Aku tidak bermaksud menulis ini untuk melebih-lebihkan suatu peristiwa. Kau tahu, terkadang hanya untuk mengungkapkan beberapa patah kata aku membutuhkan satu halaman penuh. Tersebab aku tidak pandai melisankan segalanya, jadi aku perlu menuliskannya.

Aku tidak ingin bertele-tele. Sungguh. Namun, ini sangat sulit kukatakan. Karena di balik satu pernyataan akan muncul pengakuan-pengakuan yang lainnya. Oh, astaga! Bahkan untuk mengucap kata maaf pun aku tak sanggup. Bagimu mungkin aku orang yang sangat payah.

Mianhe. Sorry. Sepurane.Maafkan aku!

Maaf karena selama ini aku mengabaikanmu. Tidak mendengarkan perkataanmu. Maaf karena aku begitu bodohnya berdiri sendirian di tepi telaga, tidak mendengarmu berteriak dari seberang. Kau memintaku agar tidak melompat karena tahu aku tidak akan selamat dan lagipula, apa yang sedang kucari di dasar telaga itu?

Maaf karena aku berpura tidak mendengarmu, tidak mengacuhkanmu dan merelakan diri melompat hanya karena penasaran apa yang sebenarnya ada di dasar telaga itu. Apa yang sebenarnya kulihat berkilauan dari permukaan padahal kau bersikeras tak melihatnya.

Seperti yang telah terjadi, aku tetap melompat dengan cukup nyali dan mengabaikan batasan-batasan serta peringatan keselamatan. Kau tahu, saat memutuskan untuk menceburkan diri, aku telah bersiap untuk tenggelam. Aku akan menanggung semua konsekuensinya dengan satu keyakinan : menemukan sumber cahaya jauh di dasar sana.

Aku perlu menceritakan kepadamu bahwa aku baik-baik saja saat itu. Air telaga itu menyejukkan dan aku terbuai. Aku perlu menyelam sampai ke dasar untuk mengetahui apa yang sebenarnya berkilau di bawah sana.

Bodoh dan ceroboh kurasa. Telaga itu sangat dalam dan menguras tenaga. Aku hampir kehilangan udara dan dada semakin sesak ketika mendapati kenyataan bahwa sama sekali tidak ada apapun di bawah sana. Aku hanya menemukan seonggok sampah dengan bau busuk yang menyengat. Tidak ada yang berkilau atau apapun itu. Tak mempercayai mataku, aku mengubek semua sampah demi menemui secercah pengharapan. Aku terus mencari sementara kau sudah berhenti berteriak di atas sana. Mungkin kau menyerah dan pergi.

Belakangan aku menyadari ada yang keliru dengan keyakinanku sendiri. Aku menemukan kebenaran setelah hari beranjak gelap. Cahaya itu mengilang. Kini aku tahu, yang berkilauan itu tidak berasal dari dasar telaga atau pun dari tumpukan sampah. Ia adalah pantulan sinar matahari. Ia hanya membias di permukaan dan menipu pandanganku.
Ketika matahari pergi, maka cahaya itu ikut lenyap.

Kawan, kini aku kembali setelah menemukan cara menuju permukaan. Aku datang kepadamu sebagai bentuk penyesalan. Aku tahu, selama ini terlalu arogan dan mengabaikan pendapat orang lain. Aku telah memutuskan untuk mengakui kebodohan, kesalahan dan semua keegoisanku. Kau boleh menertawai tetapi jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku. Aku tahu telah melakukan hal yang menyimpang, dan pernah mengatakan bahwa aku tidak butuh diselamatkan. Kini aku menyembuhkan diri sendiri.

Kau tahu, kembali ke jalan yang lurus bukan perkara yang mudah. Apalagi aku adalah orang yang rapuh dan mudah terpengaruh. Maka, dampingilah aku, tuntunlah aku untuk melihat kebenaran dengan benar. Sekali lagi, maafkan aku.

Nah, kini aku lega setelah mengakui kebodohan sendiri. Kau tentu ingat dengan kalimat yang pernah kutulis beberapa waktu lalu :

'Memilih jatuh untuk mendapatkan kebahagiaan.'

Mungkin itu akan berlaku lagi kali ini.

'Mengakui kebodohan untuk mendapatkan kebahagiaan.'

Kau mungkin perlu tahu ungkapan ini :