fee.fukushiAvatar border
TS
fee.fukushi
Ini Pramuka, bukan Pecinta Alam!



Jakarta, Mei 2009

Siang ini, aku ada jadwal meeting dengan klien yang berkantor di Gedung Kwarnas, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Mobil kantor menurunkanku di lobi paling depan. Untuk mencapai lobi utama di belakangnya, aku harus berjalan melewati etalase yang memamerkan atribut pramuka seperti panji-panji, topi, lencana, tongkat, tali-temali dan lain sebagainya.

Spoiler for Gedung Kwarnas:


Sambil terus melangkah, tak kuasa aku untuk tak tersenyum. Hingga aku terpana pada salah satu tembok berpahatkan naskah Dasa Darma Pramuka. Kuhentikan langkah di hadapannya dan memejamkan mata. Dalam hati mulai kubaca sepuluh sikap yang harus dimiliki oleh seorang Pramuka itu.

Spoiler for Dasa Darma Pramuka:


Malamnya, selesai membersihkan diri dan menunaikan empat rakaat, aku duduk di atas kasur menghadap laptop. Kembali tersenyum saat teringat dengan Dasa Darma Pramuka yang ternyata masih kuhapal dengan sempurna.

Bersamaan dengan itu, ingatanku juga melayang kepada seseorang yang sangat berjasa bagiku. Jika bukan karenanya, mungkin aku tak ada di sini saat ini. 

Apa kabarnya dia ya? Apa dia masih berpijak pada bumi yang sama? Atau dia sudah bahagia di atas sana?

Ah! Mengapa tak kucoba cari saja namanya di media sosial? Sungguh aneh, mengapa selama ini tak pernah terpikirkan olehku?

Dengan cepat jari-jariku mengetikkan ‘Devan Yudhatama’. Tak sabar rasanya melihat hasil pencarianku di salah satu portal media sosial yang cukup kondang ini.

Nama unik itu ternyata tak hanya miliknya seorang, ada empat akun lain yang memiliki nama yang sama. Dari kelima profile yang muncul, aku sedikit yakin dengan yang memasang pesawat F-16 sebagai profile picturenya. Instingku mengatakan ini benar dia, jika dirinya masih ada di dunia ini tentunya.

“Assalamu’alaikum. Maaf, ini Mas Devan yang dulu sekolah di SMU K Jogja bukan ya? Terima kasih sebelumnya.”

Langsung saja kukirimkan sebuah pesan singkat. Jujur, aku tak yakin apakah pesanku akan dibalas oleh siapa pun pemilik akun itu.

Ah biarlah, toh tak ada salahnya mencoba.
 

Jogja, Juli 2000

Saat MOS, anak baru mendapat tugas untuk mengumpulkan tanda tangan kakak panitia. Kini, aku dan beberapa teman seangkatanku sedang mengantri tanda tangan dari seorang kakak panitia. Buku tanda-tangan kami ditumpuk di pahanya yang sedang duduk bersila di selasar depan kelas dua.

Satu per satu buku itu ditanda-tangani olehnya, lalu dikembalikan pada pemiliknya masing-masing. Setiap akan tiba giliranku, kakak ini berpura-pura mengajak ngobrol salah seorang dari kami, lalu menaruh bukuku kembali di tumpukan paling bawah. Jelas-jelas aku melihat dia melakukannya dengan sengaja.

Teeettttt….! Bel tanda istirahat pertama berakhir telah berbunyi.

“Dilanjut nanti lagi ya! Istirahat kedua ambil aja ke sini, oke?!” Mas Devan merapihkan tumpukan buku kami lalu membawanya masuk ke dalam kelasnya.

“Iya Maaaaas….” seru anak-anak cewek bersemangat sambil tertawa centil.

Kejadian itu terus berulang beberapa kali. Bukuku baru kuterima dua hari kemudian, aku sangat jengkel dibuatnya. Memang seorang Devan itu keren dan populer, tapi tak seharusnya juga bersikap semena-mena begini. Anehnya, sikap menyebalkannya ini hanya ditujukan kepadaku.

