Mungkin sebagian dari kita masih terkejut dan heran mendengar bahwa orang penderita gangguan jiwa diberikan hak pilih dalam Pemilu 2019.

Memang sesuai dengan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur hak warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan ayat 1 menerangkan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan Umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tapi kalau kita berpikir secara logika, agak aneh ya kalau orang penderita gangguan jiwa ikut dalam memilih nanti.














Kita ibaratkan begini, Misalnya Orang Sakit Jiwa sudah mempunyai istri dan istrinya sedang hamil tua. Saat proses persalinan ternyata dokter hanya bisa mengupayakan satu orang yang dapat hidup, antara istri atau anaknya. Dan itu pasti perlu izin kepada keluarga yang bersangkutan.

Akan aneh apabila sang dokter menanyakan pilihan itu kepada suami yang sakit gangguan jiwa. Kenapa? Karena suaminya yang sakit jiwa ataupun gangguan jiwa itu pasti gak akan bisa pilih, dia gak akan punya pikiran, gak perduli, dan gak tau dampak apa yang akan dia rasakan ke depannya. Dan yang pasti dia juga gak akan mengeluh dan menyesal apa yang terjadi di masa depan nanti.




Ada penegasan dari ketua KPU mengenai Orang Dengan Gangguan Jiwa. Bahwa orang gila permanen yang dijalanan gak akan dikasih hak pilih dalam Pemilu 2019. Yang punya hak pilih hanya Orang Dengan Gangguan Jiwa yang bersifat sementara atau masih memiliki kesadaran.

Bagaimana caranya mereka nyoblos? Dengan pendampingan yang akan dilakukan oleh badan terkait melalui surat keterangan dari dokter spesialis ataupun dokter psikologis lainnya.
















sumber referensi : republika, detikcom,kompasiana