yukinuraAvatar border
TS
yukinura
[Kisah Nyata] Misteri Hitungan Ganjil Di Gunung Marapi
Cerita Mistis


"Yeah … akhirnya kita bisa hiking*juga," pekik Abiyu--pria tambun bermata sipit, dengan penuh semangat.

Melihat tingkah Abiyu membuatku tergelak. Begitu juga dengan dua sahabatku yang lain. Tanpa di duga kepala plontos Abiyu itu pun menjadi bulan-bulanan keusilan tangan Rio.


Misteri Hitungan Ganjil di Gunung Marapi

Written by @yukinura


Ya, akhir pekan ini, aku dan ketiga sahabatku memutuskan untuk melakukan pendakian bersama. Berbagai persiapan telah selesai kami lakukan.

Saat tiba di posko pendaftaran, setelah mendaftar, kami berempat sempatin 'sebatang dulu'--merokok, sebelum naik. Maklum saat itu kami masih sangat muda, kelas 2 SMA dan labil-labilnya.

Saat tengah menikmati asap yang bikin candu itu, tiba-tiba ada anak dari lain provinsi menghampiri posko. Mereka datang berlima. Kami pun saling menyapa dan berkenalan singkat saja, karena belum pernah ketemu. Sudah menjadi kebiasaan anak gunung, saling menyapa bila bertemu dengan yang lainnya. Kenal atau pun tidak, tetap harus ramah. emoticon-Cool

"Bang, udah berapa kali naik?" tanya Andy--pria berambut ikal.

"Untuk gunung ini sich, kami bisa dibilang sering," jawabku ringan, sambil menikmati asap rokok yang memasuki rongga-rongga dada.

"Ya, udah, Bang … gimana kalau kita barengan aja? Ini temanku belum pernah naik, takut katanya," ujar Fahmi--pria bermata elang sambil menunjuk ke Bayu--pria berkacamata.

"Oke, kenapa tidak? Makin ramai makin asik." Jawabanku untuk Fahmi, sambil kuacungkan jempol ke teman-teman yang lain, mereka menganggukkan kepala berbarengan. Tanda setuju.

Keputusan itu diambil karena memang takut terjadi yang tidak diinginkan. Akhirnya tim mereka bergabung dengan timku yang berjumlah empat orang, dan kini tim kami berjumlah sembilan orang. Mereka terlihat senang, terpancar dari raut wajah-wajah yang semringah.

***


Namaku Reza. Banyak yang bilang tubuhku ideal. Layaknya para atlit. Belum lagi hidung mancung yang kuwarisi dari ibu yang merupakan keturunan Eropa. Menambah kesan tersendiri di mata teman-teman. Itu kata teman-teman ketika pertama kali bertemu denganku.

Kejadian dalam cerita ini terjadi sekitar tahun 2006, bersama 3 sahabatku, Abiyu, Rio dan Fadly serta rombongan dari lain provinsi. Saat itu, kami melakukan pendakian di Gunung Marapi, Bukittinggi, Sumatera Barat.

In memorial of Dwi Hadi Mahendra


***


Setelah menghabiskan rokok, kami berangkat dengan semangat, tanpa halangan apa pun.
Namun, sekitar sejam berjalan, dan jarak tempuh mulai jauh dari posko. Kebetulan aku jadi sweeper*, jadi posisiku paling belakang. Jarak antara posisi depan, tengah dan belakang mulai terpisah jauh. Karena khawatir nanti benar-benar terpisah, dan mengambil jalur yang salah, maka aku pun berteriak pada rombongan untuk berhitung dari depan.

"Oooiii ... hitung dari depan donk!!!"

Mereka pun mengikuti arahanku.

"Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima... enam ... tujuh ... delapan ..."Saling bersahutan. Tepat giliran orang di depanku dia berteriak. "Sembilan!!"

What? emoticon-Bingung (S) Aku terkejut dan tertegun. Berusaha tenang. emoticon-Takut (S) Aku merasakan hal yang aneh, maka kusuruh mereka berhitung ulang, dan hasilnya tetep sama. Orang di depanku tetap dalam urutan ke sembilan, seharusnya kan ke delapan?! emoticon-Takut (S) Rasa penasaran terus menganggu pikiranku. "Bukankah 5 orang dari tim lain provinsi dan 3 orang dari timku. Terus yang ada di depan?"

