HBS2307Avatar border
TS
HBS2307
Pendakian Gunung Argopuro
Kisah pendakian ini udah lumayan lama. Sekitar bulan Desember tahun 2008. Banyak sekali kenangan indah, lucu, dan juga menyeramkan disini emoticon-Takut

Awalnya gw dan sahabat gw si Rian berencana untuk mendaki Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat (NTB). Setelah sekian lama nabung (maklum belum bekerja dan berstatus mahasiswa) ternyata uang yang terkumpul masih belum cukup untuk biaya transportasi dan akomodasi. Dengan berat hati, gw pun mengurungkan niat untuk berangkat. Bayangan keindahan Rinjani yang di impikan sirna sudah emoticon-Sorry

Gw : "Yan, gimana nih tabungan kita gak cukup buat berangkat ke Rinjani !!"
Rian : "Mau gimana lagi, uangnya kepake buat bayar cicilan motor bulan kemaren"
Gw : "Ada ide gak? Kemana gitu kita daripada gak kemana-mana. Udah susah payah nabung nih"
Rian : "Gimana kalo kita ke Argopuro aja? Lebih deket, ongkos terjangkau, pemandangannya juga gak kalah dari Rinjani"
Gw : "Sip.. ide bagus tuh. Tapi kurang seru kalo cuman kita ber dua. Gimana kalo ajak temen-temen yang lain?"
Rian : "iya kalo mereka pada pegang duit, kalo mereka gak pegang duit gak bakalan mau"
Gw : "Entar untuk ongkos mereka pake duit kita aja, masih sisa banyak tuh hasil menabung Rinjani yang gagal" emoticon-Sorry
Rian : "Nah... Kalo gratisan bisa dipastikan mereka mau. Tampang-tampang gratisan kok ditawari gratisan, ya disikat" emoticon-Big Grin
Gw : "Oke kalo gitu tak SMS dulu mereka"
Rian : "Sipppp..." emoticon-thumbsup

Tak ingin berlama-lama larut dalam kesedihan, kami berdua pun sepakat mengalihkan obyek pendakian, yaitu gunung Argopuro. Argopuro pemandangannya bagus dan vegetasinya beraneka ragam. Biaya transportasi dan akomodasi hasil tabungan pun dirasa cukup, bahkan lebih.

emoticon-mail Gw : "Ayo kalo mau ikut pendakian ke Argopuro, logistik dan transport gratis. Yang berminat segera merapat ke rumah Rian. GPL (gak pake lemot)" sent to Miftah, Andika, Arga, dan Amin.
emoticon-mail Miftah : "Oke mas, ikut"
emoticon-mail Andika : "Segera meluncur !!"
emoticon-mail Arga : "Wah, kapan nih? Otewe kesana"
emoticon-mail Amin : "Jossssss.. !! Budallll"
(Fyi Miftah adik kandung gw, Andika dan Amin temen sekampung gw, Arga temen yang dikenalin sama Rian)

Setelah mereka berempat merapat ke rumah Rian dan menimbang nimbang, mereka memutuskan ikut berangkat. List perlengkapan dan logistik dibuat dan dibagi bagi. Ada yang kebagian belanja makanan, meminjam peralatan, hingga menyewa kendaraan buat keberangkatan nanti. Setelah selesai, kita pun bubar barisan.


Setelah seminggu persiapan, gw berangkat sekitar jam sebelas siang dengan menyewa Lin (mobil penumpang umum) dari rumah (Jember) menuju pos pendakian Baderan. Sewa mobil lebih irit karena kalo perjalanan menggunakan angkutan umum biasa biayanya lebih besar dua kali lipat. Gw memilih jalur start pendakian melalui Baderan (Besuki) karena lebih landai daripada jalur Bremi (Probolinggo). Jadi cocok buat kita para pendaki pemula. Keberangkatan awal lumayan lama di perjalanan karena jalan banyak yang rusak, butuh sekitar 5 jam sampai pos Baderan.

Sesampainya di pos Baderan gw melakukan registrasi pendakian dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Tidak aman untuk melakukan pendakian malam hari, belum lagi stamina banyak yang terkuras selama perjalanan tadi. Untuk menghemat logistik, gw memilih untuk makan di warung yang ada di sekitar pos pendakian. Selesai makan, gw pun memutuskan untuk segera istirahat agar stamina kembali pulih.


