istijabahAvatar border
TS
istijabah
Pramuka Menyatu Dalam Diriku



Suasana keluargaku sangatlah hangat, meski bukan keluarga yang berada, tetapi juga tidak kekurangan. Ada satu waktu di mana mereka pasti menyempatkan diri untuk tetap berkumpul bersama. Menikmati secangkir teh sambil bercerita atau menceritakan masa kecil mereka, kadang juga mendengarkan cerita kami anak-anaknya.

Namun, itu dulu sebelum satu demi satu ujian datang melanda kami, sampai kejadian naas itu meluluh lantakkan semuanya. Meninggalkanku, memeluk rasa takut kehilangan. Lagi.

***

"Ayah, hari Sabtu besok ada kegiatan pramuka di sekolah. Apa aku boleh ikut?" tanyaku setelah menemukan ayah di belakang rumah sedang memberi makan ayam.

"Boleh. Memang kegiatan apa?" Ayah berbalik menghadapku dengan tangan masih menggenggam pakan ayam.

"Persami, Yah," jawabku sembari mengusap lelehan keringat karena dari sekolah tadi aku berlari agar cepat sampai rumah dan meminta izin sama ayah.

Kemudian kusebutkan apa-apa saja yang harus dibawa, setelah mendapat anggukan dari ayah.

Ayah segera membasuh tangan dan mengajakku mencari barang-barang yang dibutuhkan. Sebelumnya dia menyuruhku berganti baju terlebih dahulu.

***



Hari yang ditunggu telah tiba, aku berangkat dengan senyum yang tidak pernah pudar dari bibir. Berjalan bersama dengan beberapa teman yang sama-sama menggendong tas ransel di punggung kecil kami menuju sekolah. Sesekali berjoget sembari menyanyikan lagu 'Rasa Sayange'.

Saat waktu beranjak malam, tepatnya setelah sholat isya'. Paman Bahri--adik ipar ayah-- datang ke tempat kami berkemah, yang kebetulan diadakan di dalam hutan. Ah, bukan hutan sih, cuma karena memang di desa kami masih banyak tanah kosong yang rimbun dan banyaknya pohon bambu yang ditanam oleh penduduk, jadi masih terlihat seperti hutan.



Paman Bahri menghampiri kakak pembina, berbincang sebentar. Setelahnya, sang kakak pembina memanggil namaku.

"Syakur, ikut paman ini pulang dulu, ya," ucap sang kakak pembina sambil menepuk lembut bahuku, setelah berada di hadapannya.

"Ada apa, Paman?" tanyaku menoleh ke arah paman Bahri yang berpakaian baju koko seperti mau berangkat ke masjid.

Tidak ada jawaban dari paman, dia hanya menepuk pundakku seperti yang dilakukan kakak pembina tadi. Kemudian menyuruhku segera berkemas.

Kukemasi barang-barang dengan cepat, bibirku terkatup rapat, tetapi pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepala.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, aku berjalan dengan tergesa menghampiri paman diiringi tatapan penuh tanda tanya dari teman-teman.

Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam. Namun, hati tetap berdoa semoga tidak terjadi apa-apa di rumah. Karena tidak dipungkiri hatiku gelisah juga takut.

Para tetangga banyak berkumpul di rumahku. Mereka semua sibuk, ada yang lagi membuat papan, ada yang mengangkut air dari sumur. Hatiku mulai semakin takut, apalagi melihat tatapan mereka setelah aku turun dari sepeda onthel milik paman.

Ingin bertanya, tapi lidah rasanya kelu, kulewati mereka yang masih menatapku dengan tatapan, entah.

Sampai di dalam rumah, keadaan tak jauh berbeda dengan di luar, tetapi bukan itu yang membuatku gemetar. Di sana, di tengah-tengah mereka, ada sekujur tubuh yang berbaring kaku ditutupi kain batik.

Ada orang yang langsung memelukku saat hendak beranjak menghampiri tubuh itu. Hatiku semakin yakin ada yang tidak beres di sini, kala mendengar tangisan dari seseorang yang memeluk tadi.

Entah siapa, aku tidak tahu dan tidak mau memikirkan itu, karena otak dan mataku tertuju pada tubuh di balik kain batik itu.

Siapa?

