evywahyuni
TS
evywahyuni 
Kumpulan Pentigraf Karya Evy Wahyuni



emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower


Quote:


emoticon-Angelemoticon-Angel emoticon-Angel


Pentigraf Ke-satu #1

Senyuman Maut

Karya. Evy Wahyuni

Ningsih berjalan tertatih-tatih, menyusuri lorong gelap di sebuah kampung terpencil. Mata sendunya menatap jalang pada apapun yang lalu lalang di hadapan ketika telah tiba di depan lorong. Keinginan menggebu telah menanti untuk terpuaskan. Dahaga yang sungguh menyiksa.

Juwita, kembang desa yang masih belia itu terlihat dari jauh hendak melintasinya. Senyum merekah, mekar di kedua sudut bibir. Pertanda penantiannya akan segera berakhir. "Hai Juwita, lihat Aku!" serunya sebelum gadis cantik itu berlalu terlalu jauh.

Mendengar namanya disebut, ia segera menoleh. Senyuman Ningsih berdaya magis. Juwita tak berdaya ketika Ningsih menarik tangannya masuk ke dalam lorong gelap itu. Tak berapa lama kemudian, dari mulut lorong itu keluarlah seorang gadis cantik berparas sendu. Ningsih tersenyum bahagia.

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-dua #2

Kampung Baru

Karya. Evy Wahyuni

Hari telah beranjak petang. Kuhapus peluh yang membasahi dahi. Perjalanan ke kampung ini ternyata cukup melelahkan. Setelah turun dari bus di pinggir jalan tadi, aku harus berjalan kaki lagi agar segera tiba di sini. Beberapa warga tampak menatapku dengan pandangan aneh. Penampilan ala-ala kota jelas menyolok di mata mereka yang hanya penduduk biasa. Namun, pandangan aneh mereka tak perlu ditanggapi terlalu jauh. Bergegas langkah menuju rumah yang kutuju.

"Betul ini rumah Pak Kasdi? Saya menerima undangannya minggu lalu dan baru bisa datang ke mari," ujarku, setelah memberi salam pada seorang lelaki aneh yang tengah duduk di ruang tamu. Tatapannya pun aneh. Lalu dengan ramah menyuruh duduk di salah satu kursi yang ada. Tak banyak tanya kuurai, malam telah lebih dulu menyapa.

Ada yang aneh pada kampung ini, jumlah penduduknya lumayan sedikit untuk sebuah ukuran kampung. Kerlingan orang-orang yang tadi kutemui pun tampak tak biasa bagiku. Entahlah ... aku harus berdoa banyak-banyak malam ini. Agar besok pagi tak kutemukan jasadku di liang tanah belakang rumah Pak Kasdi.

Tamat.


emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-tiga #3

Sepucuk Surat

Karya. Evy Wahyuni

Dila tersenyum menatap taman bunga yang berada di samping rumah, dulu taman itu dibuat oleh Jay, suaminya. Sebagai wujud rasa cinta katanya, karena Dila sangat menyukai bunga. Sehingga di kala sedang merindukan Jay yang telah dua tahun bertugas di daerah lain, maka ke taman itulah ia melabuhkan rasa rindu pada sosok lelaki bertanggung jawab itu.

Masih dalam buaian kenangan yang melarutkan asa, tiba-tiba Bik Suri menghampirinya. "Maaf Bu, nih ada surat dari Pak Pos." Begitu menerima surat itu, Bik Suri pun berlalu. Dila menatap surat bersampul cokelat yang ditujukan ke alamatnya. Tak sabar, surat itu segera ia buka, seketika senyum keceriaan itu langsung memudar, berganti pucat pasi, dan keterkejutan yang luar biasa.

Sepucuk surat cerai dikirimkan oleh Jay! Air mata menetes tanpa diminta. Tangan pun bergetar kala membaca isi surat itu. Terjawab sudah kegelisahan selama ini, ternyata suaminya bermain api di belakangnya. Ada rasa tak rela, cinta yang baru terasa indah kini harus pupus dalam sekejap. Tak ingin menyalahkan takdir, mungkin sudah begitulah jalan hidupnya.