Hari ke-1 pendakian
Keesokan harinya gw segera packing logistik untuk memulai start pendakian. Tak lupa pengecekan ulang logistik sudah cukup atau belum. Mumpung masih di perkampungan jadi masih bisa membeli apa yang kurang. Setelah dirasa sudah cukup, kami ber enam berangkat.

Jalur awal yang gw lewati berupa jalan perkampungan yang masih tanah. Setelah melewati jalur tanah perkampungan, jalur makadam menanti. Jalur makadam lebih melelahkan, selain mulai menanjak kaki juga terasa agak sakit. Batuan yang tersusun tersebut terasa sakit untuk dipijak. Belum lagi beban berat dan aklimatisasi tubuh pada dataran tinggi. Yang bikin jengkel, ketika gw dengan susah payahnya mendaki jalur makadam yang semakin menanjak, ada beberapa pemotor penduduk lokal yang hilir mudik membawa hasil bumi. "Asli pengen misoh".. emoticon-Ngamuk . Gw susah payah ngedaki, mereka dengan santainya menarik tuas gas motor. Ibarat kata siput vs bis kota emoticon-Hammer2

Jalur makadam selesai, di depan mata jalur kebun sudah menanti. Jalur kebun relatif lebih "kakisiawi". Kaki tidak terasa sakit lagi kerena tanah padat yang kami injak berkontur halus tidak berbatu. Jalur tetap menanjak dengan kabut tipis mulai menyelimuti. Ketika cuaca cerah sangat enak melewati jalur ini, tetapi ketika hujan turun menjadi licin.

Setelah lama berjalan, gw istirahat di pos 3. Pemandangan disini sangatlah indah. Sejauh memandang terdapat tebing yang sangat tinggi dan curam. Di sela sela tebing tersebut terdapat air terjun yang menyejukkan mata siapapun yang memandangnya. Instrumen yang sangat pas bila dipadukan dengan hembusan racikan tembakau "teng we". "Teng we" alias ngelinting dewe adalah proses pembuatan rokok yang dilakukan secara manual dengan cara "melinting" atau menggulung tembakau ke dalam kertas rokok. Kami sengaja membuat rokok "teng we" karena lebih nendang dalam cuaca dingin seperti ini. Rokok pabrik tetap bawa, tapi jumlahnya terbatas. Dari kami ber enam, empat diantaranya adalah ahli "hisap" dengan semboyan "mangan gak mangan asal rokoan". emoticon-Big Grin .

Di pos 3 ini gw bertemu dengan dua pendaki senior.
Gw : "Berdua aja nih naiknya mas? Oh ya kenalin gw Hermawan dari Jember. Ini adik gw miftah, dan ini teman-teman gw Rian, Andika, Arga, dan Amin" emoticon-Smilie emoticon-shakehand
Mas Didik : "Gw Didik dari Malang dan ini temen gw Pujo. Iya nih, lagi pingin jalan-jalan. Temen-temen yang lain diajak pada sibuk. Jadi terpaksa kita aja ber dua yang bisa" emoticon-Smilie : shakehand
Rian : "Mau muncak juga mas?" emoticon-Smilie
Mas Pujo : "Iya nih mau muncak. Kalo kalian mau muncak juga kita barengan ya, udah lama gak main kesini, takut lupa jalur" emoticon-Smilie
Gw : "Wah asyik nih tambah rame, makin rame makin asyik"
Andika: "Udah istirahatnya yok, kita berangkat lagi"
Amin : "Berang-berang makan cokelat, ayo berangkat....!!!" emoticon-Hammer2

Dari yang semula gw berenam, kini menjadi berdelapan dengan bertambahnya Mas Didik dan Mas Pujo. Perjalanan pun dilanjutkan emoticon-Traveller


Sesampainya di pos Mata Air 1, gw memutuskan untuk mendirikan tenda. Hitung hitungannya gw tidak terlalu jauh dari sumber mata air dan ada area datar yang agak luas. Sedangkan apabila gw terus berjalan, untuk mendapatkan sumber mata air dan tempat yang datar masih sangat jauh. Belum lagi hari yang mulai gelap dan kabut semakin tebal.

