AkhfiyaAyaAvatar border
TS
AkhfiyaAya
AYAH, Setengah Mati Aku Membencimu


Selalu saja rasa bosan menghinggapi setiap kali duduk satu meja bersamanya. Padahal kami begitu jarang saling buka suara. Bagiku, setiap kali mengangkat muka dan menatap wajahnya, aura mistis berembus seketika. Membuat bulu kuduk meremang. Ngeri. Jika sudah begitu, aku langsung buru-buru mengurung diri di kamar.


Beliau kupanggil Abak[1]. Pada musim hujan, yang hembusan anginnya mengilukan tulang, kudapati ia pulang dalam keadaan basah kuyup. Kenapa tidak menunggu hujan reda saja? pikirku. Aku terus mengintip dari balik jendela kamar hingga ia sampai di depan pintu.


Tok tok tok

“Yuus ... Yuuus!” Dengan suara bariton, bercampur gigil ia panggil-panggil Amak[2] yang sedang pulas tertidur dibalik selimut. Berkali-kali mengetuk pintu dan memanggil-manggil, berkali-kali pula tak ada sahutan. Suaranya hilang ditelan riuh rintik hujan.


Aku masih diam, pura-pura tidak tau kalau beliau kedinginan di luar.
Satu menit, lima belas menit, hingga satu jam, tak lagi kudengar suaranya. Aku juga tidak mendengar suara langkah kaki Amak yang buru-buru membukakan pintu untuknya. Kemana ia? kemana Abak? tiba-tiba darah mengalir kencang ke wajahku. Mukaku memerah, kecemasan menyergap seketika. Bersigegas kukejar ia ke depan, memutar kunci dengan terburu-buru, dan ... petirpun menyambar.


DUARRR!!!

Menyambar hatiku. Menyisakan luka bakar yang takkan pernah hilang.


“Kurang aja kalian ko sadonyo. Sa-jam aden manunggu basah-basah dilua, ndak kalian bukak-bukak pintu. Ndak tau diuntuang!" cecarnya murka, "Aden bukannyo pulang dari pai main, aden baliak mancari makan kalian! Ndak bautak! Seeeetan!”[3]


Dadaku gemuruh, jari mengepal. Tidak punya otak katanya? Harusnya tadi kubiarkan saja ia mati kedinginan sekalian di luar.


Bertahun-tahun aku memendam geram berharap ada celah dimana lisannya bertutur lebih lembut kepadaku, hari ini buyar! Tak pernah ada ucapan terima kasih darinya atas apapun yang kulakukan untuknya. Tak ada. Sepertinya kosa kata yang tersimpan di otaknya hanya caci maki.


Diterobosnya badanku yang tengah berdiri mematung di depan pintu. Bahunya yang kekar beradu dengan bahuku yang tinggal tulang. Sakit. Hujan di luar mulai reda. Rintiknya berpindah ke mataku.
*****


Satu hal yang tak kusuka dari kota ini adalah suhu panasnya. Jika sudah musim panas begini, suhu bisa meningkat hingga ke titik 35 derjat celcius. Membuat otakku mendidih. Ubun-ubun serasa mau pecah. Meringkuk bersama kipas angin ditemani segelas es teh di kamar tentu lebih nikmat.


Sialnya, siang ini aku malah terjebak tepat di bawah serbuan sinaran bola api yang membuat kulitku seakan terbakar. Aku menggerutu sepanjang jalan.


“Kenapa sih saban hari harus selalu aku yang bertugas mengantar nasi untuknya? Huh!”


Aku mempercepat langkah agar segera sampai. Keringat sebesar biji jagung mulai bercucuran di dahi dan punggung. Demi mengantar makan siang untuknya, aku rela berjalan kaki sejauh 2 kilometer, bahkan kadang lebih jika ia berpindah lokasi kerja di tempat yang lebih jauh. Harusnya melihat perjuanganku yang seberat ini, ia berhenti memarahiku.


Dari jauh aku melihatnya berdiri di sisi kubah masjid yang belum sempurna terpasang. Begitu kecil. Begitu tinggi. Ia berdiri di ketinggian lima belas meter tanpa alat pengaman. Aku merasa gamang. Bagaimana jika ia tiba-tiba jatuh? Lalu tulang-tulangnya remuk atau bahkan meninggal?


Meninggal? Mengingat kata-kata itu otak jahatku kembali bekerja. bukankah lebih baik jika ia meninggal? Aku tidak akan mendengar lagi caci maki darinya. Tidak masalah jika harus menjadi yatim. Toh, aku bisa mengurusi diriku sendiri tanpa dia.


Berbilang menit, aku sampai tepat di depan masjid yang sedang diperbaikinya. Kupanggil ia dari bawah.


“Oooo, Baaak! Ko nasi ha. Wak pulang lai yoooo!” [4] teriakku. Ia melongok ke bawah. “Yooooo”[5] balasnya.


Heh?! cuma “yo”? kau lihatkan? Ia sama sekali tidak pernah berterima kasih atas jerihku. Aku bergegas pulang. Untuk apa berlama-lama bersamanya?
****


Aku tak mengerti bagaimana cinta dan rindu itu bekerja. Lewat nasehat seorang kawan, aku putuskan untuk menjaga jarak dalam arti yang sebenarnya dengan beliau, dengan Abak.


Aku memilih mengadu peruntungan pada rentang jarak beribu-ribu kilo jauhnya dari kotaku semata hanya untuk memancing rasa cinta dan rindu kepada Abak muncul. Bertahun-tahun. Tapi yang ada kasihku pada Abak kian hambar. Ia bagai tak ada dalam galaksi hidupku.


