• Beranda
  • ...
  • Militer
  • Banjir Jenderal dan Kolonel TNI, Banyak yang Nganggur

babygani86
TS
babygani86
Banjir Jenderal dan Kolonel TNI, Banyak yang Nganggur
Dua anggota Ombudsman, Ninik Rahayu dan Adrianus Meliala pernah menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Wiranto, di kantornya. Kedua anggota Ombudsman RI tersebut “memberi warning” kepada Wiranto, sehubungan dengan rencana penempatan perwira TNI di jabatan sipil. Ombudsman RI menilai, rencana itu berpotensi menimbulkan maladministrasi penyelenggaraan pemerintahan. Menurut UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya sudah sangat jelas. Berdasarkan UU itu, personel aktif TNI bisa menduduki jabatan sipil di 10 lembaga saja, dan itu pun berdasarkan permintaan pimpinan lembaga. Kecuali TNI mau mengundurkan diri dan mengikuti seleksi di institusi sipil sebagaimana prosedur yang ada.



Hanya saja, Ombudsman RI tidak mau terburu-buru memandang bahwa rencana ini merupakan upaya membangkitkan lagi dwifungsi ABRI. Wacana ini muncul lebih karena berlebihnya jumlah perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) TNI yang belum mendapatkan jabatan struktural. Pak Wiranto sendiri yang menghapuskan dwifungsi ABRI, jadi tidak mungkin akan mendukung rencana ini bila memang dwifungsi.

Kunjungan Ombudsman RI hanya salah satu dari berbagai keriuhan yang terkait dengan wacana penempatan perwira TNI di pos jabatan sipil. Bila dirunut ke belakang, wacana ini mulai menguat sejak rapim TNI-Polri di Istana pada akhir Januari lalu. Ketika itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan untuk segera melakukan restrukturisasi TNI sebagai implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia.

Selain itu, Presiden juga menyampaikan wacana untuk merevisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, terutama tentang masa pensiun personel TNI tamtama dan bintara. Rencananya, masa pensiun mereka akan diperpanjang dari semula 53 tahun menjadi 58 tahun. Tapi, kemudian wacana terus ber- kembang. Di sela rapim, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan bahwa rencana revisi UU TNI itu tidak hanya untuk mengubah masa jabatan pensiun, tapi juga mengubah jumlah lembaga sipil yang bisa diisi oleh perwira TNI aktif.

Pembatasan hanya pada 10 lembaga itu tercantum dalam pasal 47 UU TNI. Menurut Hadi, revisi pasal 47 itu agar permasalahan yang terkait dengan banyaknya perwira tinggi dan menengah TNI yang saat ini masih menganggur bisa teratasi. Hadi menginginkan lembaga kementerian yang bisa diduduki TNI aktif itu eselon satu dan eselon dua, tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya, hingga kolonel bisa masuk.



Dari situ, ibarat bola salju, wacana itu makin membesar dan menimbulkan pro kontra. Penolakan pun makin kuat. Pasalnya, dikawatirkan, rencana itu akan mengarah ke kembalinya dwifungsi ABRI. Penolakan itu terutama berasal dari kalangan masyarakat sipil. Sebanyak 39 lembaga yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil yang antara lain terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBIHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesian Corruption Watch (ICW), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyatakan menolak rencana itu dan menandatangani petisi. Sejumlah individu yang juga menandatangani petisi itu antara lain Mochtar Pabotinggi, Frans Magnis Suseno, Usman Hamid, Alissa Wahid dan Saiful Mujani.

Dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, pertengahan Februari lalu, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa wacana itu tidak tepat, tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan dapat mengganggu tata pemerintahan yang demokratis. Namun, sejauh ini pemerintah terlihat masih mendorong rencana itu. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, wacana ini memang dipersepsikan seakan—akan dwifungsi ABRI akan kembali bangkit. Tapi, menurutnya, itu keliru. Pemerintah tidak berencana untuk mengembalikan lagi dwifungsi ABRI.

