ningdidien
TS
ningdidien
Misteri Dibalik Keindahan Bunga Edelweis Di Gunung Panderman


Malang, awal bulan September. Hawa dingin mulai menusuk hingga tembus ke tulang. Aku harus bergegas mempersiapkan perlengkapan untuk pendakian esok. Hal paling tidak ku sukai ketika harus melakukan perjalanan dengan kondisi si tamu bulanan datang.

Tapi aku tidak punya pilihan, pendakian ini telah diagendakan jauh hari sebelumnya. Sambil bergumam terus kukemas peralatan untuk pendakian.

Perasaanku semakin tidak karuan..
Ada apa ini? Firasat apa ini?
Aaahhhhhh.......... perasaanku saja


Penasaran dengan kisahku??
Yuuk baca sampai selesai

Tapi Awaasss jangan baca sendirian

Siapa tau dia uda ada di belakang!!

Iiiiih Ngeriii

emoticon-Takutemoticon-Takut



Dokumen Pribadi



Hay GanSis, mendaki gunung memang menjadi hal yang menyenangkan, bahkan telah menjadi life style anak muda jaman sekarang. Gunung yang dulunya sepi kini berubah menjadi pasar hingga banyak sampah bertebaran.


Kita ketahui banyak ketentuan dalam pendakian yang terkadang sering diremehkan. Acap kali kita menganggap omong kosong dan bualan belaka, terlebih lagi yang berhubungan dengan spiritual. Tanpa kita sadari kedatangan kita para pendaki bisa mengusik makhluk gaib yang habitatnya di gunung. Sereeeeeeeem!!


Dokumen pribadi


Aura Mistis di Gunung Panderman


Kisah ini merupakan pengalamanku sekitar tahun 2010. Kala itu aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Bersama dengan 12 orang rekan DKR ( Dewan Kerja Ranting) melakukan pendakian di Gunung Panderman Batu Malang.



DKR seringkali melakukan kegiatan di luar ruangan. Baik outbound, hiking, maupun camping untuk melatih ketahanan fisik. Aku bersama 12 rekan yaitu Biastiti, Mega, Devi, Ima, Dani, Ryan, Puji, Aris, Novan, Wahyu, Kak Gito, dan Kak Hendrik memilih Gunung Panderman untuk melakukan kegiatan.


Quote:


Perjalanan dimulai pukul 06.00 pagi disambut senyum sang mentari yang menambah semangat kami. 

Baru setengah perjalanan menuju Gerbang Panderman hatiku sudah berdebar-debar, perjalanan ini terasa menantang. Disamping jalanan yang berkelok-kelok dan menanjak, rasa kram di perutku seolah memberikan sensasi tersendiri. Aku lebih banyak diam dan berdzikir, tak seperti biasa yang yang banyak berceloteh.


" Woy! jangan melamun saja" gertak si Dani yang tidak biasa melihat ku terdiam sepanjang jalan.
"Menengo Dan, wasnoen talah dalane," balasku yang tak ingin diganggu siapapun.
("Diamlah Dan, lihat saja jalannya") balasku.
Kemudian Dani bercengkerama dengan teman-teman lain. Biastiti nampak paling bahagia, mungkin karena Ini pengalaman pertama baginya.

°°°°


Semilir angin dan hawa sejuk pegunungan menyambut kedatangan kami di gerbang pintu masuk. Begitu selesai menitipkan kendaraan kami bergegas menuju puncak.

Kak Gito, begitu kami memanggilnya. Sebagai pendamping sekaligus pembina, Kami lebih akrab memanggil Kang Gito. Beliau memberikan arahan sebelum kami melakukan pendakian.


Quote:



Dokumen Pribadi


Desir angin dan kicauan burung di dahan menambah semangat langkah kami dan sejenak mengalihkan rasa dingin menuju puncak.
Namun, semakin lama kami berjalan hawa dingin kian menusuk tulang dan membuat ritme langkah kami melemah. Ditambah dengan tetes embun pegunungan semakin menambah basah suasana, meskipun jam di tanganku baru menunjukkan pukul 10.12 pagi.