Gw hanya membawa satu tenda dan menambahkan flysheet untuk menampung enam orang. Betapa konyolnya emoticon-Hammer2 . Untung saja gw bertemu Mas Didik dan Mas Pujo yang baik hati sehingga dua orang diantara kami diberi tampungan tenda. Gw dan Andika yang diberi tampungan bergabung dalam tenda Mas Didik dan Mas Pujo. Setelah mendirikan tenda dan memasak makan malam, kami pun beristirahat.


Hari ke 2 pendakian
Pada pagi harinya kita melakukan aktivitas sesuai job yang udah dibagi. Gw dan Rian bertugas memasak. Sedangkan yang lain mengambil air untuk perbekalan perjalanan nanti. Perjalanan pun kami lanjutkan, sesekali berhenti istirahat melepas lelah. Pada jalur ini konturnya tidak begitu ekstrim. Tanjakan dan turunan menjadikan menu perjalanan kami di pagi menuju siang hari ini. Disepanjang jalur ini beberapa kali kita berpapasan dengan pendaki lain yang mengambil jalur pendakian melalui Bremi Probolinggo. Tak lupa kita saling sapa dan berbasa basi menanyakan jalur di depan bagaimana, ada kendala atau tidak. Begini lah indahnya menjadi pendaki. Walaupun tidak saling kenal kita tetap ramah dan respek terhadap sesama pendaki. Salute emoticon-thumbsup


Sesampainya di alun-alun kecil, kami sejenak istirahat. Kalau sebelumnya di perjalanan menuju alun-alun kecil istirahatnya sebentar, kini istirahatnya agak lama. Ada sekitar 30 menit kita beristirahat. Hamparan sabana terhampar luas. Sungguh pemandangan yang indah. Perumpamaannya kita sekarang berada di bukit seperti di film Teletubbies. emoticon-Big Grin
Gw : "Yan, sprite yang loe bawa keluarin gih. Kayaknya enak banget nih ngerokok di surung sprite" emoticon-Big Grin
Rian : "Sprite nya cuman bawa satu woy. Ntar kalo habis sebelum nyampe puncak gimana? Kita kan berencana bersulang sprite di puncak nanti" emoticon-Hammer2
Andika : "Dioplos pake air aja, yang penting rasanya tetep ada sprite spiritnya" emoticon-Big Grin
Gw : "Wah ide bagus tuh, hehehe"
Rian : "Oke siap laksanakan komandan"
Gw : "Komandan.. komandan ndhiasmu !!"
All : "Hahahaha" emoticon-Big Grin

Setelah dirasa sudah cukup, kita pun melanjutkan perjalanan agar tidak kemalaman.
Gw : "Yok berangkat"
All : "Ayo..." emoticon-Ngacir2

Terik matahari terasa semakin menyengat. Hal ini membuat kami sedikit merasa kepayahan. Laju perjalanan pun agak melambat. Walaupun begitu, semangat terus untuk berjuang. Tak terasa kita sampai di alun-alun besar. Hamparan sabana disini lebih luas daripada di alun-alun kecil. Disini kami tidak beristirahat terlalu lama. Cukup sebatang rokok dibuat "join"dan menikmati snack sebungkus yang juga "join" habis, kami pun melanjutkan perjalanan kembali.


Amin : Ada pondok kayu tuh di tengah-tengah sabana, kita kesana yuk"
Gw : "Emang kita tujuannya mau kesana, itu yang dinamakan Cikasur"
Miftah : "Capek juga ternyata yo mas munggah gunung" emoticon-Cape deeehh
Gw : "Jare sopo muggah gunung gak kesel" kwkwkw emoticon-Big Grin

Karena sudah tidak sabar ingin segera sampai, kami semua berlari menuju pondok Cikasur.
Andika : "Wah, enak nih ada sungai. Bisa puas mandi kalo gini"
Arga : "Airnya dingin woy, emang kuat mau nyemplung disini"
Amin : "Kalo aku sih ogah mandi, dingin banget airnya"
Gw : "Yaudah, kita nyebrang sungai dulu menuju ke pondok, setelah itu terserah kalian deh mau ngapain"
Rian : "Yok mari semua nyebrang, ati-ati nyemplung soalnya licin itu batu"

