gilbertagung
TS
gilbertagung
Jerman 1918-1933 : Pemulihan, Depresi, dan Jalan Menuju Kediktatoran



Setelah periode yang berat pada 1923, Jerman berhasil memperoleh keringanan pembayaran utang perang dan mengalami boomingekonomi. Namun, Depresi Besar yang dimulai pada 1929 membuyarkan semuanya dan memberi jalan bagi kelompok Nasional Sosialis atau Nazi untuk menggenggam kekuasaan.

Klik gambar untuk menuju sumber gambar

Dawes Plan dan Young Plan


Atas : Charles G. Dawes, pengusaha dan politisi AS yang merancang Dawes Plan pada 1924. Ia diganjar Hadiah Nobel Perdamaian pada 1925 atas rancangannya yang meringankan beban utang perang Jerman.
Bawah : Owen D. Young, industralis AS yang merancang Young Plan, yang membuat beban keuangan Jerman semakin ringan, pada 1929.


Pendudukan Ruhr dan hiperinflasi Jerman ternyata mampu membuat posisi Jerman dalam hubungan internasional membaik. Amerika Serikat dan Inggris menekan Prancis untuk merundingkan ulang pampasan perang Jerman. Dibuatlah Dawes Plan yang dirancang oleh Charles G. Dawes (yang kemudian menjadi Wakil Presiden AS periode 1925-1929) pada 16 Agustus 1924 yang mengurangi beban pembayaran pampasan perang Jerman menjadi 50 miliar mark dan Jerman hanya perlu membayar sebesar 1 miliar mark per tahun untuk 5 tahun pertama dan ditingkatkan menjadi 2,5 miliar mark per tahun setelahnya. Lewat perjanjian ini juga, AS memberikan pinjaman baru kepada Jerman sebesar 800 juta mark.

Lima tahun kemudian, pada 11 Februari 1929 di Paris, Young Plan dirancang oleh Owen D. Young, dan meringankan beban utang Jerman sebagai ganti dari Dawes Plan. Total utang perang Jerman dikurangi sebesar 20 persen, bunga tahunan ditetapkan sebesar 5,5 persen, dan masa pembayaran ditentukan selama 58,5 tahun. Dengan skema ini, Jerman hanya perlu mencicil sebesar 2 miliar mark per tahun dengan dua pertiga dari jumlah ini dapat ditunda pembayarannya jika diperlukan. Pinjaman AS untuk Jerman juga terus mengalir melalui koordinasi oleh JP Morgan.

Pelaksanaan kedua program ini meringinkan beban keuangan pemerintah Jerman setelah 1923 dan memungkinkan perekonomian Jerman mengalami booming. Setidaknya hingga 1929.

Dari sisi dalam negeri Jerman sendiri, pemerintah di bawah kanselir Gustav Stresemann berhasil mengatasi hiperinflasi lewat berbagai manuver yang dilakukan dalam waktu 3 bulan. Pada 20 November 1923, mata uang baru, rentenmark, diperkenalkan sebagai pengganti papiermark yang nilainya tergerus habis oleh inflasi. Untuk mencegah terulangnya hiperinflasi, pencetakan mata uang ini dibatasi dan nilainya didukung oleh keseluruhan kapasitas industri dan pertanian Jerman. 1 rentenmark setara dengan 1 triliun papiermark. Karena 1 dolar AS kala itu setara dengan 4,2 triliun papiermark, 1 dolar AS setara dengan 4,2 rentenmark. 5 hari sebelumnya, Reichsbank juga berhenti mencetak uang dalam rangka membiayai defisit anggaran.

Ia juga meminta agar mogok pekerja di wilayah Ruhr dihentikan dan meyakinkan Prancis dan Belgia bahwa pembayaran cicilan utang akan dilanjutkan kembali dan kedua negara setuju untuk menghentikan pendudukannya di Ruhr (dilakukan pada 1925). Pemerintah juga mengurangi pengeluaran dengan memberhentikan 700.000 pegawai negeri sehingga defisit anggaran dapat dikurangi.

