astian.rachman
TS
astian.rachman
KUMPULAN KISAH
Kisah Sang Bayu

Oleh : Astian Rachman



“Aku rindu,” bisiknya nyaris tanpa suara.


Ah, lagi-lagi itu yang dia ungkapkan. Tentang perasaannya pada seseorang yang menjadi bagian masa lalu, tentang harapan yang hampir mustahil untuk di wujudkan.




“Tidakkah kau lelah selalu merindu padanya? Pada masa lalu yang yang membuatmu pilu dan terpuruk?” Aku menatapnya iba.


Dia menghela napasnya yang terdengar berat. Menepiskan sekuntum bunga mungil berwarna ungu yang sengaja aku jatuhkan di kepala berhijab ungu itu.


“Aku ingin ungkapkan perasaanku padanya, tapi … entah apa aku akan berani menghadapi kenyataan, bila hatinya tak merasakan hal yang sama,” samar kembali kudengar suaranya.


“Bukankah itu lebih baik, daripada kau pendam rasa yang mungkin juga dia merasa?” Aku berseru gembira.


Dia mengetatkan baju hangat yang dikenakannya saat aku bergerak mendekat.

Wajah sendunya menengadah menatap gemintang yang menggantung di langit biru kelam, berteman purnama yang hanya tinggal separuh.


“Apa yang harus aku lakukan? Mengungkapkan rasa ini, atau menyimpannya saja?” Bibir mungil itu terlihat gemetar. Entah karena terbawa perasaan, atau menahan gigil saat kabut perlahan mendekat, mulai memeluk erat.


Aku merasakan resah dalam galau bisiknya. Tatap mata yang mulai kabur oleh bulir bening, menatap gemintang seperti memohon kekuatan.


Dia masih berdiri meski senja telah berubah muram, tanpa warna jingga di ufuk barat. Hanya kumpulan awan kelabu dan kabut yang membuat senja semakin kehilangan keindahan.


“Mempertahankan rasa, dan memutuskan untuk menunggu itu ternyata sungguh melelahkan … hhhh!” Kembali kudengar bisiknya parau.


Aku mendekat, membuatnya semakin erat memeluk tubuh dengan kedua tangan yang biasanya cekatan mengerjakan sesuatu, namun kini seakan lelah tak bertenaga.


Ah, begitu dahsyatnyakah yang di namakan cinta? Sepertinya, dia bisa menghilangkan senyum dari wajah yang selalu ceria. Tetapi bisa mendatangkan tawa pada saat tak terduga.


Seperti pada dia, wanita yang tak lagi muda tetapi mempunyai semangat dan harap yang membuncah dalam dada.


Entah berapa purnama menyapa, saat dia tenggelam dalam lautan duka. Sepertinya hidup tak selalu mudah untuk dia lalui.


Aku melihatnya berlinang air mata saat satu demi satu nama ia bisikan dalam ucapan selamat tinggal. Sepertinya nestapa itu tak mau beranjak saat dia memetik beruntun bunga yang akan di tenarnya diatas pusara orang-orang yang begitu membuatnya tegar menjalani terjal dan badai kehidupan.


Hanya saja, dia akan segera menghapus tirta yang kerap menganak sungai di pipi lelahnya, saat sebuah senyum manis dari sesosok gadis kecil cantik mengapa. Seperti memberi kekuatan sekaligus obat penyembuh luka yang sungguh mujarab.



Entah berapa kali aku melihatnya bermuram durja, meneteskan air mata tanpa suara. Hanya satu kata yang selalu aku dengar dia gumamkan dengan sepenuh rasa tentang seseorang yang sama : 'rindu,’


“Atau, haruskah ku ucap selamat tinggal?” ucapnya dengan tangan gemetar memetik sekuntum mawar jingga yang mulai layu terkulai.


“Sebesar itukah lukamu karena menunggu?” tanyaku dalam desir yang membuat dedaunan melambai perlahan.


“Ah, mungkin memang semua salahku. Dia yang datang mengobati luka, tak bermaksud untuk tinggal dan mengusir lara,” bisiknya perlahan, “hanya sebuah rasa perduli pada sesama, karena kebaikan hatinya yang juga pernah merasa kecewa,” ucapnya lagi pada mawar yang kembali dia petik perlahan.


“Hanya saja, aku terlanjur merasa nyaman dan berharap dia bukan hanya menyeka luka, tapi membebatnya dengan kasih sayang, dan tak membiarkan aku kembali merasa kecewa.” Dia menarik napas berat.


“Aku tak akan rela melepaskan harap dan asa padanya, tapi aku tahu tak dapat memaksa cinta hadir di hatinya untukku,” wajah itu menunduk, sendu.


“Aku akan tetap berharap dan menunggu, biar takdir-Nya yang memutuskan, membawanya kepangkuanku, ataukah dia labuhkan hatinya pada seseorang, walau aku tahu itu akan lebih menyiksaku,” ucapnya dengan suara mulai tegar.


Aku mendekati, mengusap wajah layunya yang terpejam. Berharap memberinya kekuatan meski hanya dengan hembusan lembut.


Dia menyunggingkan senyum saat matanya terbuka.


“Bukankan setelah malam, pagi akan kembali datang? Aku akan menabur harap di setiap malam, semoga besok pagi asaku akan menjelang,” ucapnya pasti.


Kemudian kakinya melangkah pasti, meninggalkan rumpun mawar yang bermejaran dan mulai layu, tetapi di pucuk-pucuknya mulai tersembul muncul-muncul baru, menunggu giliran untuk mekar, mewarnai dunia yang kuharap lebih indah untuknya, untuk perempuan berwajah sendu, yang kerap kutemani kala air mata tak henti mengalir di pipi.



End


Kaki gunung Papandayan, 24022019




Diubah oleh astian.rachman 03-03-2019 04:03
Raeinnanasabila
anasabila dan Raeinn memberi reputasi
12
2.1K
21
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.