astian.rachmanAvatar border
TS
astian.rachman
Sebuah Pengorbanan
Sebuah Pengorbanan


#part_1





Arini membanting pintu kamar dan menguncinya dari dalam, meninggalkan Ibunya yang masih duduk teroekur di ruang duduk.


Dengan tangis tertahan, dia menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, menutup wajahnya dengan bantal dan menangis tersedu.


Mama jahat! Mama ga sayang aku lagi! Teriak Arini dalam hati. Tangannya meremas bantal kuat-kuat.


Mama sama saja dengan Papah yang juga tak menginginkan aku ada di hidup mereka! Rintihan Arini dalam isak yang tak lagi tertahan.


Sementara di ruang duduk, Hanna pun tengah berurai air mata. Perempuan berusia empat puluh tahunan itu menutup wajah dengan kedua tangannya, menyembunyikan isak yang tak lagi dapat ia tahan.


Maafkan Mama, Nak. Mama lakukan semua ini untuk kebaikanmu, untuk kebahagiaan kamu, untuk masa depan kamu. Rintihnya dengan hati perih.


Semua bermula ketika dia menghubungi ayahnya Arini, mantan suaminya yang sudah menikah lagi dan mempunyai tiga orang anak dari istri barunya.


Hanna merasa kesal karena Rian selalu saja memberikan berbagai alasan saat dia meminta biaya untuk sekolah dan untuk sehari-hari Arini. Sekalinya memberi, jumlahnya bahkan tak cukup untuk sekedar uang jajan Arini selama satu bulan. Apalagi untuk biaya makan, ongkos sekolah, buku-buku dan berbagai kebutuhan anaknya yang harus di belinya setiap bulan.


Biasanya Hanna tak pernah sekesal ini pada Rian. Berapapun yang Rian beri, Hanna tak.mempermasalahkan. Toh, dia juga punya penghasilan walau tak besar dan kadang hanya cukup untuk makan.


Hanya saja kali ini ada satu masalah yang mau tak mau dia harus meminta kebutuhan Arini seluruhnya pada mantan suaminya itu. Masalah yang Hanna tak ingin ada seorangpun yang tahu, sampai benar-benar jelas.


“Ya udah kalau kamu ga sanggup ngurus lagi Arini, biar aku yang urus! Lagian sebentar lagi Arini masuk SMP kan?” Ucap Rian via telpon.


“Bang, aku cuma minta dua atau tiga bulan ini Abang mengirim uang lebih buat Arini. Abang tanggung semua kebutuhan Arini perbulan karena aku sedang butuh uang. Setelah dua tiga bulan, ga pa-pa Abang mengirim semau Abang seperti selama ini,” akhirnya emosi Hanna tersulut juga mendengar ucapan dan nada suara mantan suaminya itu.


“Iya aku ngerti! Itu sama aja artinya kamu udah ga mau ngurus Arini kan? Bilang sama Arini bulan depan dia aku jemput, sekolah bersamaku, bersama adik-adiknya tinggal sama ibu yang mau mengurusnya dan tak mementingkan mencari uang!” Rian makin membuat emosi Hanna semakin naik


“Eh, bang, jangan sembarangan kalau ngomong! Kalau dulu Abang ga menelantarkan aku, aku bakalan tetap di rumah! Ga bakalan kerja cari uang buat makan!” Hanna setengah berteriak.


Untung saja saat itu Arini masih di sekolah sehingga dia tak mendengarnya.


“Dan tolong Abang pikirkan, kalau aku ga mencari nafkah, apa yang akan di makan Arini? Meminta-minta kepada orang lain? Atau minjem sana-sini tanpa tahu kapan Abang memberi uang buat membayarnya!” Lanjut Hanna dengan suara yang sengaja dia tekan begitu rupa.


Suara di seberang telpon terdiam. Hanya terdengar dengus nafasnya menandakan dia mendengarkan ucapan Hanna barusan.


Dan bukan Rian namanya kalau dia mau menerima kesalahannya. Dia tetap meminta Arini tinggal dengan dia, baru dia akan mencukupi kebutuhan Arini sepenuhnya.


Dan inilah akhirnya. Dengan hati berat, dia membicarakan masalah ini dengan putrinya. Mengatakan permintaan ayahnya Arini agar Arini mau tinggal bersama dia.


“Mama udah ga sayang sama aku?” Air mata Arini langsung berderai.


“Lho, kok kamu tanya begitu? Mama kan cuma tanya, kalau Arini tinggal sama papa, mau ga. Bukan karena Mama ga sayang sama Arini,” ucapnya lembut.


“Mama ga mau sama Arini lagi, Mama ga sayang Arini ….” Air mata Arini bertambah deras.


“Bukan begitu, Nak. Mama ga bakalan bilang iya sama papa Arini kalau Arini ga mau,” Hanna mencoba menjelaskan maksudnya.


“Lagi pula, coba Arini pikir. Di Jakarta itu rame. Ga sepi kayak di sini. Banyak mall, banyak bioskop, Arini bisa main kemana saja yang Arini sekarang ini hanya lihat di TV. Dan di sana semua kebutuhan dan keinginan Arini bisa Arini dapet dengan mudah.” Ucap Hanna.


“Kan Papah Arini lebih banyak uangnya di bandingkan Mama, Arini bakal makan enak tiap hari,” sambungnya lagi.


“Arini juga bakal ….”


“Pokoknya Arini ga mau ikut papa!” Arini memotong ucapan Hanna.


“Mama jahat, Mama ga sayang lagi sama Arini!” Teriaknya dengan air mata kian membanjir. Arini berdiri, menghentakkan kakinya dan berlari ke kamar dan membanting pintu kamarnya.


“Arini, buka pintunya, Nak. Mama ga bakalan biarin Arini tinggal sama papa kalau Arini ga mau,” Hanna mengetuk pintu kamar anaknya  setelah beberapa lama dia hanya tercenung sendiri.


Hanna akhirnya melangkah lunglai meninggalkan pintu kamar anaknya setelah beberapa lama berdiri terpaku dan pintu itu tak kunjung terbuka.


Dengan perasaan bercampur aduk, Hanna menjatuhkan tubuh letihnya di atas pembaringan. Perlahan, pandangannya kabur, karena matanya dipenuhi cairan bening yang mendesak keluar tanpa bisa ia tahan.


“Nak, seandainya kamu tahu apa sebenarnya alasan Mama memintamu tinggal dengan Papamu ….” rintih Hanna dalam hati.


Air mata itu akhirnya menetes, meluncur di pipinya, disusul isak tertahan Hanna.
Diubah oleh astian.rachman 27-03-2019 08:19
brina313
defriansah
Richy211
Richy211 dan 25 lainnya memberi reputasi
26
5.6K
86
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.