tuffinksAvatar border
TS
tuffinks
Dimensi Alam Lain di Penanggungan



Ini adalah cerita dari teman saya yang pernah mengalami hal janggal saat perjalanan mendaki gunung Penanggungan. Sebelumnya saya sudah mendengar cerita ini sejak lama. Awalnya cerita ini hanya untuk kami kerabat dekatnya termasuk saya, agar selalu menjaga etika dan tata krama dimanapun tempat kita berpijak, termasuk di Gunung.

Karena kebetulan ada event menulis cerita tentang Kisah Horor Diatas 10.000 kaki, dan saya belum pernah mengalami hal-hal mistis diatas gunung, saya mencoba untuk merundingkan kepada yang bersangkutan. Apakah cerita ini boleh saya angkat untuk dijadikan sebuah cerpen atau tidak.

Awalnya dia menolaknya dengan tegas. Karena takut nanti akan jadi marabahaya untuk dirinya sendiri dan takut jika nanti pengunjung di gunung tersebut menjadi sepi. Namun, saya memastikan untuk merubah semua nama tokoh tapi tidak untuk latar. Hehehe

Saya memastikan kembali bahwa cerita yang ada didalamnya akan saya atur ulang sedemikian rupa. Bahkan mungkin bisa dibilang berlebihan dalam cerita yang saya buat. Jadi intinya, tidak semua dalam cerita ini fakta, dan tidak semua dalam cerita ini fiktif. Biarlah pembaca yang menilai, hanya untuk sebuah pembelajaran dan pengalaman untuk kita semua.

Setelah beberapa argument dan pertimbangan, akhirnya alhamdulillah, rekan saya setuju. Bahkan terkesan lucu menurutnya. Oke langsung saja...

Cerita ini terjadi sekitar tahun 2009. Tepatnya di Gunung Penanggungan yang terletak di diantara kabupaten Pasuruan dan kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Awalnya, tujuan mereka hanya untuk sakadar mengisi waktu luang di sebuah warung kopi pusat kota di Mojokerto. Namun karena Anton melihat rekannya yang sedang terkena musibah, ia mencoba untuk menghiburnya. Berkali-kali gagal, ia tetap saja masih tidak bisa terhibur. Akhirnya, gunung adalah solusi mereka. Seperti apa kisahnya, silahkan menikmati jalannya cerita.



Spoiler for Ender Guney Music:




Dimensi Alam Lain di Penanggungan


Senja telah resmi menjadi malam. Pukul 18:00 WIB selepas sholat Maghrib, Anton sedang menunggu seseorang di sebuah warung kopi di dekat jalan Majapahit, kota Mojokerto. Kebetulan saat itu ia sedang libur kerja dan ingin bertemu kawan lamanya yang ada di kota itu. Selang beberapa menit suara bising sebuah motor terdengar dari halaman parkir warung tersebut. Anton melambaikan tangan kepada pengendara motor itu.

***

“Sori lama. Tadi masih ada kendala di jalan. Aku habis nabrak orang." Ujar pria itu.

"Innalillahi. Terus, kamu enggak apa-apa?” Tanya Anton pada pria itu yang telah duduk di depan mejanya.

“Ya enggak apa-apa sih. Cuma orang yang aku tabrak lecet kaki sama tangannya. Untung aja enggak ada polisi, orangnya juga mau di selesaikan dengan cara damai.”

“Alhamdulillah, syukurlah kalo gitu.” Balas Anton lega.

“Syukur apanya. Aku bayar tiga ratus ribu buat tuh orang.” Kesal pria itu sambil memegangi kepala.

“Loh, kok banyak? Emang parah?"

Pria itu menjelaskan panjang lebar kronologi kejadiannya. Korban yang di tabrak meminta pertanggung jawaban, jika ingin menyelesaikan dengan cara kekeluargaan harus membayar besaran sekian. Awalnya si korban meminta uang sebesar 500 ribu, namun pria itu hanya memiliki uang 300 ribu terakhirnya di dompet. Mau tak mau ia hanya bisa memberikan sembari mengikhlaskan uang terakhirnya untuk bertahan sampai akhir bulan menunggu gajian. Lebih baik damai daripada urusan polisi ujarnya.

Anton yang melihat kawannya kesal itu mencoba untuk menghiburnya. Namun obrolan demi obrolan mereka terasa hambar karena pria itu tak kunjung tersenyum. Tak sesekali ia mengucapkan kata-kata yang tidak mengenakkan untuk di dengar. Semakin lama Anton pun jengkel melihat kelakuan dan perkataannya. Tak sedikit pula sorot pandang dari pengunjung lain memperhatikan mereka berdua.

