mukamukaosAvatar border
TS
mukamukaos
BULLY (CRIME - THRILLER)




    

Quote:



 


Ilustrasi Bima



Chapter 1. Aku


 
Puluhan pasang mata memandang kemana pun aku melangkah. Mereka melihatku dengan tatapan bengis, sinis, serta penuh kebencian. Seolah aku adalah penjahat yang mesti enyah dari kehidupan sekitar. Aku tidak mengerti kenapa mereka berbalik begitu jahat kepadaku.

Sekolah yang sebelumnya terasa menyenangkan, sekarang tak ayal seperti neraka.

Aku ingin menjelaskan semuanya.

Namun mereka membuangku.

****


“Kamu yakin tidak terlibat?”

Aku menggeleng.

“Yakin?”

Aku mengangguk.

Sudah ratusan kali pertanyaan tersebut terlontar. Semakin mereka bertanya dan dijawab, mereka malah kian tak percaya seakan aku berdusta. Dan hari ini, pertanyaan itu kembali mencuat setelah dua hari tak terdengar. Bahkan, sekarang pihak sekolah membawa seorang polisi ke ruangan BK berukuran 2x2 meter bercat warna krem dengan sebuah meja besar di tengah ruangan dan tiga kursi di sisinya, serta sebuah sofa panjang untuk 3 orang di sudut. Sebuah foto presiden dan wakil terpajang di bawah patung Garuda. Terpajang pula foto berisi seluruh guru dan karyawan sekolah di dekat jendela. Aku muak hampir saban hari diundang ke mari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menuduh.

Seorang pria berseragam polisi yang duduk di sampingku tersenyum hangat. Tangannya yang kekar itu menyentuh pundakku. Dia kembali bertanya, “Lalu apa yang terjadi malam itu?”

“Saya tidak tahu. Yang saya ingat, saya dijebak.”

Polisi bernama Irwan menghela napas panjang. “Siapa yang menjebakmu?”

Aku menggeleng. “Boleh saya pergi?”

Seorang perempuan tua bermuka galak dengan kacamata kuno yang duduk di depanku melotot. Namanya Ningsih, guru BK. “Tidak sopan kamu! Kamu mau pergi? Mau menghindar dari kesalahan?” bentaknya.

Kepala ini perlahan terangkat, menatapnya dengan dingin. Kesalahan? Apa yang sudah kuperbuat?  “Saya tidak mengerti maksud Ibu. Lebih baik saya permisi. Jam istirahat sebentar lagi habis. Setelah ini saya ada ulangan. Saya harus belajar ketimbang…”

“Ketimbang apa?” potong Bu Ningsih, galak.

“Ketimbang harus menjelaskan kepada orang yang tidak mau memercayai saya. Selamat pagi.” Aku bangkit dan pergi menuju kelas. Sayup-sayup terdengar suara Bu Wati meminta maaf pada Pak Irwan.

****


Suasana di kelas pun tidak jauh berbeda dari ruang BK. Begitu membuka pintu, hanya hening yang menyambut. Semua mata tertuju padaku, tanpa ada satupun yang menyapa. Beberapa detik kemudian, mereka kembali dengan kesibukannya masing-masing. Tanpa memedulikanku yang berjalan sendiri menuju bangku paling pojok. Tanpa mau tahu apa yang baru saja terjadi.

“Minggir,” ketusku ketika dua pasang kaki menghalangi jalan.

Dua cowok pemilik kaki di depanku tak menggubris. Keduanya asyik mengobrol. Kuminta sekali lagi secara baik-baik. Tak ada respon. Aku melihat sekeliling. Mau memutar rasanya percuma. Bangkuku sudah ada di depan mata. Sekali lagi aku meminta mereka untuk memberi jalan.

“Permisi.”

“Eh, lu kayak denger suara, nggak?” tanya Roni setelah melirikku dengan lirikan mengejek.

“Hm… nggak,” jawab Dedi acuh tanpa menyingkirkan kedua kakinya.

Sebal dengan pernyataan tersebut, aku memberanikan diri melewati mereka. Namun salah satu dari kaki tersebut dengan cepat bergerak naik. Tubuh ini sontak kehilangan keseimbangan. Di saat bersamaan aku merasakan punggungku di dorong kuat-kuat. Aku terjatuh dengan dagu mendarat terlebih dahulu di lantai. Sakit sekali.

“Rasain!” kata Dedi diiringi ledakan tawa seluruh penghuni kelas.

“Kalian kenapa, sih?” bentakku diiringi desisan menahan perih.

Roni dan Dedi saling berpandangan. “Eh, Ded, lu denger suara lagi nggak? Kaya ada yang ngajak ngomong gitu. Hahahaha!” ucapnya keras-keras.

Bel tanda istirahat usai berbunyi nyaring. Seiring dengan itu, aku menyadari bahwa daguku mengeluarkan darah. Setengah berlari, aku pergi ke UKS.

Tanpa ada yang peduli.

