royani1975Avatar border
TS
royani1975
Cerbung, Cinta & Jodoh Adinda

Quote:


 
Part : 1
 
Siang yang terik. Di depan teras kelas yang berhadapan lurus dengan tempat upacara, Adinda duduk merenung memandang kosong. Mulutnya terlihat mengunyah kue martabak gagal, bikinannya tadi pagi sebelum berangkat sekolah.

Itu adalah sebentuk kekonyolan Adinda, bila hatinya sedang resah dan pikirannya kacau. Tepung, minyak goreng, gula pasir dan macam-macam bahan kue milik ibunya, habis diacak-acak. Tak tahu rasa makanan nanti akan jadi apa, gadis itu tetap cuek tak peduli dengan omelan sang ibu.

Kebiasaannya itu bermula, dari seringnya membantu usaha katering milik Buleknya yang bernama Yati. Dia tak ikut memasak, melainkan hanya membantu membungkus makanan dan mengantarkan kepada pemesan. Itupun jika dirinya benar-benar senggang tak ada yang memakai tenaganya usai pulang sekolah.

Seperti hari ini. Dia ke sekolah membawa kue. Di saat yang lain masih terlelap tidur, Adinda bangun dan langsung membuat dan membawanya ke sekolah.

Matanya masih memandang hampa teman yang hilir mudik berjalan di sekitar dirinya. Dia hanya melirik sebentar dan mengangguk saat disapa. Hingga beberapa saat kemudian, tanpa sadar kini netra itu berkaca, ingat pertengkarannya dengan sang ibu Wulandari kemarin sore.

Wanita itu marah besar, saat mengetahui Adinda masih meneruskan impiannya menjadi seorang desainer. Sketsa yang telah susah payah ia buat, dibakar semua olehnya. Dan Adinda hanya bisa pasrah memandang semua kerja kerasnya dimusnahkan tak mampu melawan.

‘’Ibumu ini dulunya mantan penjahit. Dan lihat sekarang jadi apa? Judulnya ya tetep pergi ke sawah, nanem padi bantu bapakmu, ‘’katanya sambil menatap tajam Adinda. ‘’Wong sudah dibilangin, kamu sekolah aja yang bener, terus nanti kuliah, setelah lulus daftar CPNS, hidupmu terjamin. Setiap bulan terima gaji ada juga dana pensiun, eh ini kok malah aneh pengen jadi tukang jahit.’’

‘’Tapi ini beda Bu? lain, ‘’bantah Adinda menahan isak memandang satu persatu jerih payahnya berubah jadi abu, padahal dia merencanakan ingin menjadikannya sebuah baju sebab saat ini dirinya sedang giat menabung. Dari uangnya nanti, dia bermaksud membeli mesin jahit untuk mempermudah proses belajarnya.

‘’Beda apa? Tukang jahit ya tukang jahit, masak bisa berganti jadi direktur. Ngaco kamu!’’ jawab Wulandari kesal, ia keluar kamar Adinda sambil membanting pintu. Mulutnya masih terdengar mengomel, berjalan menghampiri Kusumo yang saat itu sedang duduk di meja makan. Segelas kopi hitam yang tadi dibuatkan Adinda tampak mengepul panas.

‘’Bune jangan galak-galak to sama anaknya. Kasihan, dia itu udah jadi anak gadis enggak kecil lagi. Malu didengar tetangga, disangkanya Dinda melakukan salah apa. Lha wong itu impian yang bisa bikin hidup anakmu bahagia, ya biarin saja. Sebagai orang tua mengarahkan yang baik dan mendoakan. Bukan justru mengentahkan usahanya.’’

‘’Terus bela terus dia, biar tambah besar kepala.’’ Wajah Wulandari bersungut-sungut menanggapi ucapan suaminya.

‘’Eh, ya sudah! Jangan salahkan dia kalau anak gadismu nanti tambah ngawur kelakuannya. Tunggu saja dan lihat dia mau bikin ulah apalagi setelah ini, selama tidak kau ijinkan.’’

‘’Eh, kamu membela anakmu ya Yah, dan sekarang mengancam?’’

Kusumo tak meladeni ucapan Wulandari. Dia memilih pergi meninggalkan meja makan, menyisakan gelas kosong.

Ia ingin balik lagi ke sawah, tapi sebelumnya ia mendatangi kamar Adinda. Terlihat gadis itu tengah menangis, mukanya ditutupi bantal. Begitu menyadari kedatangan sang ayah, iapun menoleh dan langsung memeluk erat.
 