Tetiba itu Anton mengingat sesuatu jika kawannya ini dulunya suka mendaki gunung sama dengannya. Walaupun pria itu telah vakum mendaki selama setahun silam. Apa salahnya untuk mengajaknya ke puncak lagi agar lebih tenang fikirannya melupakan kejadian yang telah menimpanya.

***

“Ren.” Ujar Anton.

“….” Pria itu masih diam tak menghiraukan.

“Ren… Rendi. Mendaki malam hari berani nggak?” Tantang Anton.

“Dimana?”

"Sini aja, yang deket-deket. Di Penanggungan mungkin." Tawar Anton.

“Kapan?”

“Sekaranglah.”

“….” Rendi hanya terdiam lama. Lalu ia berujung menjawab. “Kamu ini, udah aku ketimpa masalah, malah ngajak muncak. Enggak ada uang aku.”

“Justru itu yang asik. Biar pikiranmu tenang diatas puncak. Soal uang enggak perlu dipikir. Kayak mau ke mall aja butuh uang banyak."

"Enggak lah." Pungkas pria itu.

"Ayolah, biar suasana hatimu sedikit terhibur. Enggak tega aku liat kamu yang kayak gini. Daripada di rumah malah pening." Rayu Anton.

Setelah lama dipertimbangkan, akhirnya Rendi mengamini tantangan Anton. Karena pendakian yang terbilang dadakan, mereka hanya membawa alat seadanya saja. Lagipula gunung Penanggungan juga sudah menjadi tempat pendakian mereka untuk kesekian kalianya. Jadi, mereka sudah hafal betul medan yang akan mereka lalui. Pun soal pendakian, mereka sudah berpengalaman. Namun, malam hari adalah kali pertama ini mereka mendaki.

Pukul 9 petang mereka sudah siap untuk berangkat. Menggunakan motor Suzuki Anton, mereka bedua langsung bertolak kearah Trawas. Namun setiba di daerah Mojosari, ban motor mereka bocor di tengah jalan. Otomatis mereka harus menuntun motornya sembari mencari tambal ban yang masih buka. Dan lagi-lagi Rendi menggerutu karena perjalanan mereka terhambat. Anton mencoba untuk menenangkan agar tidak mengumpat perkataan joroknya. Namun tetap saja, ia masih terus menggerutu kesal.

Setelah beberapa menit mengarungi jalanan, akhirnya ada tambal ban 10 meter di depan mereka. Namun sudah tutup, hanya ada kompresor angin di depan rumah tersebut. Tanpa menunggu lama, mereka langsung mengetuk pintu rumah itu, berharap penjaga tambal ban membukakan pintu rumah. Beruntung si pemilik rumah masih terjaga dan mau menolong mereka berdua, walaupun sebelumnya banyak negosiasi karena semula si pemilik tambal ban enggan menambal motornya.

Tiga puluh menit berlalu cepat. Motor sudah bisa mereka kendarai kembali. Dalam perjalanan, Rendi masih terus bergeming. Anton mencoba membuka percakapan, namun hanya dijawab dengan ketus dan tatapan kesal. Bukan seorang Anton namanya jika ia melihat sahabatnya marah langsung putus asa. Ia terus mencoba membuka obrolan-obrolan ringan. Dan akhirnya Rendi juga bisa luluh dari egonya, ia sudah mulai bisa tersenyum kembali. Anton paham tabiat Rendi saat sedang kesal, hanya diam dan minta diperhatikan layaknya seorang gadis yang sedang mengambek kesal.

Tepat pukul 22:30 WIB mereka telah sampai di dekat perempatan balai desa Tamiajeng. Mereka mengambil jalur Tamiajeng karena terbilang jalur paling umum pada saat itu. Disana mereka menitipkan motornya pada salah satu rumah warga yang bernama mak Sut. Karena kebetulan mak Sut ini juga memiliki warung di depan balai desa Tamiajeng, yang juga telah menjadi langganan beberapa kali saat mereka akan mendaki gunung Penanggungan, disana mereka sudah dianggap seperti anak sendiri oleh mak Sut.

Mak Sut bertanya perihal kedatangan mereka malam itu. Lalu mereka menjelaskan bahwa tujuan mereka berdua adalah ingin mendaki tengah malam. Seketika itu mak Sut kaget bukan kepalang mendengar penjelasan dari mereka berdua. Karena sangat jarang sekali ada pendaki tengah malam. Pun biasanya mereka saat mendaki juga pada pagi hari, kalau tidak siang hari. Bukan melarang, lebih tepatnya perkataan mak Sut saat itu adalah meminta agar mereka mengurungkan niatnya dan melanjutkan pendakian esok hari saja.