****


“Kok, bisa jatuh, sih? Makanya kalau jalan lihat-lihat!” ucap Mei, kakak kelas yang sedang berjaga di UKS, sambil membereskan peralatan usai merawat lukaku.

Aku hanya diam. Malas menjawab. Toh menjawab pun tak akan dipercaya.

“Hei, gue nanya sama elu! Jawab napa?”

Aku menggeleng pelan, lalu bangkit. “Makasih, Kak.”

“Mau kemana?”

“Kelas.”

“Ngapain buru-buru?”

“Ada ulangan.”

“Kalau ada apa-apa sama lu punya luka, ke sini lagi, ya?”

Aku mengangguk. “Sekali lagi makasih, Kak,” ucapku sambil berjalan ke arah pintu.

“Sama-sama, Bim.”

Langkahku terhenti. Menoleh ke perempuan berwajah Tionghoa yang sedang menulis sesuatu di dekat papan tulis. “Kakak tahu namaku?”

Mei menoleh. Setengah alisnya terangkat. Dia mengedikkan bahu. “Kenapa nggak? Setelah kasus ‘Pensi’, siapa sih yang nggak tahu lu? Tenang aja. Gue nggak akan nuduh atau mikir buruk tentang lu, kok. Oke?” Perempuan berlesung pipi itu tersenyum.

Aku mengangguk.

Dalam perjalanan menuju kelas, ucapan Mei terus terngiang. Tenang aja, gue nggak akan nuduh atau mikir buruk tentang lu.Langkah kaki ini melambat. Menyadari sesuatu. Apakah semua orang yang selama ini menatapku dengan bengis punya tuduhan buruk terhadapku? Tuduhan yang ditujukan pada seorang cowok 17 tahun yang beberapa waktu lalu sempat disanjung banyak orang? Seorang cowok yang disebut-sebut sebagai bintang sekolah?

Aku hanya sanggup menghela napas berat.

****


“Darimana saja kamu?!” bentak Pak Burhan ketika aku membuka pintu. Ulangan biologi telah dimulai.

“Maaf, Pak. Saya harus ke UKS untuk...”

“Halah! Alasan! Kalau kamu tidak suka dengan pelajaran saya, bilang! Biar saya coret dari daftar nilai!” potongnya sengit, diikuti gelak-gelak tawa yang ditahan.

Aku hanya mematung.

“Sudah! Sudah! Kamu berdiri di luar! Saya malas ngurusin siswa tidak beradab seperti kamu! Berdiri di lorong sampai pelajaran saya selesai!” serunya.

Kalimat itu sangat menyakitkan. Menembus masuk ke dalam hati. Mengoyak apapun yang ada di dalam sana. Dengan berat, kuturuti kata-katanya. Sebelum pintu ditutup, sempat kulihat Dedi dan Roni mengacungkan jari tengahnya padaku.

Kusandarkan punggung di dinding. Kenapa jadi begini?

Sungguh, aku tidak mengerti kenapa semua orang mendadak tak mau memercayai semua ucapanku sejak semester 2 dimulai. Bahkan, kini semua orang mengucilkanku. Tidak ada satu pun yang mau bicara denganku, kecuali jika aku membutuhkan mereka. Sepertinya, aku hanya makhluk tak kasat mata yang hadir tanpa perlu diperhatikan.

Aku duduk sambil memeluk lutut. Kubenamkan wajahku dalam-dalam. Berharap agar semua ini berakhir dan semuanya kembali normal.

Beberapa langkah kaki sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Makin lama semakin dekat. Langkah kaki itu tahu-tahu berhenti di depanku. Terdengar suara berbisik-bisik. Aku sengaja tidak mengangkat kepala, ingin mendengar apa yang akan orang-orang itu katakan.

“Eh, ini beneran Bima, kan?” ucap salah satu perempuan dengan nada mengejek. “Kok, dia di luar kelas, sih?”

“Sebentar, gue intip ke dalem,” balas salah seorang perempuan lain. “Oh… pantes aja. Pelajarannya Pak Burhan. Mana mau dia ngajar seorang pembunuh!” Kalimatnya begitu tajam terlebih pada kata ‘pembunuh’.

Puas mengatakan itu, mereka berlalu.

Dadaku langsung terasa sesak dan sakit mendengarnya. P-e-m-b-u-n-u-h. Ya, aku tidak salah dengar. Aku disebut pembunuh. Air mata seketika mengumpul dan meleleh tanpa mereka sadari. Kudekap kedua kaki erat-erat. Meratapi keadaan.

Aku bukan pembunuh.

Aku hanyalah kambing hitam.

Aku dijebak.

Namun aku tidak tahu siapa yang menjebakku.

Siapapun… tolong!

 

BERSAMBUNG












Quote:

Polling
0 suara
Pernahkah Agan atau Sista menjadi korban bullying?
Diubah oleh mukamukaos 24-04-2019 09:09
wanitatangguh93
a9r7a
nusatya12
nusatya12 dan 25 lainnya memberi reputasi
22
15.5K
131
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.