Meski telah merdeka sejak 74 tahun lalu, persoalan diskriminasi berbasiskan rasial di Indonesia belum hilang 100 persen. Penyebabnya karena sebagian orang masih suka mengobarkan kebencian kepada minoritas tertentu, salah satunya etnis tionghoa.

Baru-baru ini, kebencian berbasiskan rasial itu semakin kuat seiring dengan menguatnya politik identitas yang dimainkan oleh sebagian kelompok. Mereka terus saja menghadap-hadapkan umat Islam seolah bermusuhan dengan etnis Tionghoa atau China.

Seperti yang pernah dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta yang menyindir kaum pribumi dan non pribumi saat pelantikannya. Kemudian belakangan dia juga menyindir soal impor besi dari China, dan lain sebaginya.

Bahkan, baru-baru ini ada pengajian yang menyebutkan bahwa etnis Tionghoa bukan warga negara Indonesia. Pesan yang bisa menyulut permusuhan berbasiskan identitas itu disebarluaskan di media sosial.

Dalam rekaman pengajian yang tampaknya digelar di Masjid Jogokariyan Yogyakarta itu disebutkan bahwa etnis Tionghoa menolak menjadi warga negara Indonesia sejak negara ini berdiri. Bahkan mereka meminta dua kewarganegaraan, yaitu Indonesia dan China.

Apa yang diungkapkan itu jelas tidak benar. Karena berdasarkan UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI pasal 2 menyebutkan secara tegas bahwa WNI adalah orang-orang asli Indonesia dan bangsa lain yang disahkan UU sebagai warga negara.

Pasal tersebut jelas memasukkan keturunan Tionghoa dalam kategori yang juga bisa diberikan status WNI.

Oleh karena itu, narasi penyesatan publik yang sering disampaikan oleh kaum sumbu pendek seperti dalam video itu jelas tidak benar. Hal itu bisa dipastikan sebagai upaya untuk memprovokasi dan membenturkan umat Islam dengan Tionghoa.

Kaum sumbu pendek terlihat memang ingin menumbuhkan kebencian masyarakat terhadap etnis Tionghoa hanya karena mayoritas berbeda agama dengan mereka.

Isu-isu komunisme, China akan menjajah Indonesia, serbuan TKA dari China dan apapun yang berkaitan dengan China selalu dinarasikan secara negatif. Semua itu adalah propaganda negatif yang tidak benar.

Penyebutan pribumi dan non pribumi pun sebenarnya sudah tidak diperbolehkan sejak era reformasi dengan diterbitkannya Inpres No. 26/1998 yang ditandatangani mantan Presiden BJ Habibie.

Dengan demikian, keturunan Tionghoa, Arab maupun bangsa asing lainnya jika sudah berstatus WNI tidak boleh disebut non-pribumi. Sebab istilah pribumi dan non pribumi hanya akan menciptakan diskriminasi berbasiskan identitas rasial.

Terkait dwi kewarganegaraan warga etnis tionghoa juga sudah tak ada lagi. Beleid UU No. 12/2006 memperbolehkan dwi kewarganegaraan atau bipatriade, namun secara terbatas yaitu hanya untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kimpoi sampai usia tersebut.

Oleh karena itu, tidak benar jika keturunan Tionghoa memiliki dua kewarganegaraan. Itu hanyalah fitnah yang tidak jelas juntrungannya kecuali untuk mendiskriminasi kelompok minoritas di negara ini.

Fenomena keturunan Tionghoa menganut dua kewarganegaaraan terjadi ketika Pemerintah Cina di era terdahulu menetapkan aturan jika semua orang Cina di seluruh dunia, termasuk di Indonesia harus berkewarganegaraan Cina. Hal itu karena Cina menganut isu sanguinas (warga negara berdasarkan keturunan dari ayah/ibu).

Namun, perselisihan tentang WN Tionghoa tersebut telah selesai, tidak adal lagi warga etnis tionghoa di Indonesia yang berkewarganegaraan ganda.

Sekarang dengan adanya UU 12/2006 maka keturunan Tionghoa mutlak menjadi WNI sepanjang sesuai dengan UU. Inilah yang harus dipahami bersama.

Jangan mau diprovokasi oleh kaum sumbu pendek berpakaian peci dan jubah seolah islami, tetapi kelakuannya suka mengumbar perpecahan dan adu domba. Itulah mulut-mulut Abu Lahab dan Abu Jahal berpakaian Islam.

Bagaimanapun, kita adalah bangsa Indonesia yang menghargai perbedaan etnis, suku dan bangsa. Kita hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan damai dan saling menghargai.