Setiap kali menelepon ke rumah, lidahku terlampau berat untuk sekedar bertanya tentang kabarnya. Rupanya benci itu telah menjadi karat dihatiku. Mengendalikan tali kemudi perasaanku agar terus berjalan pada rasa muak ketika mengingat wajahnya.


“Seberapa besar kesalahan yang telah diperbuat Abakmu kepadamu sepanjang yang kau ingat?” Di bawah temaram senja, seorang teman mengajukan tanya demi tanya yang mengusikku.


“Hmmm…” Aku berusaha mengingat-ingat. Lewat mesin teleportase yang ada di hati dan pikiranku, aku berjalan-jalan mengunjungi masa lalu. Masa ketika emosi begitu angkuh mengendarai perasaan, melibas apa saja yang bertentangan denganku. Memusuhi siapa saja yang menyinggung perasaanku. Termasuk Abak. Musuh abadi sepanjang waktu.


Ia yang teramat jarang berkata-kata, tapi ketika murka, semua penduduk kebun binatang berhamburan keluar dari lisannya. Sekali itu saja. Setelah reda, ia akan kembali seperti sedia kala, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Dan aku, meski tau tabiatnya, diam-diam menyemai dendam kepadanya. Sebaik apapun perlakuannya, sebenar apapun posisinya ketika berhadapan denganku, ia tetap salah dalam pandanganku. Selamanya salah.


Ingatanku menerawang pada musim hujan yang menggentarkan persendian abak, yang kubiarkan kuyup diserbu hujan diluar selama berjam-jam, dulu.


Berjalan kaki ia tempuh perjalanan pulangnya yang sejauh 3 kilometer. Rela menerobos hujan agar segera sampai di rumah hanya karna satu hal; ia takut beberapa bungkus mi ayam yang ada ditangannya sampai di rumah dalam keadaan dingin, mengembang dan kehilangan rasa.


Lalu aku? Tanpa rasa berdosa menghancurkan kebahagiaan yang ada ditangannya. Wajar jika ia marah. Aku yang memancingnya, aku pula yang membencinya.


Aku selalu berada pada posisi sebagai parafin ketika Amak protes pada sikap abak yang tak senang dihatinya. Aku menyiram minyak, lalu menyulut api, mengompor-ngompori agar Amak menaruh benci pada Abak.


Dulu, aku selalu berharap agar ia tidak ada. Ketika ia telat pulang, aku selalu berharap agar ia jatuh dari tempatnya bekerja atau bahkan ditabrak fuso saat diperjalanan pulang. Menanti sepenuh debar agar yang pulang adalah mayatnya.


Ya Rabb… separah itukah kebencianku padanya? Betapa ketidaksempurnaan tuturnya telah menyulut dendam dihatiku. Segala kenangan tentangnya saling berlompatan tak mau menunggu. Tentang ia yang rela berlapar-lapar hanya supaya aku bisa kenyang.


Tentang ia yang tak pernah mengganti tas kerjanya bertahun-tahun, sedang aku bisa ganti tas berkali-kali dalam satu semester. Ia rela berkali-kali jatuh dari tempat kerja yang seringkali membuatnya pulang dalam keadaan luka, sementara di lain waktu aku selalu merasa malu menjawab bahwa Abakku adalah seorang kuli bangunan ketika orang-orang nyinyir bertanya. Sekalipun seumur hidupku, tak pernah ia memukuliku. Lalu apa kesalahan terbesarnya padaku?


Aku selalu alpa mencari kesalahanku karna terlalu sibuk membangun ruang benci untuknya dihatiku. Aku berusaha menjauh darinya dengan alasan bisa mencintainya. Tapi itu hanya alasan. Yang ada selama ini aku berusaha lari agar kelak ia tak menjadi beban bagiku di masa tuanya.


Posisi Amak memang 3 kali lebih mulia dibanding Abak. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk meletakkan kepala abak dibawah telapak kakiku. Jika berkata ‘ah’ kepadanya saja sudah mengundang murka Allah kepadaku, maka jahannamlah bagiku yang pernah mendo’akan kematian baginya.


Air mata merembes jatuh perlahan. Makin lama makin deras. Tangisku pecah atas segala kedurhakaan yang pernah kuperbuat pada Abak. Temanku menepuk-nepuk pundakku. Satu pertanyaan saja sudah mampu meluruhkan kebencianku.


Ufuk senja kian menghilang, tiba-tiba rindu terbit dihatiku. Segala pintu terbuka. Aku baru memulai ketika orang-orang sudah purna pengabdiannya terhadap ayah bundanya. Kuraih telepon genggamku, memencet tuts-tuts yang akan membawaku pada suara Abak. Nuuun, diseberang sana, kudapati Abak sedang menangis rindu menanti kepulanganku. Lelaki setengah purnama itu, akan kucintai ia hingga purnamanya bulat sempurna. []

Translate :

[1]Bapak
[2]Ibu
[3] “Kurang Ajar kalian semua. Satu jam aku menunggu basah-basah diluar, tak sekalipun kalian membukakan pintu. Tidak tahu diri kalian! Aku bukannya pulang dari pergi bermain, aku pulang dari mencari makan untuk kalian! G punya otak kalian! Setan!”
[4] “Oh, Pak.. ini nasinya. Aku pulang yaaa!”
[5] “Iyaaaa..”


Sumber gambar: pixabay
Diubah oleh AkhfiyaAya 10-09-2019 10:38
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
708
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.