Sesampainya di pondok Cikasur, gw ngerasa prihatin. Gimana gak prihatin coba, pondok yang ngebantu kita untuk terlindungi dari panas dan hujan kini rusak. Banyak bagian lantainya yang bolong. Pada tiang-tiang banyak sekali coretan emoticon-Ngamuk . Ingin sekali rasanya apabila ada kesempatan dan dana yang cukup, kembali ke sini untuk memperbaiki pondok tersebut. Entah kapan (sampai cerita ini ditulis pun belum terlaksana) emoticon-Cape deeehh

Hari sudah mulai gelap, segera kita membangun tenda dan menyiapkan makan malam. Selesai menikmati makan malam "Miras" alias mie campur beras (nasi) emoticon-Big Grin , Mas Didik bercerita hal-hal misteri seputar Cikasur.

Mas Didik : "Tau gak kalian pohon yang berdiri tegak sendirian di tengah-tengah sabana itu. Mitosnya banyak sekali harta peninggalan masa lalu dikubur disana. Cuman orang "ngerti" aja yang bisa melihat dan mengambilnya"
Gw : "Wah, bisa buat bayar utang negara donk kalo gitu" emoticon-Hammer2
Mas Didik : "Tapi syarat dan pengambilannya gak semudah itu. Keberadaanya masih ada atau g belum diketahui. Lagian siapa yang mau jauh2 kesini nyari harta karun gak jelas gini" emoticon-Smilie
Mas Pujo : "Kalo bangunan yang tinggal setengah temboknya itu kalian tau gak?"
Rian : "Kalau gak salah itu bangunan bekas Jepang untuk pengalengan daging kijang ya mas?"
Mas Pujo : "Kalau cerita yang beredar memang seperti itu. Cuman kebenarannya masih perlu dipertanyakan. Tapi Jepang hebat juga bisa membuat bangunan di tengah-tengah gunung begini. Disebelah sana juga ada bekas lapangan pacu pesawat terbang"
Mas Didik : "Ayo kita segera istirahat. Perjalanan besok masih panjang. Awas ketemu tentara Jepang berbaris tanpa kepala lho"
Amin : "Njirrrrrrr.. nek bagian iki sampean ojok cerito mas" emoticon-Takut
Arga : "Hahahaha" emoticon-Big Grin
Saya : "Tato aja dibanyakin, ketemu setan langsung mungsret, hahaha" emoticon-Big Grin
Mas Didik : "Udah.. udah.. cepet tidur, perjalanan masih jauh" (fyi : Mas Didik ternyata orang "ngerti". Tapi gw gak tau dan gak mau tau lebih tentang hal-hal mistis gak jelas begituan)

Kami pun beristirahat dengan segera. Badan capek plus perut kenyang adalah instrumen yang paling pas untuk menuju ke alam mimpi. Syukur Alhamdulillah, tidak ada hal-hal aneh terjadi.


Hari ke 3 pendakian
Suasana pagi di Cikasur sangat indah. Hamparan sabana terhampar luas sejauh mata memandang. Kalau sedang beruntung kita bisa melihat burung merak dan rusa di kejauhan. Seperti di pagi hari ini, terlihat beberapa burung merak dan rusa yang bergerombol mencari makanan. Ingin sekali berlama-lama disini, tapi apa daya waktu semakin siang. Itu pertanda kita harus segera mengemasi barang-barang dan melanjutkan perjalanan. Setelah semua selesai di packing, cek perlengkapan, kita pun berangkat.

Setelah melewati padang sabana yang luas di Cikasur, kita mulai memasuki hutan Pinus (kalau tidak salah ingat, hehe emoticon-Big Grin ). Kontur jalan masih berupa tanjakan dan turunan tetapi masih mudah di tempuh. Disini kita bisa menemukan tumbuhan yang sangat menyakitkan apabila tersentuh langsung dengan tubuh. Untuk yang pernah ke Argopuro pasti tidak asing dengan tumbuhan yang satu ini.