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-empat #4

Takdir yang Sama

Karya. Evy Wahyuni

Aku masih termenung di sini, di pinggir jalan dekat rumahmu. Suasana malam yang lengang kian menambah kekalutan nalar, nyanyian jangkrik saling bersahutan di balik kios yang lapuk makin menambah beban pikiran. Namun, aku menikmati iramanya, ikut bersenandung bersama, meski tak tahu lagu apa yang sedang hewan itu nyanyikan. Seakan membawaku sepuluh menit yang lalu saat masih duduk di beranda rumahmu.

"Maafkan aku, Bang. Ayah telah menjodohkanku dengan anak sahabatnya. Aku menerima, karena tidak mau dianggap anak durhaka, Bang," katamu diselingi derai tangis yang membanjiri kedua pipi halus itu. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, kuasa orangtua lebih mengikat dirimu dibandingkan dengan ikatan kasih yang telah kau dan aku sepakati bersama selama ini.

Kulepas dirimu tanpa harus menghadirkan rasa kecewa. Walau untuk saat ini, tak ada yang bisa menggantikan posisimu di hati, setidaknya ada kejelasan. Melepas ikatan cinta demi suatu ikatan yang lebih sakral di mata Tuhan, karena aku tahu takdir selalu memihak kepada siapa yang rela menerima kenyataan. Seperti saat ini, minggu depan akan datang sahabat ibu dari pulau seberang. Berkehendak pula menjodohkan aku dengan anak gadisnya yang pernah menjadi teman masa kecil saat masih tinggal bersama di panti asuhan.

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-lima #5

Berani

Karya. Evy Wahyuni

"Ayo Rudin, kamu pasti bisa!" seru ayah ketika pertama kali mendorongku naik ke genteng untuk mengambil buah mangga yang pas berada di atas genteng samping rumah.

Kata-kata itu terus terngiang di telingaku hingga kini, kala ada hal yang harus kulakukan. Mengadu nyali, memberangus rasa pengecut. Menjadikan jiwaku menjadi sosok yang tanpa takut.

Seperti malam ini, kukumpulkan keberanian menyatu di aliran darah. Tekad membulat, harus bisa menyelesaikan satu PR yang terbengkalai sejak lama. Menyatakan cinta pada Azizah, tetangga lima langkah dari rumahku.

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-enam #6

Tua-tua Keladi

Karya. Evy Wahyuni

Kau tampak lelah. Tubuh rentamu seperti sudah tak bisa menopang langkah-langkah yang kian tertatih. Kau telah menua, akan tetapi jiwamu masih tampak sangat kehausan, akan hadirnya seorang dara jelita pujaan hati.

Langkahmu kini berhenti. Tiba-tiba ada yang menarik perhatian kedua netra yang kian rabun. Kau menyeringai senang, merasa puas akan titik pencarian yang kini berujung di depan mata.

Kau memegang bahu sang dara jelita yang tampak terkejut. Tawa berkumandang mengisi ruangan pengap itu. "Akhirnya aku menemukanmu, cucuku. Kakek lelah. Ayo, berhenti main petak umpetnya, ya?"

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-tujuh #7

Kisah Sedih Di Sabtu Malam

Karya. Evy Wahyuni

Malam ini, udara begitu dingin menyapa pori-pori kulit. Menembus pertahanan tubuh yang hanya berlapis sweaterdan gelungan sarung bali di leher. Cuaca memburuk sejak sore tadi, menyisakan butir-butir gerimis yang kian halus menetes di bumi. Suasana senyap, para penghuni rumah merasa lebih aman berada di balik selimut. Namun, tidak denganku.