Napas kami mulai tersengal, menatap ke depan masih jauh.

" Sedikit lagi kita sampai di Pos satu" ujar Kang Gito memberi semangat.
" Bentar Kang, istirahat dulu" sahut Wahyu sambil melihat ke arahku yang tak banyak bicara dari tadi.

Entah mengapa perjalanan kami serasa berat, meskipun medan yang kami lalui di jalur ini tidak begitu menantang seperti pada pendakian lainnya.
"Kang, nda ada jalan pintas tah?" cetus Ima yang bertanya dalam candaan.
"Ada, tapi jalannya sulit. Kita ikut rute saja" jawab laki-laki yang berawakan tinggi hitam itu.
"Ayo Kang, lewat situ saja biar lebih cepat" sahut Si Puji sambil bergegas berdiri dan mengajak yang lain, meskipun belum ada kata sepakat untuk melaluinya.

Kami mengambil jalur kanan dari pendakian, sambil bercanda kami terus melangkah dengan harapan lekas sampai.

Embun pegunungan kian menyelimuti seluruh pandangan kami. Siang hari yang harusnya terik berubah menjadi gelap, makin lama makin pekat.
Tidak ada tanda-tanda menuju puncak, yang ada hanya lebatnya hutan dan tanaman belukar yang menghadang. Sesekali kami bertemu dengan monyet yang bermain di pohon besar.

"Kang iki nyasar tah?" tanyaku.

("Kang apa kita tersesat?")

"Ketoke iya Ning.Biyen nek kene dalane, saiki dadi alas ngene."


("Sepertinya iya Ning. Dulu disini jalannya, sekarang berubah jadi semak belukar").

Kata-kata Kang Gito membuat kami semakin was-was, ditambah lagi suasana yang semakin lama makin gelap dan membatasi jarak pandang kami.
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke jalur pendakian.



Aku mulai merasakan hal yang tak beres, bulu kuduku sesekali berdiri. Merinding, tapi bukan karena dingin.
Ah, perasaanku saja mungkin yang terlalu parno menghadapi ini. Sedangkan teman-teman terus bercengkrama untuk mencairkan suasana.


Dokumen Pribadi


Pukul 4 sore Kami mencapai puncak, jauh diluar bayangan kami yang berharap lebih cepat.
Rasa lelah, letih, lesu, lapar yang kami rasakan terbayar dengan rasa senang dan bahagia saat sampai di puncak.
Kamipun bergegas mendirikan dua tenda dan tetap menjaga satuan terpisah setiap kegiatan.

Segera kami mengumpulkan kayu bakar dan membuat perapian, karena hawa dingin kian menusuk dalam tulang. 

°°°°

Senja di ufuk pertanda masuk waktu Magrib, teman-temanpun bergegas untuk melaksanakan salat. Sekalipun tidak mendengar suara adzan, tanda alam sudah menunjukkan waktu pada kami.

Aku yang tidak melaksanakan salat mempersiapkan makanan bersama Mega yang kebetulan waktu itu masih beragama Nasrani.

Menggunakan kompor portable kami menyiapkan makanan ala anak gunung, mie instan dan sayur, serta kopi.
Kopi yang baru saja mendidih berubah seketika menjadi dingin.
Tak bisa kuingat betapa dinginnya suhu di sana.


°°°°

Tak seperti biasanya, Mega yang suka bernyanyi di depan api unggun kali ini langsung masuk ke tenda.
Aku pun demikian, diikuti oleh Devi. Sedangkan teman-teman yang lain menikmati suasa perapian. Sekalipun jam tanganku masih menunjukkan pukul 18.45, aku tak peduli, rasa dingin yang aneh ini membuatku ingin segera menyusuri pulau kapuk.
Tak menunggu waktu lama, akupun sudah tak sadarkan diri.