Periode Kemakmuran 1924 - 1929

Gustav Stresemann, Kanselir Jerman periode 13 Agustus 1923-30 November 1923. Meski singkat, ia mampu mengatasi hiperinflasi dan krisis diplomatik dengan Prancis dan Belgia dan memberi jalan bagi periode yang relatif stabil dan makmur di Jerman pada 1924 hingga 1929.

Keringinan yang didapatkan dalam pembayaran utang perang memungkinkan bagi Jerman untuk mencapai periode stabil dan booming ekonomi.

Pada 1925, Jerman menandatangani Perjanjian Locarno dengan Prancis dan Belgia. Jerman setuju untuk menerima perbatasan baru yang ditetapkan dengan kedua negara tersebut oleh Perjanjian Versailles. Sementara itu, sengketa wilayah dengan Polandia dan Cekoslovakia akan diselesaikan secara damai.

Pada 1926, Jerman diterima sebagai anggota Liga Bangsa-Bangsa, organisasi internasional yang bermarkas di Jenewa, Swiss dan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antarnegara secara damai. Jerman bahkan ditetapkan sebagai salah satu anggota Dewan Liga yang membuatnya memiliki posisi yang kuat di organisasi tersebut.

Pada 1928, Jerman menjadi salah satu dari 62 negara yang menandatangani Perjanjian Kellogg-Briand yang membuat para penandatangannya berkomitmen menyelesaikan sengketa di antara mereka secara damai.

Sejumlah kemajuan diraih Jerman pada periode ini. Level produksi industri pada 1928 telah melampaui level tahun 1913, nilai ekspor meningkat 40 persen antara 1925 dan 1929, tingkat upah per jam selalu meningkat dari 1924 hingga 1929 (Pada 1928, kenaikan bahkan mencapai 10 persen), IG Farben (Perusahaan farmasi Jerman) menjadi perusahaan terbesar di Eropa, dan sistem jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan dana pensiun diperkenalkan pada 1927.

Namun, perekonomian Jerman periode ini juga memiliki berbagai kelemahan. Produksi pertanian tidak melampaui periode sebelum perang, nilai impor Jerman selalu lebih besar dari ekspor sehingga neraca perdagangan Jerman defisit, angka pengangguran tidak pernah turun dari angka 1,3 juta dan justru meningkat menjadi 1,9 juta pada 1929, industri Jerman menjadi bergantung pada pinjaman dari AS, dan pengeluaran pemerintah yang selalu melebihi pendapatan pajak membuat defisit anggaran selalu terjadi sejak 1925.

Kucuran pinjaman dari AS membuat rasio utang Jerman terhadap PDB naik dari 19,7 persen pada 1925 menjadi 43,7 persen pada 1929. Namun, di saat yang sama, perekonomian Jerman mencatatkan pertumbuhan dengan rata-rata tahunan mencapai 5 hingga 6 persen.

Depresi Besar dan Kebangkitan Nazi

Seorang pengangguran muda di Berlin menengadahkan topinya, berharap belas kasihan orang dan sedikit uang. Depresi Besar yang dimulai di AS begitu berpengaruh kepada perekonomian Jerman karena ketergantungannya pada ekspor-impor dan pinjaman dari AS.

Namun, Depresi Besar akibat kejatuhan Wall Street pada bulan Oktober 1929 membuat perekonomian Jerman terpukul hebat. Akibat pengetatan perdagangan yang dilakukan pemerintah AS di bawah Presiden Herbert Hoover lewat Smoley-Harvey Tariff Act 1930 dan reaksi balasan dari mitra dagangnya, volume perdagangan dunia pun anjlok 70 persen antara 1929 dan 1932.

Perekonomian Jerman yang sangat bergantung pada perdagangan internasional dan investasi asing, terutama pinjaman dari AS, mendapat pukulan telak. Harga produk pertanian di pasaran internasional merosot. Pendapatan ekspor Jerman menurun drastis. Apalagi, AS berhenti memberi utang baru kepada Jerman dan menagih utang yang sudah diberikan ke Jerman lewat Dawes Plan dan Young Plan.