‘’Yah, Dinda pengen kuliah di jurusan itu besok setelah lulus SMU. Dinda pengen jadi desainer, seperti orang-orang yang masuk tivi itu. ‘’ ucapnya terisak.

‘’Jika kamu yakin bisa, berusahalah memperjuangkan. Sabarlah! Bila di mata ibumu ini salah, kamu perlu membuktikannya bahwa yang selama ini yang ia takutkan itu tidak benar sama sekali. Sekarang rajinlah belajar, tinggal 3 bulan lagi kamu lulus ‘kan?’’

Adinda mengangguk.

‘’Jadi ayah mendukung Adinda?’’ mata gadis itu mulai berbinar.

‘’Iya, Nak.’’ Kusumo mengelus lembut kepala anak gadisnya.

Hanya ayah dan kakaknya Bagus yang setia mendukung impian Adinda, sedangkan kakak kembarnya yang lain yaitu Bagas tidak begitu antusias, meski dalam hati juga tetap mendukung keputusan sang adik. Namun ketiganya sepertinya harus mengalah oleh kemauan Wulandari yang keras menentang cita-cita Adinda.

**

‘’Hey kok melamun?’’ suara William membuyarkan lamunan Adinda. Gadis itu menoleh dan tersenyum kecut menanggapi pemuda tampan yang hampir 3 tahun ini selalu berada di dekatnya.

William menatap mata Adinda. Ia bisa menebak pasti gadis ini tengah menyembunyikan sesuatu. Bertahun lamanya selalu berada di dekat perempuan itu, dirinya hapal benar perilaku Adinda.

‘’Kenapa hanya memandangku? Kamu mau?’’ Adinda langsung menyodorkan tupperware yang masih berisi kue.

‘’Kelihatannya enak nih. Bolehlah.’’ Tangan William mengambil kue, mencoba membuat hati gadis di depannya senang, baru kemudian mencari tahu apa yang sebenarnya, mengapa dia terlihat berbeda siang ini. Namun saat hendak memasukkan makanan ke mulut, 5 orang temannya datang mendekat.

‘’Makan ape loh, enggak bilang-bilang. Sini minta!’’ ucap Surya merebut kotak, maka tanpa menunggu komando teman yang tadi mengikutinya dan saling berebut.

Adinda tersenyum melihat kelakuan para sahabatnya yang kelaparan.

‘’Miskin kita Nek, uangnya udah abis tadi buat ngisi kas sekolah yang ngutang seminggu, ‘’kata Surya sambil mengunyah kue.
Baik Adinda maupun William keduanya tertawa.

‘’Enak ya?’’ Adinda mendekatkan wajahnya memperhatikan mulut Surya yang tengah makan.

‘’Hooh.’’

Mendengar jawaban itu, sekilas Adinda tampak berpikir keras.

‘’Kalau enak, gimana jika besok pagi aku berjualan. Pada mau beli enggak?’’

‘’What?’’ jawab mereka serempak termasuk William.

‘’Iya, sekolah di SMU aku sudah bosan enggak kuat lagi, pengen cepet lulus?’’

‘’Terus apa hubungannya dengan tadi kamu jualan? Bukannya selama ini kau udah dapet duit dari tetanggamu yang memakai jasamu, apa masih kurang?’’ tanya Surya.

‘’Aku makin bingung sama kamu Din, sekolah kita bentar lagi lulus. Kamu sabar saja. Terus uangmu kalau terkumpul mau kau buat apa?’’ William bertanya serius. Ternyata ini masalahnya? Tebak William dalam hati, gegara tak betah sekolah di sini? Batinnya.

Duh Adinda! Tidak tahukah kau, bahwa aku sangat bahagia bisa mengenalmu? Lalu tega sekali dirimu berkata demikian? William meremas tangannya. Pikirannya seketika kacau saat mendengar Adinda membuat pengakuan yang mengejutkan untuknya maupun Surya.

Tiba-tiba kepala William terasa sakit. Selama ini ia bersemangat sekolah karena Adinda, hingga sukses meraih rangking kelas, tapi mengapa Adinda berkata seperti itu padanya?

‘’Nanti kuberitahu untuk apa uang itu. Jujur aja, aku terpaksa sekolah di sini.’’

