipun berusaha untuk jamaah sholat dhuhur bersama-sama, walau badan sudah terasa lemah dan tenaga sudah sangat terkuras serta hawa dingin yang masih menyelimuti walau matahari sudah tinggi.

Atas usulan Ustadz Wahib agar kita sedikit bergerak turun pun membuat kami semua sedikit kewalahan, kaki rasanya malas bergerak dan badan seperti mau jatuh. Baru berjalan sebentar saja hampir semuanya sudah tidak kuasa melanjutkan, kamipun beristirahat kembali, kondisi kami semakin menurun, hingga sore menjelang 8 dari kami sudah terlelap dalam kedamaian. Ya mereka meninggal di sini, aku yang sangat terpukul di sini, Bayu kemarin berkata yang tidak-tidak dan kini ia telah tiada, jasadnya yang sudah dingin menjadi kaku didepan mataku, ingin rasanya menangis namun raga sudah tak kuat lagi.

Ustadz Wahib menyarankan untuk meninggalkan mereka di sini terlebih dahulu dan menutupinya dengan daun seadanya, dan kami yang tersisa 7 orang pun melanjutkan perjalanan berjuang untuk turun. Sore semakin gelap, kami belum melahap apa-apa, rasa dingin semakin menyeruak, pusing sudah pasti dan nafas semakin terasa sesak, oksigen seperti menjauh dari kami, kelelahan luar biasa menyebabkan kami berhenti berkali-kali.

"Kalau aku mati di sini titip salam ke emak ku ya pak Ustadz", ucapku lirih sembari duduk bersimpuh di hadapan pak Ustadz.

" Kamu akan selamat nak Aryo, sebentar lagi", kata Ustadz Wahib menguatkanku agar tetap lebih semangat lagi menuruni gunung.

Karena malam semakin gelap, kamipun berhenti dan mengistirahatkan badan. Suara-suara binatang malam bersahut-sahutan dan kami semua berusaha untuk tidur dengan nyaman.

Tiba-tiba aku terbangun, aku melihat sekeliling dan terasa begitu gelap, hampir tak bisa melihat apapun, hanya sedikit pantulan cahaya bulan yang menerangi kami. Sepertinya malam masih panjang, namun aku belum bisa tidur kembali, terdengar dari dekat teman santriku, Ari namanya, bergerak kemudian duduk dan tiba-tiba berteriak-teriak memanggil Parlan yang ada didepannya sembari menggoyangkan tubuhnya. Setelah mendengar Ari berteriak dengan suara cukup kencang aku, Ustadz Wahib, Endra dan Rido bangun dan menanyakan apa yang terjadi. Ada satu santri yang masih tidur, aku mencoba membangunkannya namun tak ada respon darinya. Kini tinggallah kami berlima sedang berjuang untuk melawan dinginnya udara yang semakin menusuk ke tulang.

"Ah, dinginnya sudah berkurang, apa karena aku syok teman-temanku meninggal ya", batinku sendiri.

" Rido, Endra, sekarang tidak bisa kita berdiam diri, kita harus mencari apa yang bisa dimakan dan diminum, saya akan mencoba cari bambu yang mungkin menyimpan air, ayo sama-sama", terang Ustadz Wahib kepada kami.

Akupun bergegas mencari juga, setelah bangun tidur sepertinya tenagaku pulih dan aku lebih leluasa bergerak, rasanya lapar dan haus sudah tak terasa. Hingga aku lupa diri dan berjalan terus berjalan hingga pagi menjelang untuk mencari perbekalan, aku menemukan bambu yang dicari Ustadz Wahib, aku pun bergegas kembali lagi ke tempat semula namun mereka belum ada di sana, akupun menunggu ditempat ini, teman-temanku sudah ditutup dengan dedaunan, namun aku tak ingat kapan mereka ditutupi, mungkin tadi malam sebelum ditinggalkan.

Pagi telah menyingsing, aku yang sedari tadi menunggu belum juga melihat tanda-tanda kedatangan mereka, apa mungkin mereka tersesat ya?, atau mereka sudah turun duluan? tapi aku tadi belum kembali ke sini.. banyak hal yang aku fikirkan, namun tersesat ialah hal yang paling logis, pikirku.

Hari kian siang, suasana di sini terlihat asri dengan burung-burung yang berkicau dan matahari sedikit bisa masuk ke tempat ku duduk. Tiba-tiba datang segerombolan orang dengan membawa tandu.