Tumbuhan ini bernama "jancukan". Karena apabila tersentuh secara reflek akan mengumpat "jancuk". Karena seringnya orang berkata demikian maka dinamai jancukan. Kata umpatan khas Jawa Timur emoticon-thumbsup


Setelah puas beberapa kali tersengat "jancukan" dan mengumpat "janc*k" emoticon-Big Grin tak terasa kita sampai pada pos pendakian Cisentor.
Pondok disini relatif lebih utuh daripada di Cikasur. Cocok sekali untuk dijadikan tempat bermalam. Jadi tidak perlu repot-repot mendirikan tenda. Tapi sayang, di dalam pos sudah ada yang menempati terlebih dahulu. Jadi harus mendirikan tenda. Kita memilih tanah lapang di atas sebelah kiri pos untuk mendirikan tenda.

Tenda belum selesai di dirikan, sang hujan sudah mulai mengguyur. Badan mulai basah dan menggigil kedinginan. Tak lama kemudian tenda selesai di dirikan dan kita membuat minuman jahe untuk menghangatkan tubuh.
Mas Pujo : "Ayo kita muncak sekarang"
Mas Didik : "Sudah sore Jo, entar lagi juga udah gelap. Mana lagi di luar hujan. Mending besok pagi aja deh"
Mas Pujo : "Takutnya malah gak bisa muncak kalau menunggu besok, soalnya besok harus turun karena ditunggu mobil jemputan"


Karena merasa kasihan, g sama Andika menemani Mas Pujo untuk menuju ke puncak. Teman-teman yang lain menunggu di tenda. Semenjak awal keberangkatan gw udah ngerasa ada yang aneh. Gw seperti mendengar suara shalawat tarhim (bacaan di spiker masjid sebelum adzan berkumandang). Padahal letak Cisentor sangat jauh dari pemukiman. Hal yang sangat aneh untuk dinalar. Tapi gw cuek aja dan terus melakukan perjalanan (gw cerita ketika sudah kembali ke tenda). Tak lama kemudian kita sampai pada Rawa Embik. Entah kenapa dinamakan rawa Embik,, padahal tidak ada satupun Embik (kambing) yang digembalakan. Disini ada tempat alternatif untuk mendirikan tenda. Tapi gw tidak menyarankan pendirian tenda karena letaknya berada di bawah lembah. Jadi otomatis udaranya lebih dingin daripada di Cisentor. Semakin lama hujan mengguyur semakin deras. Sempat beberapa kali gw nanya Mas Pujo dan Andika untuk ngelanjutin perjalanan atau tidak mengingat cuaca semakin tidak bersahabat. Setelah sampai di sekitar cemoro kandang, saya memutuskan untuk balik kanan ke tenda. Selain hari mulai gelap, senter yang kita bawa anehnya tidak ada yang menyala. Kalau satu yang tidak hidup masih wajar, ini ketiga senter kami tidak bisa semua. Keanehan demi keanehan pun berlanjut. Kaki Mas Pujo tersandung sesuatu benda, padahal saya cari tidak ada suatu benda yang dapat menyebabkan Mas Pujo tersandung. Saat perjalanan kembali melewati rawa Embik di depan gw terlihat babi hutan yang sangat besar. Tingginya bahkan ngelewatin tinggi gw. Tapi anehnya Mas Pujo dan Andika tenang-tenang aja. Padahal jarak antara si babi dengan gw tidak lebih dari sepuluh meter, sedangkan jarak antara gw, Mas Pujo, dan Andika kurang lebih dua meter (saya baru tau kalau Andika dan Mas Pujo tidak melihat babi hutan itu ketika sudah sampai di tenda). Melihat mereka "selow" tidak ada alasan buat gw untuk panik. Lega sekali akhirnya kita sampai di tenda.

