Assalamualaikum .... selamat malam kaskuser, semoga dalam lindungan Allah SWT. Dijauhkan dari orang-orang dzolim. Aamiiin.


Masih dalam suasana lebaran dimana wall media sosial dipenuhi tema lebaran dan jalan-jalan. Namun ada satu postingan yang membuat saya terhenti dan penasaran untuk membacanya. Postingan salah satu teman FB berjudul Dimadu atau Ceraikan.

Yang saya tangkap adalah opini tentang dukungan dan saran agar melepaskan suami yang telah berkhianat dan menikah lagi. Banyak opini yang menganggap bahwa pilihan cerai dari suami seperti itu adalah pilihan yang cerdas.

Namun, itu berbeda dengan yang saya alami sendiri. Pernikahan yang kami bangun 11 tahun, diuji saat memasuki tahun ke-12. Persis seperti judul diatas. Suami saya tiba-tiba memberikan pilihan paling menyakitkan seumur hidup saya. Dimadu atau cerai.

Wanita mana yang mau dimadu? Sakit ... jangan ditanya lagi. Rasanya tak bisa diungkap dengan kata. Hampir satu bulan menangis siang dan malam. Hanya untuk memasukan sesendok nasi pun, perut menolak dan dimuntahkan kembali.

Berat badan menurun drastis dari 65kg hingga 50kg. Kebayang ngga sakitnya bun? Amarah dan benci mulai menguasai hati dan pikiran hingga mendesak sang suami untuk menceraikan.

Jatuhlah talak beruntun dalam satu bulan. Talak satu dan dua. Tetap berpasrah dan berdo'a di sepertiga malam kepada sang Khalik adalah satu-satunya kekuatan.


Pernikahan adalah ladang pahala terbanyak dan terlama untuk seorang wanita. Tentu banyak ujian di dalamnya karena surga itu mahal.di luar dari janji surga untuk istri shalehah. Sebagai manusia kita juga harus saling memaafkan.

Suami yang telah lama mendampingi dengan penuh tanggung jawab, lalu melakukan satu kesalahan yang kita anggap fatal. Haruskah kita menyerah begitu saja hanya dengan satu kesalahan itu, kemana hilangnya ribuan kebaikan sang suami?

Anggap semua yang terjadi adalah ujian untuk menghapus dosa di masa lalu dan untuk menambah pahala kita. Berjuanglah sampai akhir, lalu pasrahkan semua keputusan kepada Sang Pemilik Hati.

Dua kali talak bukanlah hal yang mudah, pandangan lelaki di luar terhadap saya tiba-tiba berubah. Bak harimau yang akan menerkam mangsa, ditambah anak-anak yang menanyakan ayahnya terus menerus turut mengoyak hati yang sudah berdarah dan bernanah (dalem banget).

Sebagai wanita yang hanya menjadi ibu rumah tangga tanpa penghasilan. Sangat tergantung dengan pemberian suami. Saat kata cerai terucap. Uang belanja pun jauh berkurang dari sebelumnya. Jauh dari kata cukup untuk ku dengan tiga orang anak.


Perceraian bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk anak. Bukan cuma suami dan istri yang patah hati. Anak-anak juga turut merasakannya.

Di luar sana, ramai orang memberi nasehat cerai lebih baik daripada dimadu. Nyatanya tidak, cerai dengan membawa tiga anak adalah beban terberat yang harus dihadapi. Ketika perceraian itu terjadi, kemana orang-orang yang memberi nasehat dan saran bercerai itu? Nyatanya, semua harus dihadapi seorang diri.

Selanjutnya orang-orang itu hanya memberi saran kembali. Bekerja, jadi wanita tangguh dan lain-lain. Terus ke-3 anakku yang masih kecil-kecil, apalagi sibungsu yang masih menyusu di kemanakan? Di asuh orang tua kita yang telah berusia senja. Tegakah kita membebani orang tua kita yang seharusnya sudah menikmati hari tuanya.

Apapun keputusan yang diambil. Bercerai atau dimadu. Kita harus saling menghargai, karena pastinya itu sudah menjadi keputusan yang telah dipikirkan secara matang dan penuh pertimbangan.

Silahkan berkomentar dengan sopan. Di sini saya tidak menyudutkan ataupun menyalahkan pihak manapun. Tulisan ini murni saya buat berdasar pengalaman pribadi dan yang saya rasakan langsung.

Mari saling menghormati dan menghargai. Sekian dan terima gaji
Pic by: geogle