Tidak ada alasan jelas dari wanita paruh baya itu, beliau hanya mengingatkan jika memang niat mereka mendaki malam hari, lebih baik esok saja. Karena jarak pandang dan jalur menuju puncak malam hari akan lebih sulit dibandingkan siang hari. Namun Rendi menimpal perkataan mak Sut. “Hallah mak, orang kita sering mendaki disini saja kok. Apalagi Penanggungan, sudah hafal banget sama jalurnya.” Paparnya sombong.

“Huss Ren, jangan sombong begitu. Jaga perkataanmu!” Tukas Anton yang sepertinya ia mulai terasa dengan peringatan dari mak Sut.

“Bukan begitu nak, emak Cuma khawatir. Tapi kalau tetap ingin naik juga enggak apa-apa. Tetap berdo’a saat di dalam alas ya, semoga enggak ada apa-apa. Monggo di habiskan dulu suguhannya” Sahut Mak Sut sembari mempersilahkan suguhan yang di sajikan.

Setelah beberapa perbincangan ringan dengan mak Sut, mereka berdua berujung pamit untuk segera naik ke puncak Penanggungan. Sebelumnya mereka di beri bekal oleh mak Sut, 4 mie instan dan 2 botol air mineral 1,5 liter. Untuk jaga-jaga jikalau lapar di tengah alas gunung.

Saat di perjalanan, Anton mulai merasa tidak enak untuk melanjutkan perjalanan mereka. Bahkan hal aneh pertama yang mereka temui pada saat berjalan melewati perkampungan dan akan memasuki alas gunung, mereka melihat banyak orang sedang bermain kartu di pos kamling terakhir sebelum masuk alas pegunungan. Kebetulan juga pos tersebut berhadapan dengan makam kampung disana. Tapi saat itu Anton tidak sadar jika di pos tersebut banyak orang bermain kartu. Yang tahu jelas hanya Rendi.

***

“Nyuwun sewu.” Ujar Rendi permisi sambil membungkuk.

“….” Anton hanya terdiam keheranan. Mungkin karena melewati makam, Rendi menunduk permisi. Kemudian Anton berujung mengucap “Assalamu’alaikum.”

Setelah jarak sekitar 50 meter mereka berjalan melewati tempat itu, Rendi bertanya pada Anton, “Kamu tadi kenapa mengucap salam?”

“Lah kamu juga kenapa bilang permisi?" Ujar Anton menyela. “Bukannya karena kita lewat makam tadi, jadinya kamu bilang permisi? Aku ya ikut mengucap salam-lah.” Sambungnya.

Rendi menepuk jidat. “Lah mata kamu enggak lihat apa, banyak orang sedang main kartu remi di pos depan makam tadi? Maksudku tadi permisi buat orang-orang disitu, bukan di makam.” Paparnya.

“Matamu sendiri yang enggak lihat, daritadi di pos ya enggak ada orang.” Jelas Anton tak terima.

Kemudian Rendi menoleh kebelakang. “loh jancuk, kok tiba-tiba sepi ton? Terus yang aku lihat tadi siapa?” Ucapnya lirih.

“Rend, jangan bercanda Rend. Kita baru sampai sini loh ini."

“Sumpah ton, aku enggak bercanda. Tadi orang-orang pas aku sapa juga pada tertawa semua. Terus menyapa balik ke kita.”

Anton melihat wajah Rendi memang terlihat sangat serius dan tegang. “udah-udah, setelah ini jaga perkataan. Jangan suka ngomong sembarangan.” Ujar Anton melerai perdebatan. Walaupun saat itu bulu kuduknya juga sedang berdiri ketakutan.

Mereka terus melakukan pendakian. Meskipun dengan rasa takut dari diri Anton, ia enggan mengajaknya kembali. Karena jika itu terjadi, maka reputasinya sebagai lelaki akan tercoret habis-habisan di depan Rendi. Anton yang menantang, masak iya dia sendiri yang mengurungkan?

Dalam perjalanan pendakian, tak ada satupun pendaki yang berpapasan dengan mereka. Mana ada orang mendaki di tengah malam seperti ini? Rendi yang terus bernyanyi dalam perjalanan mencoba untuk menghibur dirinya di tengah gelapnya lintasan yang mereka lewati. Ternyata benar kata mak Sut, perjalanan malam hari akan terasa lebih berat dibandingkan siang hari. Pandangan pun hanya tertuju pada sinar headlamp yang mereka pakai. Benar, berat sekali seperti apa yang Anton rasakan saat ini. Tetiba geraknya terasa sangat berat untuk berjalan. Seperti ada yang ia gendong.