Aku berteriak kembali. Meminta mereka untuk berhitung sekali lagi, guna memastikan pendengaranku. Ternyata jumlahnya masih seperti yang tadi. Seolah ada yang nyelip di antara kami. "Ada yang nggak beres ini," batinku.

"Ulangi lagi yaa ...! " teriakku ke sekian kalinya. Jadi total empat kali sesi berhitung dengan akhir yang tetap tidak masuk di akal. Aku masih tetap diam karena tak ingin yang lain ketakutan. "Ada siapa di antara kami?" batinku kalut bercampur penasaran.

Gangguan seperti ini sudah aku perkirakan sejak awal, perasaanku mulai tidak nyaman. Apalagi di tempat seperti ini, yang masih kental dengan mistis dan juga sakral. Kami terus berjalan naik, sampai kelima orang dari tim yang satunya terlihat lelah dan mereka menyarankan untuk istirahat sebentar.

Sambil melepas lelah kami ngobrol. Lantas, kepulan asap rokok mulai menyelimuti kami. Rupanya mereka pun perokok juga. Hahaha. emoticon-Ngakak (S)

"Za, kenapa lu tadi harus berulang-ulang sich ngitungnya?" bisik Fadly--si hitam manis, salah satu dari timku .

"Nggak ada apa-apa, cuma gak kedengeran aja," kilahku.

Dalam waktu yang bersamaan Rio--pria tampan berkulit putih pamit mau kencing
Aku pun mengikutinya karena kebelet juga. Kami berdua berjalan berdampingan--sejajar, mencari tempat yang cocok untuk buang air kecil di sekitar. Tiba-tiba aku merasa ada yang menyolek dari belakang. Aku pun menoleh ke arah Rio dan kebetulan dia pun sama. Menoleh padaku. Kami terdiam. Kulihat tangan kiri Rio masih memegangi rokok di mulutnya. Sedangkan aku, tangan kiriku pun masih memegang rokok yang hampir habis.

"Za, kita kencing di sini saja, jangan jauh-jauh nanti tersesat. Gue udah kebelet banget. Nggak kuat."

Akhirnya, kami pun menuntaskan hajat di semak-semak tersebut. Kemudian segera kembali ke tempat berkumpul tadi.

Si Rio tiba-tiba bertanya, "Za, tadi kamu merasa ada yang nyolek gak?"

Aku mengangguk ragu.

"Daun jatuh kali, Yo," timpalku buru-buru

"Coba dech, Za. Ingat-ingat lagi, rasanya bukan daun 'tuh yang nempel. Tapi kayak tangan dan rasanya dingin."

Aku pun mulai mengingat lagi dan memang benar yang diomongin sama Rio, tapi aku nggak mau berpikiran yang aneh-aneh, tetep positive thinking saja.

"Udah, ah ... jangan ngebahas itu lagi. Jangan sampai anak-anak yang lain tahu, bisa parno semua kayak lu, cukup kita berdua ja yang tahu."

"Ok, Za. Tapi gue nanti jalan di depan lu, ya? Gue takut, Za."

"Iya, terserah lu." jawabku singkat, mengakhiri perbincangan.

Kami pun mulai melanjutkan perjalanan, sedangkan aku masih bertugas sebagai sweeper.

Perjalanan kami lanjutkan tanpa halangan dan gangguan yang aneh, sampai hari mulai gelap. Berhubung semua rombongan sudah tampak lelah, maka diputuskan lah untuk nge-camp dan mencari tempat yang datar untuk mendirikan tenda.

"Tempat ini cocok kayaknya, kita dirikan tenda di sini saja," celetuk Abiyu.

Kami pun mendirikan dua tenda. Satu untuk timku dan yang satu untuk tim yang dari lain provinsi. Jarak tenda kira-kira hanya dua meter, jadi ujung-ujung tali tenda saling berdekatan.

"Ngopi dulu yuk! Laper juga nich perut," ucap Fadly seraya menepuk pelan perutnya.

Tanpa menunggu jawaban dari yang lain, Rio segera merebus air. Membuat kopi satu mug besar dan mie dua bungkus sekalian.