Hal serupa disampaikan mantan Wakil Menteri Pertahanan, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie mengatakan bahwa UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah menutup peluang TNI untuk mengambil peran sosial—politik seperti dulu lagi. Penempatan sejumlah perwira aktif TNI di institusi sipil lebih terkait dengan irisan tugas seperti lembaga urusan kemanusiaan, bencana dan sebagainya. Penempatan seperti itu juga dilakukan di negara-negara yang demokrasinya dianggap lebih maju, seperti di Prancis atau negara Eropa lain.

Penjelasan lebih detail sebenarnya sudah disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen Sisriadi, awal Februari lalu. Ketika itu, di Balai Media TNI, Sisriadi menjelaskan bahwa banyaknya perwira TNI yang menganggur itu karena perkembangan jumlah jabatan tidak sanggup mengikuti jumlah perwira, baik perwira tinggi maupun menengah. Permasalahan itu sudah terjadi sejak tahun 2010, tapi memang tidak dibuka ke publik. Baru kini akhirnya isu ini terangkat dan menimbulkan pro kontra.



Penyebab ketimpangan antara jabatan struktural dan jumlah perwira itu terkait dengan usia pensiun. Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, usia pension perwira mengalami perpanjangan dari 53 tahun menjadi 58 tahun. Ini yang menyebabkan banyak perwira yang menganggur. Hal ini sudah sudah pernah diramalkan, karena perubahan usia pensiun tidak diikuti dengan perubahan ketentuan kenaikan pangkat bagi perwira.

Sisriadi bahkan juga pernah menganggur. Ia bercerita, pernah setahun menganggur selepas mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI. Padahal dulu, lazimnya, perwira yang sudah mengikuti Sesko otomatis akan menempati jabatan struktural. Ini karena memang tidak semua perwira bisa mengikuti Sesko. Hanya perwira terpilih yang bisa mengikuti Sesko, setelah itu menempati pos struktural.

Namun, setelah perpanjangan usia pension perwira, bahkan mereka yang sudah lulus Sesko pun tidak memiliki jabatan struktural. Sisriadi kelompok pertama alumni Sesko yang menganggur tahun 2009—2010.

Sisriadi pernah membahas secara cukup detail soal ketimpangan antara jumlah jabatan dan surplus perwira TNI ini. Pembahasan itu bahkan ia tuliskan di majalah Wira, majalah internal Kementerian Pertahanan, edisi Maret-April 2018. Dalam artikel tersebut, ia antara lain menyarankan agar dibuat aturan yang mengubah lamanya masa dinas dalam pangkat (MDPP) untuk bisa naik pangkat. Pangkat letnan, misalnya, yang dijalani tujuh tahun sebelum bisa naik pangkat menjadi kapten, diusulkan diperpanjang menjadi delapan tahun. Bila tidak mengubah periode masa dinas perwira untuk dapat naik pangkat, kelebihan kolonel dan perwira tinggi akan terus jadi persoalan.


Spoiler for PENYEBAB BANYAKNYA PERWIRA TINGGI TNI MENGANGGUR:


Dalam artikel itu, Sisriadi juga mengingatkan bahwa saran ini bukan tanpa risiko. Pasalnya, perpanjangan masa dinas perwira bukanlah kebijakan populer bagi perwira muda, karena mereka akan merasakan perlambatan waktu untuk mencapai puncak karir. Karena itu, solusi tersebut memang masih harus dibahas lagi secara mendalam.

Lantas, apakah wacana penempatan perwira aktif TNI di kementerian bisa jadi solusi? Jelas bukan solusi permanen. Penambahan pos struktural misalnya, juga bukan solusi permanen karena terkait permasalahan anggaran. Solusinya adalah reformasi sistem kepangkatan. Tanpa itu, surplus perwira tanpa jabatan non—struktural akan terus tejadi.


Spoiler for Referensi:


Diubah oleh babygani86 09-04-2019 01:34
eShopSulistien212700
tien212700 dan eShopSulis memberi reputasi
7
19.7K
111
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer
Militer
icon
19.9KThread6.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.