Kesialanku ternyata tak berhenti di situ saja. Beberapa bulan kemudian, Pramuka yang menjadi ekskul favoritku sejak SD kini terusik oleh kehadirannya. Devan sebenarnya bukanlah anggota tetap Pramuka, melainkan anggota Pecinta Alam. Seorang Pecinta Alam yang aneh karena tak pernah naik gunung. Kegiatan yang digandrunginya hanya panjat tebing dan susur goa.

Entah bagaimana cerita awalnya, Devan dipercaya untuk menjadi pelatih rutin ilmu Repling dan Prusiking kami. Kepada semua orang, Devan berlaku baik, tapi tidak denganku. Entah apa salahku aku tak tahu, keisengannya terus saja berlanjut hingga membuatku tidak nyaman. Bahkan kadang aku merasa malas untuk mengikuti sesi latihannya yang dilakukan di luar sekolah. Turun bergantung menggunakan tali dari jembatan setinggi 20meter bukanlah masalah bagiku, bertemu Devanlah yang menjadi isu utamaku.

Dulu saat MOS, kuakui aku sempat menaruh rasa kepadanya. Pembawaannya yang tenang dan tak banyak bicara, menjadi daya tarik tersendiri untukku. Seiring berjalannya waktu, rasa sukaku itu meluntur karena kejahilan yang masih juga dilakukannya.

Suatu ketika selepas latihan Pramuka, di lapangan upacara aku sedang menggulung tali dan merapihkan tongkat yang tadi kami gunakan untuk membuat dragbar. Devan datang dari arah kantin sambil membawa sebuah kantong plastik berisi es teh manis. Begitu dekat, dia berjongkok dan mengamatiku yang tetap sibuk dengan aktifitasku tanpa menghiraukannya.

“Serius amat.” sapanya sambil terus menyeruput es teh hingga berbunyi karena hanya tersisa es batu.

“Iya. Biar cepet beres terus pulang.”  sahutku tanpa menoleh.

“Mmm…” Devan mengangguk beberapa kali, lalu bangkit dan berjalan mendekat. “Nih! Titip ya, sekalian kamu jalan ke basecamp. Kan ada tong sampah tuh di sana.” lanjutnya seraya menaruh plastik bekas es tehnya ke atas kepalaku.

“Urghhh…!!!” jelas saja aku marah, sangat marah, tapi tak berani berbuat apa-apa.

Aku yang pendiam dan tak percaya diri ini, hanya mampu menahan sesak di dada sambil terus memandangi punggungnya yang semakin menjauh meninggalkanku seorang diri.

Tahun pun berganti. Persami tahun ini, sekolah kami mengadakan latihan gabungan dengan sekolah lain. Aku sebagai fans berat Pramuka, tentu bersemangat menyambutnya. Apalagi hanya anggota resmi saja yang diperbolehkan ikut kegiatan ini. Yang juga artinya, aku terbebas dari Devan.

Begitu truk komando tiba di bumi perkemahan yang terletak di lereng gunung Merapi, aku dan reguku langsung turun, lalu menenteng perlengkapan kami ke tempat pendirian tenda. Rina, sang ketua regu, memberi briefing singkat untuk pembagian tugas. Kami harus fokus dan tangkas karena hanya diberi waktu dua jam untuk mendirikan tenda dan mempersiapkan diri sebelum kegiatan utama di mulai.

Aku, Leni, dan Ajeng mendapat tugas untuk mendirikan tenda dan membangun gapura. Nia dan Fitri membuat tungku darurat dan memasak. Dila dan Putri memasang pagar, membuat saluran irigasi, dan menaburi garam di sekeliling kapling dan juga tenda. Sedangkan Rina, sibuk kesana kemari untuk berkoordinasi dengan kakak-kakak Pembina dan ketua regu yang lain.