"Woaaa yeaaa ada bantuaaan", teriakku girang sendiri.
" Pak Ustaaaadz, Ridooo, Endraaa", aku masih berteriak, siapa tahu mereka mendengar dan kembali.

"Disini ada mayat 3 orang Ndan", kata seseorang yang ada disebelahku.
" Yaudah ayo diangkut", balas laki-laki bertubuh kekar yang dipanggil Ndan tadi.
"Saya bantu ya pak", ungkapku pada mereka, sambil bersiap aku pun ikut membantu mereka, namun seolah tidak ingin diberikan bantuan, mereka tidak peduli apa yang aku lakukan, aku hanya membantu memegang kaki temanku yang sudah menjadi jenazah ini. Lalu aku juga ikut menutupkan resleting di jenazah lain, dan aku melihat diriku berada dalam kantong itu.

" Lho.. aku masuk kantong jenazah?", tak terasa air mataku mengalir dan tubuhku rasanya beku, aku menangis, tak kusadari kedua temanku yang meninggal melihatku dari bawah pohon randu di belakang ku. Aku hanya menangis dan menangis.

"Aku masih hidup..aku masih hidup", ucapku lirih berkali-kali.

"Ayo cepat turun lagi, evakuasi sudah selesai semua", mereka pun kembali turun dengan membawa 3 kantong jenazah, mereka seolah memang tak melihatku dari tadi.

" Eh jangan lewat Wadhal Sa", ujar Dedy kepada Esa yang tengah membawa tas carier yang tinggi itu.

"Iya tau, Wadhal sudah gak boleh dilewati, dulu ada yang meninggal di sana 15 orang", balas Esa sambil berjalan dari Mojosemi ke arah Cemoro Kandang.

" He? itu alasannya sudah ga boleh lewat Wadhal?", tanya Dedy dengan nada penasaran.

"Iya Ded, Wadhal artinya Korban. Jalannya juga curam di sana tu. Dulu juga ada pendaki lewat sana setelah kejadian meninggalnya 15 orang, katanya selama dia lewat sana pas menjelang maghrib mereka mendengar suara tangis, selain ada suara tangis juga ada yang nyebut AKU MASIH HIDUP, tapi cuma kedengaran deket di telinga, temen lainnya ga ikut denger. Kalau ada yang lewat sana, pasti kedengeran suara gong bunyi Ded, jadi para pendaki yang naik pada turun semua karena gong tersebut nandain hal yang buruk", terang Esa yang sudah berada didepan Dedy mengambil langkah gontai sambil membopong carier.

" Banyak ya itu 15 orang meninggal, kedinginan kali di sana, tahun berapa sih?", Dedy yang masih penasaran memberondong berbagai pertanyaan pada Esa.

"Tahun 85 atau 87 lupa, masih ada beritanya di majalah kok, cari aja kalau mau. Mereka ga pake jaket Ded, jadi cuma pakaian biasa, ga cuma 15 itu kok, mereka bareng ratusan orang, wong itu acara sekolah, lalu ada yang tersesat dua kelompok, untung satunya bisa balik ke camp di Mojosemi", jawab Esa sekenanya.

" Lah Mojosemi yang tadi?, untung siang-siang Sa, ga mau aku kalau tiba-tiba dibisikin AKU MASIH HIDUP", balas Dedy sambil menirukan suara lirih menyebut kata yang dari dulu didengungkan sang korban.

"Hahaha, itu masih dibisikin doang, kalau lewat Wadhal yang ada lu jadi korban Ded, eh tapi dulu juga pernah ada cerita, ada yang lewat Wadhal terus dia kelelahan karena jalurnya emang curam, istirahat berkali-kali, mereka ketemu segerombolan pendaki juga yang katanya jalannya tu aneh, seperti lurus aja..ga ada jeda buat kaki naik turun Ded, mungkin itu jin yang niru untuk ngegoda manusia Ded. Untung jalurnya sudah ditutup itu, sudah ga ada yang lewat sana tahun 2019 ini.." kata Esa sambil menunjuk-nunjuk puncak Wadhal.

"Hal yang lebih horor dari cerita horor itu ialah menjadi salah satu korban untuk berperan dalam cerita horor itu Sa", balas Dedy yang masih mantap melanjutkan langkahnya menuju Cemoro Kandang.

Diubah oleh ibliss666 01-10-2019 10:44
zafinsyurga
someshitness
4iinch
4iinch dan 28 lainnya memberi reputasi
27
42.8K
89
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.