"Syakur ...," panggil bibi Leha, adik dari ayahku, dia sedang menggendong Amira anaknya yang masih berusia dua tahun. Ada kedua adik perempuanku duduk di sampingnya, mata mereka merah dan masih terlihat sisa sesenggukan meski tidak lagi mengeluarkan air mata.

Kuhampiri mereka. "Ayah mana, Bi'? Kenapa semua orang berkumpul di sini?" tanyaku setelah duduk bersama mereka.

Seketika tangisan bibi yang meraung membuat air mataku juga tidak bisa tertahan lagi. Bukannya tidak mengerti, bukannya tidak tahu, tetapi aku hanya ingin memastikan.

Dua tahun lalu, suasana yang sama seperti malam ini, banyak orang juga isak tangis. Suasana yang membuatku merasa tidak utuh, saat melihat ibu tidak lagi menyambut kepulanganku dari sekolah dengan senyum dan pelukan hangat. Namun, menyambut dengan mata terpejam dan tubuh yang dingin.

***

Kuhampiri tubuh kaku di tengah ruangan itu, kugoncang tubuhnya agar terbangun. Seperti saat kubangunkan dia kala meminta diantar ke kamar mandi di tengah malam.

"Ayah ... Ayah ... Bangun," ucapku dengan air mata yang semakin deras.

"Ayah ... jangan pergi, ibu su-sudah tidak ada, lalu aku dan adik akan ti-tinggal sama siapa? Ayah ... Banguuun ...."

Aku meraung memeluk tubuh kaku ayah diiringi suara isak tangis orang-orang yang berada di ruangan ini.

Sekelebat kenangan tentang ayah mulai bermunculan, saat dia marah karena aku menjahili adik dengan melempar cacing ke arah mereka.

Saat ayah tertawa melihatku dikejar angsa milik tetangga yang galaknya melebihi preman. Dan terakhir saat kemarin dia marah karena aku ikut berjemur menunggu tongkat pramuka yang baru dicat oleh ayah. Dan saat dia menjelaskan lebih detail arti dari Dasa Dharma Pramuka.

"Tanamkan di sini, sampai kapanpun dan di manapun," ucapnya menunjuk dadaku.

Saat itu usiaku masih sebelas tahun, dan kedua adikku masih berusia tujuh tahun dan yang bungsu berusia lima tahun.

***

Ayah tertabrak mobil truk pengangkut pupuk yang sedang melaju kencang, saat akan mengantarkan selimutku yang tertinggal. Tubuhnya terpental jauh dan terjatuh dengan kepala menghantam aspal. Pendarahan hebat dan terbatasnya alat kesehatan di Puskesmas membuat nyawanya tidak tertolong.

Itu yang aku dengar dari cerita paman setelah ayah dimakamkan.

Tujuh hari sudah berlalu, rumah terasa sepi, meski kini ada bibi Leha dan paman Bahri yang pindah ke rumah ini, menemani sekaligus menjadi pengganti orang tua untuk kami.

Sebelumnya mereka tinggal bersama kakek dan nenek, karena belum mampu membangun rumah sendiri.

***

Saat ini, tidak ada suasana minum teh bersama lagi, seolah semua tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Tidak ada yang berbagi cerita lagi, semua disimpan di hati sendiri.

Pramuka? tidak ada kegiatan yang aku ikuti lagi, meski tetap mempelajari buku panduannya dan sesekali meminta teman-teman bercerita tentang kegiatan pramuka saat kami sedang bermain bersama.

Karena apa?

Karena aku takut ditinggalkan lagi. Aku takut meninggalkan adik-adik terlalu lama, takut tidak bisa melihat mereka lagi.

Seperti ayah dan ibu yang tidak bisa kulihat dan kupeluk lagi, kendati hanya untuk meluapkan rasa rindu yang membuatku merasa sesak.

Mungkin banyak yang bilang aku pengecut atau apalah itu, aku akan terima. Karena mereka yang bilang seperti itu mungkin tidaklah tahu bagaimana sakitnya perpisahan.

Quote:


Biarkan jiwa pramuka tumbuh bersemayam dalam diriku meski aku bukanlah anggota pramuka lagi.

     "SATYAKU KUDARMAKAN DARMAKU KUBAKTIKAN"

Masih bolehkah aku memegang motto itu?

Sumber gambar: Pinterest
Diubah oleh istijabah 19-08-2019 07:47
anasabila
embunsuci
081364246972
081364246972 dan 24 lainnya memberi reputasi
25
2.2K
67
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.5KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.