Bila ada seorang yang patut dikasihani saat ini, Prabowo Subianto mungkin masuk ke dalam kriteria tersebut. Pasalnya, dia terbukti salah langkah dalam Pilpres 2019 lalu, sehingga berujung kekalahan untuk ketiga kalinya.

Kesalahan paling fatal bagi Prabowo itu sebenarnya terletak saat menempatkan kelompok PA 212, HTI, dan FPI sebagai koalisi utamanya. Mereka terbukti tak membawa hasil positif bagi kemenangan Prabowo-Sandi.

Justru sebaliknya, malah membuat rakyat Indonesia antipati terhadap mereka. Karena masyarakat tahu kelompok itu memiliki agenda tersembunyi untuk mengubah haluan negara.

Yang lebih fatal lagi, Prabowo ini telah mempercayakan dirinya dicalonkan sebagai capres dari hasil usulan Ijtima ulama dimana sebagian besar didukung oleh mereka. Sehingga, akhirnya Prabowo berhutang budi kepada mereka.

Politik balas budi yang digunakan Prabowo ini justru menyandera dirinya dengan kondisi di luar nalar. Misalnya, Prabowo selalu berusaha melibatkan Rizieq dalam setiap keputusan besar, bahkan dalam rencana rekonsiliasi juga.

Hal ini terlihat saat kubunya melibatkan Rizieq agar dipulangkan sebagai syarat rekonsiliasi.

Tetapi, bisa saja itu menjadi taktik-ganda Gerindra untuk menjaga kepercayaan rekan koalisinya tersebut. Sikap Prabowo yang melunak terhadap Rizieq semata demi eksistensi dan dukungan massa dari Rizieq untuk Pemilu ke depan.

Namun, patut disayangkan keputusan Prabowo untuk menyertakan Rizieq sebagai syarat rekonsiliasi. Hal ini menjadi satu kesalahan besar dan blunder fatal yang berdampak pada sikap negatif masyarakat terhadapnya.

Dengan begitu,k ubu calon presiden nomor urut 02 itu sama saja menyerahkan diri untuk tersandera kepentingan Rizieq Shihab.

Sebagai seorang politikus yang patriotis, mestinya Prabowo Subianto-Sandiaga Uno membela kepentingan lebih besar, yaitu keutuham bangsa, bukan mengedepan kepentingan individu. Apalagi melindungi seorang kriminal seperti Rizieq Shihab itu.