Entah sudah berapa lama aku terlelap.
Saat terbangun dan kubuka mata seperti ku merasa ada yang berbeda, akupun mulai bingung. Suasana berubah menjadi hening, kulihat seisi tenda hanya aku seorang diri. Masih tercengang, coba kuyakinkan diri bahwa ini hanya mimpi, tapi sia-sia karena ini bukan mimpi. Lantas kemana teman-temanku?

Kucoba mengintip ke luar, ada sekelebat banyangan, aku kaget dan coba melihat kembali ternyata teman-teman yang tertidur di depan api unggun. Terlihat Dani, Ryan, dan Biastiti masih terjaga.
Tuh kan cuman perasaanku saja yang terlalu parno, kemudian bergegas melanjutkan tidur seorang diri dalam tenda.

°°°°


kukurikuk..kukurikuk..kukurikuk..
Suara alarm handphone membangunkanku...
Aaaaaaaaggggghhhhh.... kubuka mata dan mematikan alarm. Sekujur tubuhku serasa berat, mungkin karena terlalu lama menyusuri pulau kapuk.

Waktu beranjak subuh dan bergegas kubangunkan teman-teman di luar.
Satu persatu kuhampiri mereka. Begitu mendekati Bias, dia langsung melompat menghindariku. Dengan muka pucat pasi seperti ketakutan dia menjauh dan tak berani menatapku. Entah apa yang terjadi padanya, mungkin dia masih setengah bermimpi, pikirku..

°°


Tok..tok..tok.. Kang Gito mencabut pasak tenda. Aku kaget bukan kepalang, karena rencana awal kita akan berkemah selama 2 malam.
Melihat ekspresi bingungku, Kak Hendrik menghampiri, "hari ini kita pulang lebih cepat dari jadwal. Nanti sampai gerbang kita bahas agenda selanjutnya."

Entah apa yang mereka sembunyikan, aku sih ngikut saja keputusannya dengan perasaan sedikit kecewa.

Selepas sarapan kami berkemas untuk kembali, tak lupa pula kami mengabadikan moment ini dengan foto.

Langkah ini terasa berat, mungkin karena belum sepenuhnya terpuaskan menikmati keindahan Gunung Panderman ini.
Begitu sampai di Watu gede bembusan angin terasa sangat kencang. Hawa dingin dan rasa aneh menghampiriku kembali, tapi coba kutepis sama halnya seperti perjalanan menuju puncak kemarin.

Akupun terkesima melihat bunga edelweis yang membuatku melupakan rasa was-was yang sedari tadi menghampiriku.
cekreeek..cekreek.. kuambil pose demi pose di bawah pohon edelweis, bersama Aris dan Mega. Tiba-tiba kulihat monyet melompat dari dahan pinus, dengan sigap kuabadikan moment itu.




Lagi asyiknya berburu foto, tanpa sadar teman-temanku telah menghilang. Akupun bergegas berlari dan menghampiri mereka.

Perjalanan menuruni gunung terasa pebih cepat, mungkin karena kita sudah mengetahui medan yang akan dilalui.
Begitu sampai di gerbang masuk kami merasa ada yang kurang.
"Loh, Aris mana?" tanya Fidin yang dari tadi memperhatikan kami berfoto. 
Saling menatap, saling mencari..
Aku pun tidak tahu kemana Aris karena tadi dia dan Mega meninggalkanku sendirian.
"Uda tungguin aja, palingan dia pipis" ucap Puji.

Satu jam kami menunggu tapi Aris tak kunjung terlihat. Akhirnya Kang Gito dan Puji memutuskan untuk kembali menghampiri Aris. Selang beberapa lama mereka datang, namun tanpa Aris.

Aku mulai cemas, sedangkan si Biastiti tak henti-hentinya menangis bahkan semakin histeris kala melihatku.
Perasaanku bercampur, aku terus bertanya-tanya apa yang salah?
Bahkan belum sempat menanyakan alasan mengakhiri perkemahan ini.