Aku masih betah duduk di beranda. Menunggu dirimu yang beberapa jam lalu berjanji hendak bertemu di rumah, sekilas kulirik jam di pergelangan tangan kanan, sudah pukul 21.15 WITA. Ini sudah terlalu lama, entah kemana gerangan dirimu?

Gerimis perlahan mulai menjelma menjadi titik-titik hujan, aku terlena oleh iramanya. Tak sadar tepukan ibu di bahu kembali menyadarkanku. "Mira, masuklah, Nak. Tiada guna menunggu seseorang yang telah lama berpulang ke pangkuan Tuhan." Sakit hatiku mendengar kata-kata itu, perih. Aku belum rela kau tinggalkan pada kecelakaan yang menimpamu 3 bulan yang lalu.

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-delapan #8

Bus Sekolah

Karya. Evy Wahyuni

Bus itu terlihat lagi! Ia melewati jalanan kompleks rumahku. Ah, aku tak sempat melihatnya karena sedang berada di dalam rumah. Padahal biasanya bus itu selalu kutunggu lewat hampir setiap hari. Entah mengapa hari ini ia terlambat melintas.

Ayah yang sedari tadi mengawasi, menghampiri dan memeluk hangat tubuhku. Ia pun menarikku menjauhi jendela dan membawaku ke luar halaman, menikmati indahnya cahaya sinar matahari di pagi hari.

"Maafkan Ayah, Nak. Gara-gara Ayah, kini kedua kakimu harus di-amputasi." Ayah kembali melagukan kata-kata yang tiap hari ia ucapkan, sebuah penyesalan yang tidak ada gunanya. Toh, sekarang aku lebih bergantung pada kursi roda ini.

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-sembilan #9

Danau Biru

Karya. Evy Wahyuni

Hamparan air terpampang di hadapan, danau ini teramat sangat indah. Beberapa tumbuhan liar justru makin menambah keindahan danau itu. Aku larut dalam imajinasi, merangkai bentuk keindahan semu. Tak kupedulikan teriakan orang-orang di belakangku. Jembatan ini masih terlalu lama kutiti.

Sesaat seketika menjadi begitu damai, aku seperti melayang-layang diantara mega di angkasa. Pesona danau ini begitu melenakan hasrat, membentuk sebuah fatamorgana abadi, begitu mendamaikan jiwaku yang luntang-lantung karena kekecewaan karena sebuah pengkhianatan cinta.

Esok hari, sekitar danau ramai oleh riuh gempita warga yang berdatangan berebut ingin menyaksikan sesuatu yang tiba-tiba menggemparkan, padahal hari ini adalah hari Senin. 'Kenapa tidak dari kemarin saja, kalian datang?' bisikku lirih. Tim SAR telah berhasil mengevakuasi jasadku yang ditemukan tenggelam terkait di dasar danau.

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower



Pentigraf Ke-sepuluh #10

Jingga Di Pucuk Senja

Karya. Evy Wahyuni

Kau ayunkan langkah menuju matahari tenggelam. Menapak jalan bebatuan, tak beralas kaki, terasa ringan tanpa beban. Kau terus menatap satu titik di sana, di batas penglihatan kala senja kian menyiratkan jingga di tepi pantai.

Tiada yang menyangka! Senyum dibibir tipis itu hanyalah sebuah kamuflase. Hanya hiburan bagi wajah-wajah yang menyapa, walaupun sebenarnya ada sesuatu yang kau sembunyikan di balik keping hati yang kini menganga luka.

"Aku menyukai hari dikala senja, membawa burat jingga yang kusuka." Itu katamu, selalu. Tak ada yang mengira, setahun yang lalu kala hari akan berganti malam itulah saat terakhir kau mengubur kekasihmu di bawah pasir putih pantai nan indah itu.

Tamat.

emoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-floweremoticon-flower


Diubah oleh evywahyuni 21-04-2022 05:00
aneskafiarterbitcomytvolcom77
volcom77 dan 49 lainnya memberi reputasi
48
36.2K
341
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.