surantisuraAvatar border
TS
surantisura
Gara-Gara Daster
Gara-Gara Daster
Oleh : Suranti Vulka

sumber: pixabay

Pintu kubuka, sepi. Semua penghuni sudah tidur tampaknya. Pelan kaki ini melangkah dalam keremangan.

"Aw!"

Aku menjerit yang diikuti kedua tangan menutup mulut. Satu kaki terangkat, mulut masih meringis menahan sakit dalam bungkaman. Lampu menyala, Vania keluar dari kamar. Wajah kusutnya memandangku heran.

"Kakiku menginjak lego," ucapku setengah berbisik.

Mulutnya melongo, tatapan dia edarkan ke seluruh ruangan yang berantakan oleh mainan.

"Maaf, belum sempet aku bereskan, Mas. Sakit, ya? Sini aku obati."

Tangan kecilnya meraih kakiku, meniup pelan lalu mengolesi dengan salep. Penuh kelembutan dia mengobati.

"Kamu capek?" tanyaku.

Ia mendongak, menatap, lalu tersenyum. Ck! Kesal sebenarnya aku. Ingin marah. Apalagi melihat penampilannya yang tak pernah rapi. Memakai daster yang membuat tubuhnya seperti tong berjalan.

"Maaf, ya," rayunya.

Aku hanya diam. Seolah mengerti, Vania membereskan mainan.

"Lingerie yang aku belikan ke mana?" tanyaku mengikuti gerakannya memasukkan barang ke dalam box.

"Ada di almari, Mas."

"Kenapa nggak dipake?"

"Males, Mas. Lebih nyaman pake daster. Lingerie juga kan seksi banget, nggak enak dilihat anak-anak."

"Ck! Sepet mataku melihat penampilanmu," ujarku meninggalkannya.

Malam itu, dia menabuh genderang perang. Tidak mau tidur di kamar yang sama denganku. Mengungsi di kamar Fathiya, putri kami. Aku cuek. Terserah dia. Daripada tidur bersama baju kumal, mending tidur sendiri.

Pagi tiba, genderang perang masih ditabuh. Bendera putih belum terkibar. Tandanya, aku harus melewatkan sarapan. Tak peduli dengan sikap tak acuhnya, aku segera memacu kendaraan menuju kantor.

***

"Mas, cemberut aja," sapa Marlina.

"Nggak dapat jatah sarapan," jawabku asal.

Marlina tersenyum manis. Wanita yang selalu tampil rapi dan cantik itu sudah setahun ini membuatku tertarik. Berbanding terbalik dengan Vania yang tampil ala kadarnya.

"Ini. Saya bawa sarapan, khusus untuk Mas."

Mataku berbinar. Sedikit tersanjung dengan sikapnya yang penuh perhatian. Ingin sekali kucubit pipi montok nan merona itu. Gemas. Sandwich buatan Marlina kulahap tanpa sisa.

"Terima kasih, ya. Makanannya enak," pujiku.

Sejak saat itu, Marlina semakin sering memasak untukku. Bukan hanya sarapan, tapi juga makan malam. Kami pun semakin dekat. Aku sudah tak canggung lagi pergi berdua dengannya di luar jam kantor. Juga tak ada rasa takut jika Vania memergokiku.

"Mau makan apa?" tanyanya. Saat kami berjalan menyusuri lorong supermarket.

"Apa aja," jawabku singkat.

Wanita sintal itu dengan cekatan memilih bahan makanan. Memasukkannya ke dalam keranjang yang didorongnya. Aku, asyik menikmati bentuk tubuhnya yang indah dari belakang. Wanita itu juga tak segan bergelayut manja di lenganku.

Makan malam yang menyenangkan, suasana romantis dengan lilin terhias di meja. Wajah Marlina yang cantik dengan balutan gaun hitam pendek, membuat darahku berdesir. Aroma parfum yang menguar memberikan sensasi aneh. Menggelitik hatiku. Ingin rasanya kurengkuh semua yang tersaji di hadapanku.

***

Setiap hari aku pulang larut malam. Lembur selalu kujadikan alasan terhindar dari cecar Vania. Wanita itu tidak curiga. Sehingga aku semakin larut menikmati madu yang kureguk bersama Marlina.