"Oooiii ... bagi donk!! Jangan makan sendiri," teriak Abiyu sambil mengambil mie ditangan Rio dan memakannya dengan lahap. Rio hanya melongo, dan yang lainnya tertawa, dengan rokok masih di tangan mereka.

Kantuk pun mulai menyerang. Satu persatu dari kami masuk tenda masing-masing. Saat tengah berbaring, tiba-tiba serasa ada sesuatu yang sedang mengelilingi tenda. Tak nampak bayangan atau suara. Keadaan benar-benar terasa mencekam, sunyi, senyap, sampai suara napas pun terdengar jelas. Rio menatapku dengan wajah yang mulai ketakutan, tapi kami semua pura-pura tidak tahu apa-apa dan melanjutkan tidur. Namun, tiba-tiba ...

Dug..


Tali tenda seperti kena tendang sesuatu. Bergegas Fadly keluar untuk mengecek. Aku dan yang lain mengekor di belakangnya, dan ternyata tidak ditemukan apapun di luar. Aku mendesah lega. Lantas kami masuk kembali dalam tenda.

Saat tengah hendak berbaring,

"Ii ... ii ... itu ... di atas kepala kalian,"ucap Fadly terbata-bata.

Kami menoleh. Serentak mata kami semua tertuju pada apa yang Fadly tunjuk dengan ekor matanya. Tenda di atas kepala kami tampak cekung. Seperti ada yang mendorongnya dari luar. Padahal tidak ada angin kencang atau pohon, bahkan ranting pun yang berdekatan dengan tenda. Karena takut, kami pun tidur berdempetan.

***


Waktu pun berlalu. Aku merasa tidur malam tadi sangat nyenyak. Mungkin efek dari kejadian tenda yang cekung kemarin. Akibat terlalu nyenyak itu lah, kami semua bangun kesiangan. Padahal rencananya, jam empat pagi kami sudah harus berangkat. Agar dapat melihat sunrise. Namun, saat kulihat Fadly, ternyata anak itu sudah terbangun dan melakukan sholat shubuh. Melihat hal itu Aku bercandain dia. Karena jaman itu, kami masih labil dan nakal-nakalnya jadi tidak pernah sholat.

"Cie sholat …."

Fadly terlihat khusyuk meski digangguin sama yang lain. Hingga dia selesai pun Rio dan Abiyu tetap menggodanya.

Daripada ikutan jadi penggoda, aku pun memutuskan untuk mendatangi tenda yang satunya. Aku merasa ada yang sangat aneh. Matahari sudah mulai tampak, tapi belum ada yang keluar tenda.

"Eeh... Apa yang terjadi? Kenapa dengan mereka berdua?"tanyaku heran saat tiba di depan tenda dan melihat dua orang dari mereka dengan wajah pucat pasi. Tatapan mereka pun seolah kosong.

"Semalam mereka ada yang gangguin, melihat penampakan dan gangguan suara-suara wanita tertawa. Mereka berdua semalam pergi untuk poop," jawab Salim--pria dengan lesung pipi. Nada bicaranya terdengar khawatir.

"Bila melihat keadaan Bayu dan Ali seperti ini, sebaiknya kita batalin muncaknya, kasihan mereka," usulku.

Mereka semua menyetujuinya dan segera berbenah. Sekitar jam sepuluh pagi, kami mulai turun. Gagal mendaki untuk melihat sunrise seperti di bawah ini.

Spoiler for sunrise:


***


Tiga puluh menit perjalanan turun. Hampir semua anggota rombongan mulai tidak fokus. Mereka terlihat terburu-buru tanpa menghiraukan jalan. Asal jalan saja. Untungnya aku masih bisa menguasai gangguan seperti itu, dan mengingatkan mereka kalau jalan yang mereka ambil itu salah.

"Teman-teman!!! Tetap fokus. Jangan buru-buru. Baca doa sebisa kalian,"teriakku dari belakang.

Namun, tidak ada mendung pula tak ada guntur. Tiba-tiba hujan deras. Membuat kami semua basah kuyup, Karen tak ada satu pun yang membawa jas hujan.

