Bila gay selalu meyakini diri mereka perempuan yang terjebak di tubuh perkasa. Sementara aku ... merasa bagaikan gadis terperangkap di raga senja.

Memiliki paras, suara hingga tingkah tak sesuai usia. Banyak yang salah menilai. Tak mampu menerka kala bertatap. Tak sanggup menahan pikat kala mendengar suara. Hingga berdecak kagum berselimut heran. Dengan keriangan layaknya kanak dipamerkan, berlomba dengan napas.

Menyebalkan saat mengungkapkan kejujuran, tapi diragukan.

"Hay ... kenalkan. Namaku Honey. Aku pekerja baru di sini. Mohon bimbingannya."ucapku menahan getar cemas yang merambat di nadi. Berusaha menyamarkan gigil yang menyapa belulang. Aku satu-satunya perempuan di dapur seluas lapangan bola. Menatap satu persatu lelaki yang berdiri gagah. Menghentikan pekerjaan, demi menyambut kedatanganku.

Sial! Andai aku bisa menghilang, ingin rasanya pergi tak meninggalkan jejak. Saat menyadari. Aku perempuan mungil setinggi 150 cm. Sementara semua lelaki di ruangan ini berpostur tegap. Perkiraan tinggi mereka sekitar 175 cm. Dengan tubuh gagah, berkulit hitam. Bagaimana jika mereka tak menyukaiku? Lantas merudapaksaku beramai-ramai?

Ketakutan ini harus dienyahkan. Mataku menatap sekeliling. Ada tiga cctv terpasang. Merekam seluruh kegiatan. Selama aku berada di jangkauan kamera pengintai, maka aman.

Dapur seluas lapangan bola. Kala membuka pintu, terlihat dua ruangan. Satu berisi freezer berdampingan setinggi dua meter. Tempat lainnya khusus rempah dan aneka peralatan super besar.

Terpasang kompor listrik dua tungku, lengkap dengan oven di bawahnya. Freezer box ukuran jumbo. Sekeliling dinding tertutup kitchen set. Sebagai penyimpan aneka panci ukuran kecil dan sedang. Dua wastafel ukuran besar. Berdampingan dengan dua kompor dengan 10 tungku. Lengkap dengan dua oven di bawahnya. Terdapat meja panjang di tengah. Untuk menyiapkan aneka rempah dan bahan masakan. Dengan talenan kayu berkaki panjang mengapit meja di tengah. Lantai berkeramik besar dengan warna putih. Sangat serasi, berpadu padan kitchen set, abu-abu metalik.

Satu persatu mengulurkan tangan. Ini kesalahan fatal. Bersentuhan kulit denganku. Menatap manik. Seperti disetrum demi mentransfer memory tentang karakter dan kehidupan pribadi. Aku memiliki kelainan. Orang awam menyebutnya anugerah. Bahkan tak jarang, rela semedi dan mendatangi orang pintar demi membuka mata batin. Sementara dalam Islam, termasuk gangguan jin. Yup. Semenjak aku lolos dari ujian maut, di usia tiga tahun. Aku menjadi anak indigo. Mampu melihat dunia lain bila makhluk astral menampakkan diri dalam wujud lain. Entah sebagai binatang, sosok menyeramkan atau setampan vampire Edward Cullen. Karena jin menampakkan diri sesuai dengan keyakinan penduduk setempat. Tapi sungguh, hanya wujud setan di Indonesia yang mampu menyiutkan nyali. Meski akhirnya terbiasa. Selama tidak menganggu, aku biarkan.

Tapi bila berani mendekat, aku tak akan segan membunuh. Dengan benda apapun. Seperti halnya membunuh nyamuk.

Karena saat jin menampakkan diri membutuhkan kekuatan besar dan melemahkan diri mereka sendiri. Bila mereka terbunuh di dunia nyata, maka mati selamanya.

"Hay ... aku Ammar. Lelaki paling tampan di sini,"ucapnya begitu percaya diri. Membuatku menarik kedua ujung bibir ke atas. Tersenyum sumringah.

Lalu satu persatu memperkenalkan diri. Aku memberanikan diri menebak lelaki terakhir. Menyandarkan tubuhnya di sisi tungku. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Kau pasti Kapten,"ucapku mantap menatapnya. Dia pimpinan di tim masterchef.

"Apa yang kau katakan, Honey?"tanyanya memintaku mengulang perkataanku.

"Kau Kapten di dapur ini. Betulkan?"ucapku mantap membuat binarnya kagum pada pandangan pertama. Yang lain menyembunyikan decak di paras.