Aku mulai tidak betah tinggal di rumah. Selain tempat itu selalu berantakan, juga karena pemilik rumah yang tak menarik lagi. Jangankan menyentuh, melihat saja aku muak.

Perasaan tersisa sangat terasa saat hari libur. Aku harus terkungkung di rumah yang seperti penjara. Pengap. Terkadang, aku mencari alasan agar bisa keluar rumah.

"Sayur, Bang!" teriak Vania. Dia memanggil tukang sayur yang sering berkeliling di kompleks.

Wanita itu segera menyambar jilbabnya dan berlalu. Tidak peduli penampilannya yang acak-acakan. Kuikuti dia sampai di pintu depan.

"Pagi, Neng," sapa tukang sayur.

"Pagi, Bang. Mau ayamnya setengah kilo, ya," ucap Vania.

"Iya, Neng. Majikannya belum bangun, ya?" tanya tukang sayur lagi.

"Majikan? Saya bukan pembantu, Bang, saya yang punya rumah itu," terang Vania sambil menunjuk rumahku.

"Ah, masak, Neng?" Tukang sayur itu tetap tidak percaya.

"Ngapain saya bohong, Bang," tukas Vania.

"Oh, Kirain, Neng." Senyumnya penuh keheranan.

"Masa abang nggak apal? Kan tiap hari saya beli sayur di abang."

Penjual sayur itu hanya cengengesan. "Majikan mah biasanya penampilannya rapi, Neng," kata tukang sayur itu sambil menggaruk kepala.

Vania tampak cemberut lalu masuk rumah dengan tas plastik berisi ayam di tangannya. Kuamati istriku itu dari atas sampai bawah. Memang mirip seperti pembantu rumah tangga, tidak heran jika tukang sayur itu pun mengira demikian.

"Van, lain kali kalau keluar jangan pake daster," pintaku.

Vania menoleh. Mata bulatnya menatapku heran.

"Kenapa, Mas?"

"Aku malu. Masak istri manajer penampilannya kayak pembantu gitu," terangku.

"Kenapa mesti malu, Mas. Biarkan aja orang mau berkata apa tentang diri kita," sanggahnya.

"Ck! Aku ingin istriku tampil cantik di mata orang lain juga di mataku."

"Jadi, selama ini aku udah nggak cantik lagi di mata, Mas?" tanyanya dengan kilatan kemarahan di mata.

Ini yang paling kubenci dari dia. Selalu ngeyel jika diberi nasihat.

"Kamu cantik hanya tidak bisa merawat diri," tegasku.

Bibirnya cemberut, lalu diam. Marah lagi. Aku mengacak rambut dengan kasar. Pergi meninggalkannya tanpa pamit.

Kembali aku menemui Marlina.

"Muka kusut gitu, Mas?" tanyanya.

Memberikan teh hangat manis kepadaku.

"Iya, sedang suntuk," rutukku.

"Mau dipijat?" Marlina kembali bertanya, sedikit menggoda.

Aku menatap kedua Manik matanya lama. Menafsirkan arti pertanyaan itu. Tidak lama, tangan Marlina menari indah di pahaku. Napas menderu, degup jantung tak beraturan. Saat hendak mendekati wajahnya, ponselku berbunyi nyaring. Sudah kuabaikan andai itu dari Vania. Namun, itu dari Pak Hendra, bosku.

Segera aku bangkit dan bergegas ke rumahnya. Ada hal penting yang harus diurus perihal kantor, tetapi Pak Hendra ingin bertemu di rumah.

Sesampainya di sana, Pak Hendra membahas tentang materi untuk rapat besok. Pak Hendra memang sering tiba-tiba memanggil seperti meski libur.

"Begitu saja Pak Ardi. Semoga rapat kita besok berjalan lancar," pungkas Pak Hendra.

"Iya, Pak. Saya juga berharap demikian," ucapku.

"Permisi!" sapa seorang kurir. Dia datang membawa paket besar.

Pak Hendra bangkit untuk menemui kurir tersebut. Sungguh orang yang rendah hati, untuk menyambut kurir pun dia tak memanggil pembantunya.

"Apa ini, Mas?" tanya Pak Hendra.

"Paket, Pak, daster."

Daster? Dahiku berkerut.

"Oh, ini pasti pesanan istri saya," ucapnya, "ma! Mama!"