Karena ekspor-impor menurun, industri Jerman terpaksa mengurangi kapasitas produksi dan mengurangi jumlah karyawan. Pada 1932, produksi industri Jerman hanya mencapai 58 persen dari level tahun 1928 dan angka pengangguran mencapai 6 juta pada 1933.

Karena produksi, pendapatan, dan laba menurun drastis, pinjaman yang diberikan bank kepada perusahaan-perusahaan Jerman menjadi tak terbayarkan. Bank pun mengalami kesulitan likuiditas dan terancam tutup. Nasabah yang takut simpanannya terlikuidasi (lenyap) bersama keruntuhan bank (belum ada jaminan simpanan kala itu. Jaminan simpanan baru dimulai di AS pada masa kepresidenan Franklin Delano Roosevelt). Antrian nasabah untuk menarik simpanannya dari bank (bank run) terjadi di kota-kota besar.

Dengan pendapatan negara dari pajak dan pungutan ekspor-impor yang menurun, Jerman pun tak mampu membayar cicilan utang pada 1931 dan 1932, dan masih diperparah dengan keruntuhan Creditanstalt di Wina, Austria pada Mei 1931 yang menimbulkan kepanikan finansial seantero Eropa.

Dampak Depresi kepada masyarakat Jerman begitu terasa. Meski kekurangan makanan tidak terlalu meluas, jutaan orang tak mampu menjangkau harganya. Anak-anak mengalami kelaparan dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan kelaparan, bahkan sampai meninggal dunia. Jutaan pekerja industri, yang pada 1928 menjadi pekerja kerah biru (buruh pabrik) dengan penghasilan paling tinggi di Eropa, menganggur selama setahun bahkan lebih. Namun, bukan hanya kelas pekerja yang terpengaruh, namun seluruh lapisan masyarakat. Tingkat pengangguran kelompok pekerja kerah putih (kantoran) dan profesional tergolong tinggi. Seorang koresponden kantor berita asal Chicago yang bertugas di Berlin kala itu mengungkapkan bahwa "60 persen dari lulusan baru universitas menganggur". Kenaikan harga (inflasi) membuat banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kelas menengah Jerman yang sebelumnya mulai terbentuk dan hidup mapan tergerus karena banyak orang jatuh miskin.

Pemerintah Jerman tak mampu berbuat banyak dalam mengatasi pelemahan ekonomi akibat Depresi. Secara normal, perlambatan bisa diatasi dengan meningkatkan belanja pemerintah. Namun, pemerintah Jerman di bawah Kanselir Heinrich Bruning (menjabat sejak Maret 1930) tidak ingin hiperinflasi 1923 terulang kembali dan defisit anggaran meningkat. Maka, ketimbang meningkatkan belanja, Bruning menaikkan tarif pajak untuk menurunkan defisit. Ia memotong upah dan mengurangi belanja, dengan harapan menurunkan harga dan mengendalikan tingkat inflasi. Reichstag menolak kebijakan Bruning, namun ia mendapat dukungan dari Presiden Paul von Hindenburg, yang mengeluarkan dekret darurat pada pertengahan 1930 untuk memastikan pelaksanaan kebijakan ini. Kebijakan ini semakin meningkatkan jumlah pengangguran dan membuat kehidupan masyarakat semakin sulit pada 1931 dan 1932. Ini pun membuat dukungan masyarakat terhadap sistem demokrasi multipartai semakin menipis karena selama pelaksanaannya selalu menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil (berumur pendek) dan tidak bisa menghasilkan satu rumusan kebijakan yang efektif karena perbedaan pandangan dan perdebatan terus-menerus di antara mereka.

Pada Juni hingga 9 Juli 1932, Konferensi Lausanne diselenggarakan di Lausanne, Swiss dengan ide menangguhkan atau menghapuskan seluruh utang perang Jerman yang tersisa karena kemunduran ekonomi di seluruh dunia. Para kreditor utang perang ke Jerman saling menghapuskan utang perang mereka namun menolak meratifikasi perjanjian yang dibuat sebelum memperoleh perjanjian memuaskan mengenai utang perang mereka ke AS. Akhirnya, utang perang Jerman tetap tidak dihapuskan.