Pukul 13.30, setelah makan siang, sholat, dan istirahat sejenak, kami semua berkumpul di lapangan tengah. Kegiatan utama Persami kali ini adalah ‘Berburu Harta Karun’. Untuk menjadi juara, selain keahlian Ilmu Pramuka, juga diperlukan kerjasama tim yang baik. Aku dan teman-teman satu reguku yang memang solid, cukup yakin dengan kemampuan kami.

Kompetisi ini dimulai dengan pemberian tugas mengisi Teka Teki Silang tentang pengetahuan umum Kepramukaan. Regu yang berhasil, berhak berjalan lebih dulu ke Pos Satu untuk menerima petunjuk dan tugas berikutnya.

Di Pos Satu, kami harus memecahkan Sandi Morse yang cukup rumit. Untungnya tak perlu waktu lama bagi Ajeng untuk memecahkan sandi titik dan garis ini. Regu kami merupakan regu kelima yang berhasil lolos dari pos ini.

Spoiler for Sandi Morse:


Pos Dua adalah pos Ilmu Peta dan Kompas. Di sini kami dibagikan sebuah kompas dan peta topografi lereng gunung Merapi. Tugas kami adalah untuk menentukan lokasi saat ini di peta, dan memetakan jalur yang akan kami lalui hingga tiba kembali di bumi perkemahan. Dalam hal ini, akulah yang paling diandalkan.

Spoiler for Peta dan Kompas:


Pos Tiga adalah tantangan Semaphore. Rina dan Leni adalah ahlinya di bidang ini. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, regu kami berhasil menerjemahkan pesan tersembunyi di balik sandi bendera dua warna tersebut, lalu melaju ke pos berikutnya. Sekarang, regu kamilah yang memimpin.

Spoiler for Semaphore:


Saat tiba di Pos Empat, dadaku mencelos. Orang yang paling malas kutemui ternyata adalah salah satu yang berjaga di sana. Devan sedang berdiri santai, bersandar pada tiang pembatas jembatan tua yang harus kami turuni menggunakan Teknik Repling. Aku sedikit bernapas lega saat melihat dia tidak sendiri, ada dua kakak yang lain duduk di sana. Walaupun kesal, aku tetap menuju ke arahnya. Dila dan akulah yang dipercaya untuk melewati tantangan ini. Sementara teman reguku yang lain, langsung turun menuju Pos Lima untuk membuat dragbar.

Spoiler for Repling:


Devan tersenyum simpul melihatku berjalan di belakang Dila dengan wajah sedikit menunduk. Dila mengatakan dia akan turun lebih dulu karena ingin segera membantu yang lain membuat dragbar. Di Pos Lima nanti, regu kami harus mengangkat satu orang ‘korban’ dengan menggunakan tandu darurat tersebut yang dibuat dari dua buah tongkat pramuka dan tali. Karena korban harus dibawa menyeberangi sungai berbatu yang mengalir cukup deras, aku yang paling ringanlah yang dipilih.

Spoiler for Dragbar:


“Yak! Next!” teriak seorang kakak dari arah bawah jembatan, menandakan Dila telah mendarat dengan sempurna.

Aku yang sudah siap dengan body harness, safety helmet dan gloves, kini berjalan mendekat ke Devan yang bertugas mempersiapkan kami sebelum menuruni jembatan setinggi 35meter ini.

“Santai aja. Udah sering kan latihan begini?” Devan setengah berbisik kepadaku sambil mengaitkan carabiner ke figure of eight yang akan kugunakan untuk mengerem saat meluncur nanti.

Aku diam saja, malas untuk meresponnya.

“Emang lebih tinggi sih ini dari tempat kita biasa latihan. Tapi gapapa, kan sama aja tekniknya.” sambil terus berbicara dia mengecek apakah semua pengaman yang melekat pada tubuhku sudah terpasang sempurna.

Aku tetap diam, hanya sedikit mengangguk untuk meresponnya.

“Sip! Udah oke semua. Ati-ati ya!” Devan tersenyum sambil menepuk-nepuk lembut helmku.

Aneh. Mengapa kali ini dia begitu berbeda? Sikapnya sangat hangat dan ramah, lain dengan Devan yang biasanya.

“Makasih.” jawabku singkat.