Istri Pak Hendra datang dari arah ruang keluarga. Mengenakan daster yang motifnya sama persis dengan kepunyaan Vania. Beberapa kali aku mengucek mata, tetap sama.

"Istri saya ini kalau sama daster cinta mati," ujar Pak Hendra terkekeh. Dia kembali duduk di sampingku.

"Ibu memang selalu memakai daster di rumah, ya?" tanyaku heran.

"Iya. Istri saya itu, kalau boleh maunya ke mall pun memakai daster. Istri Pak Ardi nggak suka pake daster, ya?" tanya Pak Hendra.

Aku menggeleng kuat dan tersenyum malu.

"Istri saya juga suka memakai daster, kok, Pak," jawabku.

Terlihat dari wajah Pak Hendra tidak ada rasa canggung sedikit pun istrinya berpenampilan biasanya, hanya dengan memakai daster tanpa make up. Jauh berbeda denganku. Duh, sombongnya diri ini. Hanya karena sebuah posisi saja, sudah berani menilai sesuatu dengan berlebihan.

"Saya biarkan dia melakukan apa pun asal tidak lupa kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Saya hanya ingin dia bahagia, Pak," terang Pak Hendra.

"Pak Ardi istrinya suka pake daster kan? Saya pesen daster banyak, nih. Saya kasih dua untuk istri Bapak, ya," kata Bu Hendra. Dia membuka pesannya tepat di depanku.

Aku hanya mengangguk dan berterima kasih. Tak lama berselang, memohon diri untuk pulang. Selama dalam perjalanan, otakku berpikir. Apakah selama ini sikapku keterlaluan terhadap Vania? Sudah beberapa hari ini kami tidak saling menyapa. Aku muak dan dia marah. Padahal selama Vania menjadi istriku, tidak pernah sekali pun dia lalai dengan kewajibannya. Aku mengusap wajah dengan kasar.

Tin! Tin!

Langit sore yang cerah dengan semilir angin mengantarkanku pulang. Disambut Vania dengan ... gamis panjangnya. Make up tipis dan senyum manis. Aku terharu. Wanita cantik itu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi ibu dan istriku. Turun dari mobil, aku segera menyeretnya masuk rumah.

Aku duduk di sofa, diikuti Vania yang duduk di pahaku.

"Kamu cantik sekali," pujiku.

"Aku minta maaf, selama ini tidak memedulikan penampilanku."

Dia tampak malu, rona merah menghiasi pipi putihnya.

"Aku senang kamu dandan cantik begini buat aku?" godaku.

Bibirnya cemberut manja. Pura-pura marah.

"Mas 'kan benci penampilanku yang lama," ujarnya.

Aku terkekeh lalu mencubit pucuk hidungnya.

"Aku salah selama ini." Aku menghela napas, "maafkan aku," ucapku.

Vania terbelalak, mungkin dia melihat kaca yang kini kutahan agar tidak meluncur. Kedua telapak tangannya menangkup wajahku. Dia tersenyum penuh pengertian. Ah, wanitaku! Aku memeluk erat. Menyadari segala salah yang selama ini kuperbuat.

Kuulurkan bungkusan pemberian Bu Hendra.

"Apa ini?"

"Buka saja!"

Vania membuka dan terkejut.

"Mas!" pekiknya, "daster!"

Matanya penuh binar, senyumnya lebar. Tampak riang sekali.

"Kamu senang?" tanyaku.

"Iya, Mas. Senang sekali. Terima kasih," ucapnya, kemudian menyerangku bertubi-tubi dengan ciuman.

Melihat hal itu, hilang sudah rasa kesalku. Hanya karena daster saja binar yang dulu hilang, kini kembali. Setelah peristiwa itu, tidak kulihat lagi rumah berantakan dan penampilan Vania yang acak-acakan. Karena aku membayar asisten rumah tangga yang bekerja setengah hari untuk membantu Vania. Aku merasa senang, sehingga betah tinggal di rumah ini. Padahal dulu, tidak pernah sekali pun aku peduli dengan kerepotannya mengurus rumah.

End

Yogyakarta, 24 Juli 2019
Diubah oleh surantisura 27-07-2019 11:27
Anna471
yonefian
anna1812
anna1812 dan 26 lainnya memberi reputasi
27
6.5K
93
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.