Ibu, Maafkan Diriku yang Dulu

Beranda

...

Stories from the Heart
Ibu, Maafkan Diriku yang Dulu

ilafit

14-05-2019 06:17

Ibu, Maafkan Diriku yang Dulu

Delapan belas tahun yang lalu, Asyifa Zahra dilahirkan dari perut seorang wanita yang dipanggil Ibu. Kini, Zahra tumbuh menjadi gadis remaja yang tinggi dan cantik. Tubuhnya yang proposional membuat para mata lelaki tak pernah lepas memandangnya. Ibu selalu mewanti-wanti untuk memakai jilbab, namun Zahra hanya menganggapnya omong kosong.

Quote:

"Zahra, kapan kamu memakai jilbab, Nak?" tanya Ibu dengan wajah lelah.

Zahra menggelengkan kepala pelan. "Ibu apa, sih. Nanti kalau sudah menikah baru Zahra pakai jilbab," ujarnya ketus.

"Nak, memakai jilbab itu kewajiban bagi seorang wanita Muslim. Apalagi kamu sudah baligh. Jagalah auratmu! Jangan biarkan kamu menanggung dosa karena membiarkan para lelaki memandangmu dengan terpanah."

"Sudah deh, Bu. Kalau Ibu terus menceramahi Zahra..."

Perkataan Zahra menggantung dan terdengan ancaman.

"Apa?" tanya Ibu pelan.

"Zahra memilih tinggal bersama Ayah daripada Ibu yang cerewet."

Zahra pergi meninggalkan Ibu sendirian di ruang tamu sendirian. Kedua orang tua Zahra memang sudah bercerai sejak Zahra berumur 5 tahun. Alasannya karena Ayah tak mencintai Ibunya lagi, atau bisa dikata sudah bosan. Hak asuh anak jatuh ke Ibunya. Zahra tumbuh besar bersama Ibu dan Ayah jarang mengunjunginya.

Setiap ke sekolah, Zahra selalu mengurai rambutnya dan berpakaian ketat. Ia terlihat bangga jika para lelaki menatapnya. Karena baginya mereka terpesona dengan kecantikannya.

"Zahra," panggil Aldo, ketua Osis di sekolahnya.

Zahra menoleh dan tersenyum. Dalam hati ia bertekad akan menaklukkan hati Aldo. Ia harus bisa membuktikan bahwa lelaki memang mencintai karena rupa. Rupa yang menawan akan membuat para lelaki takhluk kepadanya.

"Nanti pulang sekolah ada acara, gak?"

Zahra tampak berfikir dan menggeleng. "Enggak tau, sih."

Aldo meraih tangan Zahra. Menggenggamnya dengan erat. "Kalau gak, jalan-jalan, yuk!"

Zahra mengangguk. Siapa sangka bahwa Aldo ada niat buruk dibalik ajakan jalan-jalan.

Quote:

"Zahra, kemana?" tanya Ibu di seberang.

Zahra hanya diam tak menjawab.

"Pulang sekarang!" titah Ibu dengan tegas.

"Ibu apa-apaan, sih. Ini jam berapa? Biasanya Zahra juga pulang habis Isya'."

"Ya Allah, jangan biasakan begitu, Nak. Kamu ini anak cewek, pulang sekolah ya langsung pulang. Jangan keluyuran dimana-mana," nasehat Ibu.

"Ibu bisa diam, gak?" gertak Zahra dan memilih memutuskan telfon dari Ibunya.

Zahra kembali ke tempat Aldo dan tersenyum manis. "Masih antri, ya?" tanya Zahra.

Aldo mengangguk. "Ayo, kita ke dalam!"

Aldo menggandeng tangan Zahra dengan lembut. Sejenak Zahra merasa hatinya bergemuruh. Ia menggelengkan kepala pelan, 'tidak boleh jatuh cinta ke Aldo'.

Bioskop tampak ramai. Banyak para pemuda yang menikmati waktunya bersama kekasihnya. Mata Zahra berkeliaran. Ia memandang wajah para cewek disana. Dalam hati ia berdecih. Ternyata benar, semua lelaki memandang rupa terlebih dahulu untuk menjadi tambatan hati.

Aldo menarik Zahra ke kursi bernomor 5. Mereka duduk berdempetan, bahkan tangan kiri Aldo merangkul Zahra. Tak peduli pakaian sekolah masih menempel di tubuh mereka.

Film mulai diputar. Kedua mata Zahra membelalak saat melihat film itu tidak seharusnya mereka tonton. Zahra menoleh ke arah Aldo.

"Al, apa-apaan ini?" tanyanya sarkatis.

Aldo terkekeh. "Tenanglah, sayang. Tonton saja dengan tenang."

Zahra menggeleng pelan. Ia juga tak habis pikir bagaimana para pemuda memilih film tidak jelas sebagai tontonan. Padahal itu tidak sesuai dengan umur mereka.

"Aku gak percaya ya sama kamu, Al."

Aldo menggenggam kedua tangan Zahra pelan. Ia mulai mendekatkan wajahnya ke arah Zahra. Zahra menampar wajah Aldo keras.

Plakk

Ia memang bukan gadis yang baik. Tetapi, ia tidak suka jika lelaki memandang wanita rendah. Sama, seperti Ayahnya yang lebih memilih wanita lain dan pergi meninggalkannya. Zahra keluar dari Bioskop dan berlari kencang. Tiba-tiba ia teringat Ibu. Waktu sudah menunjukkan pukul 10:00.

Zahra bingung saat pulang justru mendapati bendera kuning menancap di pagar rumahnya. Banyak warga yang datang sambil membacakan surat Yasin. Langkah kakinya semakin mendekat.

"Ada apa ini?" tanyanya.

Rina, tetangga Zahra memeluk Zahra pelan. "Ibu kamu telah pergi. Yang sabar, ya."

"Apa maksud, Anda?"

"Tadi, Ibu kamu sempat berpesan ke saya kalau kamu sudah pulang tolong telfon. Ibu kamu mencari kamu karena tidak kunjung pulang. Wajahnya khawatir. Namun, belum sampai 10 menit, saya mendapat kabar bahwa Ibu kamu ditabrak sebuah mobil yang diduga pengemudinya mabuk berat," jelas Tante Rani.

Zahra menggeleng pelan. Ini tidak mungkin.

"Dan, kamu harus tahu bahwa Ayahmu juga ada dalam mobil itu."

Seakan mendapat lemparan batu mengenai hatinya. Itulah yang dirasakan Zahra. Sakit. Ia menghampiri jenazah Ibu. Air mata mengalir dengan deras.

Quote:

"Kenapa Ibu tega meninggalkan, Zahra. Maafkan, Zahra. Zahra janji akan berubah demi Ibu. Tetapi, Ibu harus bangun dan lihat Zahra. Zahra sedih, Bu," ujar Zahra sesenggukan.

Kini, ia sebatang kara. Ayah mendekam dalam penjara karena mengedarkan obat-obatan terlarang bersama istri barunya. Ibu, meninggalkannya untuk selamanya.

Saat itu, Zahra bertekad untuk hijrah. Menjadi sosok yang lebih baik lagi. Merubah akhlak dan pakaiannya. Ia memilih pindah ke Pesantren. Ia juga mulai menghafalkan Al-Qur'an. Ia ingin menjadi anak yang sholehah untuk Ibunya.

Diubah oleh ilafit 12-06-2020 15:21