°°°°

Satu hari Aris menghilang. Kami terus melakukan pencarian dibantu penjaga gerbang. Sedangkan kami para perempuan tinggal di posko menunggu kabar.

Hingga hari ke-2 pencarian. Aku tak berani mengabarkan pada keluarga perihal hilangnya Aris. Hanya mengirimkan pesan singkat, kalau kami bermalam di rumah Kang Gito di Batu karena terlalu capek.


Bagaimana kalau Aris tidak ditemukan?Pikirku makin ketakutan.

Ditengah kebingunganku, terlihat Aris berlari kencang.
Masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat.
Bukan mimpi, Aris benar-benar kembali.
Aku senang bukan kepalang dan segera menghubungi teman-teman yang melakukan pencarian.

"Tego umak yah, kancane ditinggal,"  sapa Aris.
("Tega kamu yah, temannya ditinggalin").
Belum sempat kuajukan pertanyaan, dia telah memulai percakapan.
Biastiti yang melihat Aris makin menangis dengan kencang.
"Lapo sih kok lebay" kata Aris seolah tidak terjadi apapun padanya.

Akupun menceritakan kronologinya, Aris seolah kebingungan. Dia justru bercerita bahwa baru saja berfoto denganku dan juga Mega di pohon edelweis. Kemudian mengikutiku ke spot foto yang bagus. Namun semakin lama semakin jauh dari rute.
Dia pun bercerita bertemu dengan segerombolan monyet seperti yang kualami, tapi begitu dia mengambil foto monyet tersebut dia tak lagi melihatku dan Mega, akhirnya sambil menggerutu dia memutuskan turun.

Aku sampaikan mengenai kebingungan kami yang mencari keberadaannya selama 2 hari ini.
Seolah menganggap kami mengigau, dia membuka galeri untuk melihat foto-foto yang baru saja dia ambil.
Benar saja, ada foto di pohon edelweis seperti yang dia ceritakan, namun hanya foto bunga dan pohonnya, serta tangan yang memegang bunga.
Kamipun sontak bergumam karena dia telah memetik bunga itu.

Dia makin kebingungan, karena semua bertanya dari mana dia selama 2 hari ini.

Quote:



Biastiti yang dari tadi menangis mulai bercerita tentang apa yang dia lihat waktu di puncak.
Suatu hendak tidur dalam tenda, ia melihat sesosok mahluk tidur disampingku, dia gemetar dan ketakutan, bahkan dia sempat pingsan setelah membangunkan Devi

Begitu pula dengan Wahyu dan Kak Hendrik yang didatangi sosok kakek sewaktu teman-teman sedang asyik bercenkerama di perapian, yang memperingatkan kami untuk segera pergi.


Akhirnya Pak Gondo selaku penjaga gerbang yang turut serta dalam pencarian bercerita.
Watu Gedhe merupakan lokasi pasar bagi para penunggu Panderman yang dijaga oleh kakek berusia ratusan tahun, bernama Joyokerto. Dimana dia merupakan abdi dari Prabu Bayu Persodo yang diyakini menjadi penguasa Gunung Panderman. Joyokerto paling tidak suka jika habitatnya terusik.


Entah mitos atau fakta, kami hanya mendengarkan penuturan beliau. 

Kami bergegas kembali ke rumah dengan berbagai kesan di benak.

Sungguh suatu pengalaman yang tak pernah terlupakan, serta pelajaran yang paling berharga dalam hidup kami. Dalam pendakian kita harus tetap menjaga akan keberadaan teman dalam kelompok, menjaga kelestarian lingkungan,  dan mentaati peraturan dalam pendakian agar terasa menyenagkan.


Sekian..


Penulis : Ningdidien

Sumber Gambar : Edelweis

emoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Gan
Diubah oleh ningdidien 02-11-2019 01:22
infinitesoulnona212somplaktajir13
somplaktajir13 dan 30 lainnya memberi reputasi
31
5.3K
104
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.