Padahal, dalam isi carrier Anton hanya ada Sleeping bag, tenda, dan matras saja. Selebihnya tidak ada apapun. Sedangkan untuk 2 botol minum dan 4 mie instan ada di carrier Rendi. Kemudian Anton memanggil Rendi yang sudah terlihat semakin menjauhinya ke atas.

"Rend... Rendii..." Pekik Anton.

"...." Rendi tetap tak menghiraukan. Ia tetap berjalan dengan bernyanyi lantang.

"Rend!" Anton mencoba untuk berteriak sekencang-kencangnya. Namun Rendi tak mendengar, perlahan suara nyanyian Rendi menghilang perlahan.

Sementara dari sisi Rendi, ia merasakan seperti ada yang memanggilnya dari belakang, namun suaranya halus. Ia celingukan ketika melihat kebelakang tidak ada Anton di belakangnya. Padahal sedari tadi Rendi merasakan keberadaan Anton hanya berjarak beberapa centi dibelakangnya. Kemudian ia melihat sorotan lampu kecil dibawah. Seperti kunang-kunang, tapi juga seperti headlamp milik Anton. Ia mencoba untuk menghampirinya. Semakin Rendi mendekatinya, sorotan lampu itu semakin menurun kebawah. Sejenak langkahnya terhenti, sinar itu berputar kemudian berhenti, dan berkali-kali seperti itu.

Rendi heran, ia mencoba untuk memastikan bahwa itu adalah Anton. "Ton, ngapain kamu muter-muter di situ. Cepetan naik!" Pekiknya.

Namun tak ada jawaban. Sinar itu hanya bergeser ke kiri dan kanan seperti mengisyaratkan gelengan kepala. Rendi yang kesal melihat tingkah yang aneh itu, akhirnya turun kebawah dengan cepat menghampiri sinar yang dikiranya itu adalah Anton. Saat jaraknya sudah semakin dekat, sinar itu justru terbang keatas mengeluarkan asap diatas kepala Rendi, kemudian perlahan menghilang. Namun tak terlihat sosok apa yang ia lihat. Yang jelas, ia tak bisa berucap apa-apa. Rendi terdiam seribu bahasa dan kemudian segera kembali keatas. Seketika ia memutarkan badan, tubuhnya menabrak punggung seseorang.

*bruuk!!

"Jancuk!" Sontak perkataan pertamanya tak sengaja terlontarkan dari mulut Rendi. "Kamu dari tadi kemana aja sih? Kok tiba-tiba didepanku?" Sambungnya heran.

Ternyata itu adalah tubuh Anton. Ia juga menoleh kearah Rendi seraya berkata, "Sebentar, bukannya kamu tadi udah diatas ya?" Balas Anton yang juga kebingungan. "Aku daritadi teriak panggil kamu tapi kamu malah makin jauh enggak kelihatan." Anton melengkapi perkataannya.

"Aku tadi lihat sinar dibawah. Aku mikirnya itu sinar dari headlamp kamu, pas aku mendekat malah terbang keatas. Ya aku takutlah, terus mau balik naik keatas. Ternyata kamu udah didepanku." Jelas Rendi.

"Tadi aku juga terasa berat banget di carrierku. Padahal sejak perjalanan tadi enggak begitu berat." Anton juga menjelaskan.

Belum selesai perdebatan mereka, beberapa menit kemudian terdengar suara seperti seorang wanita yang membisik. Namun terdengar jelas, sangat jelas sekali. Sampai Anton menepuk punggung Rendi.

"Rend, denger nggak?"

"Aku tadi juga denger suara ini." Jelas Rendi.

Mereka berdua sejenak terdiam. Tak lama suara itu kembali lagi. Namun lebih jelas, seperti sedang memanggil seseorang. Suaranya seperti "Haaaaiiii." Jelas sekali terdengar di kedua telinga mereka.

"Nyuwun sewu mbah. Putune namung bade lewat." Ujar Anton menggunakan bahasa Jawa halus.
(Permisi mbah. Cucunya hanya ingin lewat)

"Udah ton, enggak perlu takut." Sambil menepuk pundak Anton. "Tetep lanjut, Kalo kita takut malah tersugesti sendiri nanti. Kita disini enggak ganggu kan." Ujar Rendi menguatkan hati Anton. Walaupun saat itu juga Rendi sedang gemetar ketakutan betul.

-Bersambung-
Lanjut ke Part II 


Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 16 suara
Beri Pendapat tentang cerita ini
Serem!
63%
B Aja
31%
Jelek
6%
Diubah oleh tuffinks 20-09-2019 15:07
infinitesoul
zafinsyurga
someshitness
someshitness dan 17 lainnya memberi reputasi
18
11.5K
123
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.