"Tuh di sana ada pohon miring yang besar. Kita berteduh di situ dan mengganti pakaian," ujar Abiyu setengah berteriak, yang berada paling depan rombongan sambil menunjuk ke arah pohon.

Pohon

Pinterest


Tak menunggu waktu lama, kami bergegas ke tempat yang ditunjuk Abiyu. Cepat-cepat kami mengganti pakaian dengan yang kering. Lalu memakai jaket tahan air--gore-tex, kecuali si Bayu yang belum pernah mendaki. Dia hanya memakai jaket biasa, dan basah kuyup kembali karena hujan terus mengguyur dengan lebatnya.

Tiba-tiba Bayu tak sadarkan diri. Tubuhnya menggigil. Kulitnya pucat dan dingin. Juga tak dapat berbicara.

"Kayaknya Bayu keserupan, kita tolongin dulu,"ujar Fahmi khawatir.

Kami bingung. Semua mencoba untuk membuatnya sadar dengan baca-baca doa yang hafal dan memakaikan banyak baju agar badan Bayu tetap hangat. Sambil terus memaksa dia untuk berjalan dan memeluknya bergantian. emoticon-Frown

Dalam perjalanan turun yang tidak mudah, hujan mulai reda. Syukurlah, kami bertemu dengan rombongan para mahasiswa. Salah satu dari mereka mengatakan kalau Bayu tidak sedang kesurupan, tapi kena hypothermia/hipotermia*. Gejalanya memang sama dengan orang yang kesurupan.

"Kalian teruskan perjalanan, biar aku yang bantu mereka," ujar salah satu mahasiswa tersebut pada rombongannya.

Ternyata apa yang kami lakukan ke Bayu sudahlah benar, karena itulah pertolongan pertama untuk penderita hypothermia.

Kami pun segera turun bersama mahasiswa yang baik itu. Sesampainya di bawah, kami segera menyewa pick up untuk mengantarkan Bayu ke rumah sakit terdekat.

***


Usut punya usut, saat ngobrol di bawah dan cocoklogi yang ada, ternyata Abiyu melihat penampakan dari Mister.Po-- di samping pohon dekat dia berjalan, saat aku meminta rombongan untuk berhitung. Untuk memastikan penglihatannya, dia menoleh lagi namun Mister.Po sudah tidak ada lagi. Tetapi, tiba-tiba di telinganya ia mendengar seperti ada yang berbisik, "Wwsssttt... wwsssttt...ssttt.."Begitu pemaparan Abiyu kepada kami.

Sedangkan untuk rombongan yang lain, mereka semalaman mendapat gangguan bertubi-tubi. Seperti tenda ada yang dorong-dorong, dilemparin pasir, lampu tiba-tiba mati dan hidup sendiri.

Menurut berita beberapa hari setelah kejadian. Bayu sudah membaik setelag dirawat dua hari di rumah sakit.

----The End---


Gunung Marapi, Sumatera Barat.

sumur

"Kejadian diatas tidak membuatku keder untuk mendaki, karena gunung ini adalah yang pertama kali kudaki saat lulus SMP, dan yang terakhir sebelum aku merantau. Rindunya aku kepada gunung ini."~Reza


***




Hiking~ Perjalanan mendaki gunung, biasanya jalur yang dipakai adalah jalur yang sudah umum dipakai oleh para pendaki gunung.

Sweeper ~ Orang yang bertugas ‘menyapu’ rombongan lainnya agar tidak ada pendaki atau barang bawaan yang tertinggal, sweeper harus berada diposisi paling belakang. Biasanya dipilih orang terkuat, sabar dan lebih bagus jika memiliki skill medis. Bisa dikatakan dia adalah ‘penyelamat’ dalam tim.

Hypothermia - Hipotermia ~ Hipotermia adalah suatu kondisi di mana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin. Hipotermia juga dapat didefinisikan sebagai suhu bagian dalam tubuh di bawah 35 °C.

Tulisan diatas adalah cerita nyata dari sahabat TS. Nama-nama tokoh sengaja disamarkan, Terimakasih.

Diubah oleh yukinura 19-09-2019 16:03
infinitesoul
zafinsyurga
nona212
nona212 dan 58 lainnya memberi reputasi
59
26.2K
220
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.8KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.