'Tak paham tapi sok tahu', mungkin ini ungkapan yang tepat untuk Juru Bicara Persaudaraan Alumni 212, Novel Bamukmin.

Pasalnya tanpa menggali lebih dalam soal konflik di Papua, Novel meminta pemerintah untuk bertindak tegas atas kerusuhan di Manokwari. Alasannya, karena tindakan merusak fasilitas umum jelas tidak dibenarkan oleh hukum.

Bahkan, dia meminta TNI segera berlakukan darurat militer demi mengantisipasi gejolak yang semakin besar yang ingin memanfaatkan situasi itu untuk deklarasi memisahkan diri dari NKRI.

Apa yang diungkapkan oleh Novel tersebut bisa dikatakan sangat gegabah. Dia tak paham mengenai situasi dan kondisi di Papua.

Pernyataan tersebut justru sebagai darurat logika, karena hingga saat ini masih banyak yang belum terungkap, seperti motif perusakan bendera yang belum jelas siapa pelakunya hingga kemungkinan grand design atas rapinya gejolak kasus ini.

Kalau diperhatikan, Novel Bamukmin serta ormas yang diikutinya, yaitu FPI secara tiba-tiba reaktif dengan urusan bendera dan melangkahi aparat dalam bertindak seolah-olah mereka penegak hukum. Hal ini agak aneh, karena sebelumnya mereka tak pernah peduli dengan itu.

Hal ini mengindikasikan adanya kepentingan di balik langkah FPI tersebut.

Perlu diketahui, penetapan darurat militer tanpa pertimbangan yang matang, hanya akan memperkeruh suasana.

PA 212 tak memiliki legitimasi untuk turut serta meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. PA 212 harusnya sudah selesai sejak Ahok divonis hukuman penjara.

Jika sampai hari ini masih eksis semakin menunjukkan bahwa sebenarnya adalah gerakan politis yang berniat menggagalkan pemerintahan Jokowi.

Pernyataan PA 212 juga semakin menegaskan bahwa memang yang sedang terjadi adalah orkestrasi kerusuhan, setelah gagal menggunakan isu agama, kini yang dikipas-kipasi adalah isu kesukuan dan separatisme.

Untuk itu, kita harusnya waspada dan hati-hati dalam menilai pernyataan dari kubu mereka. Periksa setiap kemungkinan yang mengarahkan kita pada perpecahan.