Segera aku melangkahkan kaki untuk menaiki pembatas jembatan, membaca basmallah, dan langsung memposisikan kuda-kuda. Sekali lagi, aku tak takut ketinggian. Aku juga yakin akan baik-baik saja hingga mendarat di bawah sana.

Lalu mengapa dadaku berdegup begitu kencang?

Terlebih kini aku mendongak menghadap Devan yang masih memegangi carabiner untuk menahan beban tubuhku. Senyum hangat tersungging di wajah tampannya, mata elangnya menatapku lekat, membuat jantungku bergemuruh tak beraturan.

“Siap? Aku lepas nih kalau kamu udah siap?” suara Devan mengembalikan kesadaranku.

Setelah menghela napas sebentar, aku mengangguk mantap, lalu mulai menuruni tali perlahan.

Perlu beberapa menit bagiku untuk menuruni jembatan tersebut. Begitu mendarat, rekan satu reguku sudah siap menungguku dengan dragbarnya. Tanpa buang waktu lagi, aku segera berlari menghampiri, meneguk setengah botol air mineral, lalu berbaring di tandu darurat tersebut. Rina memberi aba-aba. Pada hitungan ketiga, enam orang rekanku serempak mengangkatku, lalu membawaku menyeberangi sungai.

Dengan tetap fokus menginjakkan kaki di batuan andesit yang lumayan licin, teman-temanku masih juga sempat bercanda dan tertawa. Awalnya aku tak begitu menyimak candaan mereka karena tegang.

Bagaimana jika salah satu ada yang terpeleset dan membuatku terlempar?

“Serius dong… jangan ketawa terus.” suaraku setengah putus asa.

“He he he… tenang aja Lis. Percaya deh, kamu ga akan jatuh kok.” Nia yang berada paling dekat dengan kepalaku yang menyahut.

“Iya Lis… kami ga akan nyeburin kamu ke sungai kok.” Putri menimpali.

“Ho oh. Orang ga berasa gini kok ngangkat kamu. Badan kok enteng banget kaya kapas. Sini kubagi lemakku Lis, mau ga?” Fitri yang berbadan gempal kini yang menjawab, seketika disambut oleh gelak tawa yang lain.

“Ha ha ha…” aku pun tak kuasa untuk tak turut tertawa.

“Stop stop guys! Yang di sana agak dalem deh kayanya. Kita muter lewat sini aja yuk! Bentar biar aku aja dulu yang kesana ya, kalo aman baru kalian nyusul.” Rina sang ketua regu memberikan instruksi.

Regu kami yang berjumlah delapan orang ini memang sangat pas. Rina yang memimpin dan berjalan di depan, aku yang menjadi korban, dan enam orang lagi yang mengangkat.
 
“Aaakh!” Rina tiba-tiba berteriak.

Suara gemuruh seketika datang dari arah hulu, aku tak sempat menoleh untuk melihat apa yang terjadi. Teriakan mulai terdengar bersahutan, tidak hanya dari teman satu reguku, namun juga regu yang lain. Dragbar yang menopangku kehilangan kendali, tubuhku terlempar begitu saja, terbanting cukup keras ke bagian tengah sungai.

Tak ada angin dan hujan, banjir bandang rupanya datang. Samar-samar kudengar teriakan minta tolong. Aku berusaha menggapai apa pun yang dapat kuraih, namun terus saja gagal. Tubuhku terbawa arus dan terhempas ke sana kemari dengan brutalnya. Rasa sakit dan pedih kurasakan saat tubuhku beradu dengan bebatuan tajam dan ranting yang terseret arus.

Entah berapa lama aku mengapung dan tenggelam, kini aku mulai kelelahan dan kesulitan bernapas. Cukup banyak air yang kutelan dan kuhirup. Aku menyerah, sepertinya memang tak ada harapan lagi. Aku tak dapat menyelamatkan diri, pun tak ada yang mengejar untuk menolong.

Jika memang ini akhir dariku. Ya sudahlah.