Gw : "Tadi pas berangkat ke puncak denger suara tarhim gak? Aneh banget ya, padahal jauh sekali dari kampung. Pas di rawa embik kalian kok santai banget liat babi segede itu? Gimana coba kalo misal tiba-tiba itu babi nyeruduk kita, mampus pasti kita disini"
Andika : "Nggak denger apa-apa nih. Mana ada babi tadi? Jangan ngaco" emoticon-Hammer2
Mas Didik : "Memang tadi ada yang ngikutin, cowok"
Seketika langsung merinding disko.. emoticon-Takut
Gw : "udah mas jangan dilanjutin ceritanya, pada merinding nih temen-temen yang lain"
Mas Didik : "Tapi nggak apa-apa kok, yang ngikutin kamu orangnya baik dan nggak jahil. Mungkin ini terjadi akibat salah satu diantara kalian bertiga ada yang punya niat tertentu ke puncak, jadi banyak halangannya"
Mas Pujo : "Sorry gw gak ngasih tau kalian kalau mempunyai nazar ke puncak. Itulah mengapa gw memaksakan diri harus muncak. Ternyata malah begini akhirnya. Kaki juga terkilir entah terkena apa, pasrah udah untuk perjalanan turun besok"
Gw : "Iya nggak apa-apa mas, yang penting kita semua selamat. Lain kali kalau keadaan tidak memungkinkan untuk muncak jangan dipaksa. Toh kalo gak sekarang bisa lain hari kesini lagi" emoticon-Smilie


Hari ke 4 pendakian
Karena kondisi Mas Pujo yang kakinya terkilir akhirnya gw pun memutuskan untuk langsung turun pos Bremi. Mungkin ntar di Taman Hidup cuman istirahat. Setelah sarapan, berkemas dan cek perlengkapan kita melanjutkan perjalanan turun. Tidak lupa mengisi air di sungai yang berada di sekitar pos Cisentor. Menurut gw air di Cisentor masih kalah segar dibandingkan air di Cikasur (opini pribadi).
Beberapa saat kita berjalan, kita beristirahat di pos aeng kenik (air kecil). Setelah beristirahat di pos aeng kenik, langsung di suguhkan track yang sangat menanjak. Tubuh benar-benar harus di push untuk melewati jalur ini.

Perjalanan selanjutnya melintasi batas vegetasi antara hutan Pinus menuju ke hutan basah. Ini menandakan gw udah makin dekat rumah emoticon-Big Grin . Di tengah hutan basah ini terdapat sebuah danau yang sangat indah dengan dermaga di permukaannya. Danau ini dinamakan Taman Hidup. Taman dengan sejuta pesona dan keindahannya. Tapi sangat disayangkan, kali ini kami melewati untuk mengunjunginya. Udah terlalu lama gw di gunung, itu berarti jatah liburan juga sudah habis. Jadi gw harus segera turun dan melakukan aktifitas seperti biasanya.

Di tengah perjalanan hutan basah terdapat keanehan juga
Gw : "Ndik, loe bau masakan gak?" setengah berbisik pada Andika biar yang lain tetep fokus berjalan.
Andika : "Iya nih, seperti ada yang masak Indomie" emoticon-Takut
Mas Didik : "Itu bukan bau masakan, tetapi kalian sedang ditunjukkan eksistensi makhluk tak kasat mata" emoticon-Big Grin
Andika : "Astaghfirullah.." Berjalan semakin cepat.
Gw : "Tunggu woy.."
Andika : "Gw nyusul Miftah di depan, loe barengan Mas Pujo di belakang" sambil berlari
Gw : "Sip" : thumbup

Miftah : "Aduh mas, kenapa gw ditabok?"
Andika : "Ini beneran loe kan mif? Takutnya pas gw jejerin ternyata makhluk jadi-jadian" muka pucet
Miftah : "Onok-onok ae sampean mas" haha emoticon-Big Grin
Andika : "Dibilangin malah nyengir" asyuuu..

Dua belas jam perjalanan turun ini akhirnya sampai pada akhirnya. Setelah hutan basah, perkebunan warga, dan jalur makadam gw beserta rombongan sampai pos Bremi. Sujud syukur kita masih diberi keselamatan, kesehatan, dan utuh "berangkat lengkap, pulang lengkap". Mudah-mudahan ada waktu dan kesempatan gw bisa datang kemari lagi.

Salam lestari


Sumber gambar : google
Sumber berita : pengalaman pribadi
0
1.5K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Catatan Perjalanan OANC
Catatan Perjalanan OANC
icon
1.9KThread1.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.