Kesulitan ekonomi memberikan keuntungan bagi Hitler dan Nazi. Sejak larangan terhadap mereka menyusul peristiwa Beer Hall Putsch pada 9 November 1923 dicabut pada 1925, mereka belum mampu menarik simpati rakyat secara luas. Propaganda mereka yang sebelumnya tidak terlalu menarik perhatian rakyat kini mendapat dukungan banyak rakyat. Ditambah dengan kekecewaan rakyat pada demokrasi yang tidak memberi manfaat kepada mereka, propaganda Nazi yang menawarkan kembalinya keteraturan dan harga diri bangsa Jerman yang dilecehkan oleh Perjanjian Versailes mampu memikat rakyat. Begitu pula dengan propaganda mereka bahwa kaum Yahudi yang menikmati standar hidup lebih tinggi dari kebanyakan rakyat Jerman, merupakan kelompok yang perlu disalahkan bagi terpuruknya Jerman. Perolehan suara mereka meningkat drastis dari 2,6 persen (12 dari 491 kursi) pada pemilihan tahun 1928 menjadi 18,25 persen (107 dari 577 kursi) pada 1930, 37,27 persen (230 dari 608 kursi) pada Juli 1932, dan 33,09 persen (196 dari 508 kursi) pada November 1932. Selain Nazi, Partai Komunis Jerman (KPD) juga ikut naik daun dan seringkali sayap paramiliter kedua partai berseteru.

Meski tidak berhasil mencapai mayoritas mutlak, Hitler berhasil menjadi kanselir setelah berbagai pihak terutama kaum tengah seperti Franz von Papen mendesak Presiden Paul von Hindenburg untuk menunjuk Hitler sebagai kanselir. Karena ideologinya yang anti terhadap komunisme, Nazi juga mendapat dukungan dari kelompok industrialis Jerman, salah satunya oleh Alfred Hugenberg yang merupakan seorang pengusaha media dan politisi DNVP.

Setelah Hitler naik sebagai kanselir dan berkuasa pada 30 Januari 1933, Jerman menangguhkan pembayaran cicilan utang perang tersebut. Setelah kebakaran Reichstag pada 27 Februari 1933, pemerintahan Hitler mengeluarkan undang-undang darurat (Enabling Act) yang memungkinkan mereka membuat aturan hukum tanpa meminta persetujuan Reichstag selama 4 tahun. Satu per satu partai selain Nazi dibubarkan atau membubarkan diri. Sebelum pembubaran ini terjadi, pemilu bebas terakhir di Jerman sebelum era kediktatoran dimulai digelar pada 5 Maret 1933. Hasilnya, Nazi mengumpulkan 43,91 persen suara dan memperoleh 288 dari 647 kursi Reichstag.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Jerman mulai mencicil kembali pembayaran utang berdasarkan Perjanjian London 1953 dan pembayaran terakhir akhirnya dilunasi pada 3 Oktober 2010.


Demikian thread dari saya kali ini. Jerman mengalami masa yang penuh optimisme pada 1924-1929 untuk kemudian kembali terpuruk pada 1929-1933 dan memilih jalan kediktatoran bersama Adolf Hitler. Terima kasih telah membaca thread ini dan semoga hari Anda menyenangkan.


Nester, William R. 1996. Power across the Pacific: A Diplomatic History of American Relations with Japan. London : Palgrave Macmillan.
Referensi I
Referensi II
Referensi III
Referensi IV
Referensi V
Referensi VI
Referensi VII
Referensi VIII
Referensi IX
Referensi X
Referensi XI
Referensi XII
Referensi XIII
Referensi XIV
Referensi XV
Referensi XVI
Referensi XVII
Referensi XVIII
Referensi XIX
Referensi XX
Referensi XXI
Referensi XXII
Referensi XXIII
Referensi XXIV
Referensi XXV
Referensi XXVI



Diubah oleh gilbertagung 25-08-2019 02:24
rony25willyasyrafjazzcoustic
jazzcoustic dan 18 lainnya memberi reputasi
19
9K
67
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
icon
6.5KThread10.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.