‘’Kok gitu?’’ Wajah William berubah datar menahan kecewa di hati. Hal yang sama juga terjadi pada Surya. Sementara keempat teman lainnya telah pergi meninggalkan mereka bertiga, setelah makan kue pemberian Adinda tadi.

‘’Aku dulu pengen masuk SMK ambil jurusan tata busana, ingin jadi desainer. Eh, oleh ibu malah disuruh ke SMU. Kalian tahu eNggak penderitaanku selama bertahun-tahun, nyesek banget tauk.’’

‘’Tapi kalau seandainya kamu enggak sekolah di sini, tak mungkin ‘kan kami jadi sahabatmu. Jadi apakah  kamu seratus persen menyesal kenal kami berdua?’’ tanya Surya terlihat serius. ‘’Apalagi William nih yang tampak sangat terluka mendengar ucapanmu?’’ Matanya melirik sang sahabat lalu tersenyum.

Surya tahu benar bagaimana perasaan kawannya ini yang tergila-gila dengan Adinda. Akan tetapi entah mengapa sikap Adinda juga sukar ditebak.

‘’Idih…apaan sih kok jadi baper? Aku curhat malah salah paham semua.’’ Wajah Adinda cemberut.

William dan Surya tertawa menanggapi ekspresi muka Adinda. Meski dalam hati William masih menyimpan rasa kecewa setelah pengakuan tadi. Namun di depannya ia mencoba menampakkan wajah semringahnya.

Gadis ini memang tomboy dan tergolong terbuka pada siapapun, tak peduli apakah nanti akan kembali jadi bahan pergunjingan orang setelah curhat ataukah tidak. Ia tak peduli. Baginya, mungkin terpenting  bisa bicara melepaskan keluhannya, itu sudah lebih dari cukup.

Selain itu Adinda sesungguhnya wanita cerdas, sekaligus pula unik berbeda dengan gadis lain. Ulah Adinda bisa membuat hati sebagian orang merasa gemas, bila mendengar celotehnya, jika sedang protes terhadap sesuatu. Namun kali ini di depan sang ibu, sepertinya dia harus mencari akal lebih banyak lagi agar mimpinya mendapat restu.

**

Pulang sekolah, wajah Adinda masih ditekuk. Rumah dalam keadaan sepi, ayah ibunya belum kembali dari sawah.Untung di saku tas selalu tersedia kunci rumah dobel, jadi tak cemas tidak bisa masuk ke dalam.

Begitulah, rumah Adinda memang sering sepi kala pagi hari. Seluruh penghuninya pergi semua menyibukkan diri. Adinda ke sekolah, kedua kakak kembarnya pergi berkerja di kantor masing-masing sedang kedua orang tuanya meladang. Jadi secara otomatis rumah jarang berpenghuni, kecuali pas hari libur saja, mereka bisa berkumpul, dan itu juga bukan jaminan, sebab mereka semua terkadang sering pula disibukkan oleh berbagai kegiatan lain di luar aktifitas rutin.

Begitu pintu berhasil dibuka, Adinda langsung berjalan menuju kamarnya. Melepas baju seragam sekolahnya dan menggantinya dengan kaus putih pendek serta celana jeans ¾ kaki. Rambutnya yang basah oleh keringat cukup dilap ringan, dia bermaksud ingin ke dapur untuk makan siang.

Namun pada saat ia berjalan dan telah sampai di depan pintu kamar Bagus, ia mendapati ruangan itu terbuka. Rupanya tadi pagi sang kakak lupa menutup pintu sebab buru-buru. Sedikit heran, sebab sang kakak terkenal dengan orang yang sangat teliti, mengapa sekarang lupa menutup pintu?

Entah magnet apa yang menarik rasa penasaran hati Adinda, karena tak biasanya ia memasuki kamar pribadi Bagus, siang ini ia iseng masuk. Ruangan itu sangat rapi. Terlihat jelas bahwa sang kakak menyukai kerapian meskipun lelaki, berbeda dengan kamarnya yang berantakan. Itu sebabnya dirinya kerap ditegur Bagas dan Wulandari.

Di depan meja kerjanya setumpuk buku dan majalah tersusun teratur. Bagus senang membaca, dan berlangganan beberapa koran dan majalah. Di samping itu pula sering diketahui membeli banyak buku baik secara online ataupun online.