Di tengah keputus asaan, antara sadar dan tidak, sebuah tangan tiba-tiba meraihku. Pemilik tangan itu memelukku erat dan berhasil membawaku menepi. Kekhawatiran jelas terpancar dari wajahnya saat menggendong dan meletakkanku di tempat yang aman.

“Lis! Alisa! Kamu denger aku Lis?” Devan menepuk-nepuk pundakku.

Aku yang setengah sadar, hanya dapat diam memandangnya. Devan memiringkan tubuhku lalu menepuk-nepuk punggungku supaya aku terbatuk.

“Uhuk... uhuk… uhuk...” air yang menyumbat sebagian saluran pernapasan akhirnya berhasil kumuntahkan.

“Alhamdulillaaaaah… Syukurlah kamu gapapa Lis…”

“Makasih... banyak… Mas…” terbata-bata aku mengucapkannya.

Devan hanya tersenyum, lalu membantuku bangkit. Perlahan dia mulai memapahku. Sambil berjalan, kuperhatikan wajah Devan yang kini sangat dekat denganku sedikit berjengit seperti menahan nyeri. Sesekali dia menepuk-nepuk ringan dada kirinya.

“Mas Devan kenapa? Ada yang sakit?”

“Ga kok gapapa.”

Begitu bertemu dengan rombongan yang mencari kami, Devan memasrahkanku. Sebenarnya aku tak mau berpisah darinya, aku merasa ada yang aneh dengan sikapnya tadi. Saat digiring oleh petugas medis, aku tetap berusaha tak melepaskan pandanganku. Terus saja kutolehkan kepala untuk mencari sosoknya yang semakin menjauh dari keramaian.

Celaka! Kekhawatiranku ternyata benar terjadi. Devan yang terus meremas dada kirinya terlihat semakin kesakitan. Tak ada yang memperhatikan karena semua orang sedang fokus dengan korban banjir bandang.

“Mas Devan!!!” aku melepaskan diri dari petugas medis, lalu berlari menghampirinya yang mulai limbung dan akhirnya jatuh tersungkur.

Tak ada satu pun dari kami yang tahu, Devan ternyata mengidap lemah jantung sejak lahir. Walau mencoba menjalani hidup secara normal, aktifitasnya sangat terbatas. Itulah alasan mengapa dia tak pernah naik gunung, kesehatan jantungnyalah yang tidak mengijinkan.

Begitu pula dengan berenang. Cabang olahraga ini dapat dilakukannya, namun harus sangat hati-hati. Perbuatan nekatnya untuk menolongku berdampak fatal.

Di rumah sakit, Devan tak sadarkan diri untuk beberapa hari. Setelah kondisinya membaik, dia dirujuk ke Singapura untuk menjalani operasi. Kakak lelakinya mengatakan, operasinya akan sangat beresiko dan hanya punya lima persen kemungkinan sukses.

 
Jakarta, Mei 2009

Kini aku berbaring, memandang nanar langit-langit kamarku. Teringat akan kejadian itu, aku kembali merasa bersalah. Walaupun keluarga Devan ikhlas dan tidak menyalahkanku, tetap saja aku merasa berdosa. Aku ingin sekali lagi mengucap terima kasih, dan tentu saja meminta maaf kepadanya. Sayangnya hingga saat ini, niatku itu belum tertunaikan.

Aku hilang kontak dengan Devan dan keluarganya sejak keberangkatan mereka ke Singapura. Sejak saat itu, Devan tak pernah lagi masuk sekolah. Pun keluarganya yang tak pernah kembali ke Jogja.

“Mas Devan… Semoga kamu bahagia di mana pun kamu berada saat ini. Sekali lagi terima kasih.” lirih aku berkata sambil mengusap lelehan hangat air mata.  
 
--- TAMAT ---

emoticon-rose


gambar diambil di sini,di sini, di sini, di sini, di sini, di sini, dan di sini.
Diubah oleh fee.fukushi 18-08-2019 15:25
anasabila
someshitness
pavidean
pavidean dan 12 lainnya memberi reputasi
13
5.6K
50
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.