Dari keisengan itu tanpa sadar diikuti adiknya Adinda. Bahkan terkadang paketan buku belum dibaca sang kakak, dia sendiri yang terlebih dulu menandaskan isinya. Dan anehnya Bagus juga tak merasa keberatan, justru merasa senang adiknya ikut membaca, karena memang pada dasarnya ia sangat menyayangi dan memanjakan. Sikapnya tak pernah kasar selalu lemah lembut bila menasihati Adinda, karena gadis ini sedikit segan pada dirinya.

Pandangan Adinda terus menyisir ke seluruh isi ruangan. Dia berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan pelipur lara, sebab omelan ibunya kemarin sore. Dan ternyata benar.

Matanya tertumbuk pada sebuah majalah milik Bagus. Tentang gadget dan IT. Adinda tersenyum dalam hati. ‘’Siapa pula yang mau baca.’’ Tangannya kembali meletakkan di meja.

‘’Capek ah, entar aja ngobok-obok kamarnya lagi. Mau makan dulu, laper.’’

Adinda membalikkan tubuh dari meja kerja Bagus, tapi tiba-tiba mata indahnya menangkap sesuatu. Sebuah figura yang tergantung di samping jendela kamar, mengingatkannya pada seseorang di masa lalu.

‘’Mas Trisno?’’ gumamnya.

Adinda menatap sebuah bingkai foto yang terpasang di sana. Di sana kedua kakak kembarnya Bagas dan Bagus sedang berdiri memamerkan senyum, mengapit seorang pemuda yang tak kalah tampan bernama Trisno. Potret itu diambil hampir 5 tahun lebih saat ketiganya lulus SMU dulu, sesaat sebelum Trisno pergi mengikuti sang papa yang pindah dinas ke lain kota.

Trisno merupakan anak seorang pegawai pengairan kabupaten. Berpuluh tahun lalu papanya pernah menetap di kampung yang sekarang didiami Adinda dan keluarganya. Pada waktu itu Trisno masih dalam kandungan mamanya.

Mereka bertetangga dekat. Rumah yang sekarang ditempati Buleknya Yati untuk membuka bisnis katering adalah rumah bekas keluarga Trisno yang dijual.

‘’Sekarang Mas Tris wajahnya seperti apa ya? Masihkah tetap sama ataukah sudah berubah?’’

Adinda tersenyum geli, bila mengingat kenangannya dengan pemuda itu semasa kecil. Hingga saking akrabnya mereka berempat seperti layaknya saudara kandung. Bahkan Trisno sendiri telah menganggapnya sebagai adik.

Masa kecil Adinda boleh dikatakan sempurna. Ayah ibunya petani gigih, hingga berkat usahanya mampu mengantarkan kedua kakak kembarnya kuliah tinggi dan menjadikannya pegawai negeri. Karenanya tak salah jika ibunya menuntut dirinya hal yang sama, mengikuti jejak sang kakak. 

Ada beberapa menit Adinda mengingat kenangan masa kecilnya dengan Trisno, sebelum kemudian ia melangkahkan kaki bermaksud meninggalkan kamar. Tapi mendadak dia menghentikan langkahnya. Bunyi sms dari ponsel Bagus yang tertinggal di atas meja mengejutkan Adinda.

‘’Kemana sih Mas Bagus, atau jangan-jangan dia tadi sudah pulang dan pergi lagi? Waduh bisa bahaya nih, kalau ketahuan aku masuk ke kamarnya tanpa permisi’’. Adinda berjingkat ingin pergi, tapi rasa penasaran menariknya untuk membuka smartphone Bagus.

Mas Tris? Matanya membulat ingin keluar. Pemuda itu mengabarkan bahwa dalam waktu dekat akan berdinas di kotanya, tepatnya di rumah sakit kabupaten. Seketika hati Adinda menjadi girang, tak sabar rasanya ingin sekali bertemu dengan pemuda itu.

Entah perasaan apa yang kini berubah dalam jiwa Adinda. Mengetahui kabar itu hatinya jadi teramat senang dan bahagia. Akan tetapi seolah teringat sesuatu, Adinda tertunduk lesu.

Adinda duduk lemas di tepi tempat tidur Bagus. Lenyap sudah rasa laparnya gegara iseng masuk ke kamar itu dan menemukan kabar tentang Trisno. Wajah tersebut pucat, tubuhnya bergetar hebat manakala menyadari keadaan dirinya selama ini.

Bersambung 
trifatoyah
rykenpb
someshitness
someshitness dan 11 lainnya memberi reputasi
12
6.6K
65
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.