noisscatAvatar border
TS
noisscat
Golput Meningkat di Pilpres 2019, Siapa yang Untung?


Jumat 15 februari 2019
Jakarta, IDN Times - Jumlah pemilih golongan putih (golput) diprediksi akan meningkat pada Pilpres 2019. Lembaga Survei Indikator merilis, jumlah pemilih golput meningkat menjadi 20 persen.

Angka golput bisa saja bertambah dengan adanya swing voters yang akhirnya memutuskan menjadi golput. Meski barisan golput selalu ada di setiap Pemilu, namun mereka tentu memiliki alasan tersendiri mengapa memilih tidak memberikan suaranya kepada kontestan Pemilu.

Umumnya pemilih golput timbul karena beberapa alasan. Di antaranya tidak ada capres-cawapres dan koalisinya yang bersih dari isu korupsi, tersangkut kasus hak asasi manusia (HAM), atau pun masalah intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Pemerintah sendiri tidak melarang siapa pun untuk menjadi golput. Tapi, kasusnya berbeda jika ada pihak yang dengan sengaja mengajak orang lain untuk menjadi golput. Tidak main-main, mereka yang mendorong orang lain menjadi golput akan berhadapan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD.

Setidaknya ada dua pasal dalam UU No. 8 Tahun 2012, yang menjelaskan tentang ancaman bagi mereka yang mengajak orang golput, yakni:

- Pasal 292
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.

- Pasal 301 ayat 3
Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.

Lantas, bagaimana kedua kubu capres-cawapres melihat kelompok golput? Apakah mereka merasa diuntungkan atau dirugikan?

1. Beda sikap kedua kubu melihat kelompok golput

Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Usman Kansong mengatakan, dari sisi kuantitatif, pemilih golput tidak terlalu mengkhawatirkan. Tetapi dari sisi kualitatif, seperti kualitas pemilu dan demokrasi, masyarakat memang harus didorong untuk memilih.

"Jadi saya kira, tidak perlu dikhawatirkan secara kuantitatif, tetapi kita tetap harus mendorong partisipasi politik yang lebih besar lagi, artinya golputnya itu makin kecil," kata Usman kepada IDN Times di Posko Cemara, Jakarta Pusat, Jumat (8/2) lalu.

Sementara, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Vasco Ruseimy, menyampaikan bahwa BPN melihat kelompok golput sebagai implementasi ketidakpuasaan masyarakat terhadap pemerintah. Sehingga, para pemilih golput yang tidak lagi percaya kepada pemerintah, akan dijadikan sasaran bagi oposisi untuk memilih Prabowo-Sandiaga.

"Kami terus gencar setiap hari, 24 jam, kami betul-betul mengkampanyekan Pak Prabowo itu agar mereka (pemilih golput) juga bisa mendengar apa yang belum tercapai hari ini, dan kita akan kejar pada periode berikutnya," jelas Vasco saat dihubungi IDN Times.

2. Kedua kubu percaya diri bisa mendulang suara dari kelompok golput

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengungkapkan, golput merupakan kedaulatan bagi setiap rakyat dengan prinsip bahwa demokrasi sepenuhnya diserahkan kepada rakyat melalui Pemilu.

“Dan jika kemudian rakyat tidak menghendaki pemimpin atau bahkan juga orang-orang yang diminta untuk wakil rakyat,” ujar Arif di kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (23/1) lalu.

Arif juga menjelaskan bahwa golput merupakan ekspresi protes atau penghukuman terhadap mekanisme penentuan paslon oleh partai politik, yang masih didominasi pertimbangan politik praktis dan mengesampingkan nilai-nilai integritas individu, rekam jejak, dan berpihak pada hak asasi manusia.

“Tapi yang paling penting adalah golput atau pilihan untuk tidak memilih adalah ekspresi politik, yang itu adalah bentuk kedaulatan rakyat,” terang dia.

Kendati golput adalah ekspresi bagi mereka yang tidak terlalu percaya pada politik dan para calon, kedua kubu rupanya tetap berupaya mengajak para undecided votersuntuk merapat ke kubu mereka.

Dari kubu Prabowo sendiri, Vasco menyampaikan, kelompok golput yang dianggapnya kecewa dengan pemerintah akan dibuat oleh BPN menjadi percaya pada pasangan calon Prabowo-Sandiaga. Caranya, dengan terus mengkampanyekan dan menyampaikan visi misi dan program pasangan 02.

"Golput itu kalau saya lihat orang-orang yang kecewa dengan pemerintah. Orang-orang yang kecewa dan apatis terhadap politik, seakan-akan berpolitik itu hal yang kurang baik. Tapi kan kita gak bisa juga ninggalin politik ini. Karena kalau kita tinggalin, orang-orang jahat yang akan manfaatkan itu jadinya," terang Vasco.

"Setiap hari kami suarakan terus, sehingga dengan visi misi Prabowo, teman-teman golput bisa terkena hatinya untuk ikut menjadi bagian dari Indonesia," dia melanjutkan.

Berbeda dengan kubu Prabowo, Usman menilai kubu Jokowi percaya pemilih golput akan cenderung merapat ke petahana. Hal itu dikatakannya karena berkaca dari pengalaman-pengalaman Pemilu sebelumnya di Indonesia maupun negara lain.

"Mudah-mudahan makin mendekati Pilpres, undecided voters ini sudah mulai ancer-ancer lah saya mau pilih mana. Kalau dilihat di pengalaman negara lain maupun negara kita, undecided voters itu ada istilah namanya incumbent bias. Yang belum memutuskan itu cenderung akan memilih incumbent," jelas Usman.

3. Apakah kubu Jokowi dan Prabowo diuntungkan atau dirugikan oleh pemilih golput?

Saat ditanya apakah kubu Prabowo merasa diuntungkan dengan adanya pemilih golput, Vasco menolak menjelaskan. Ia mengungkapkan, masalah pemilih golput jangan dilihat dari untung dan rugi.

Menurutnya, suara tidak bisa dilihat skalanya untuk urusan untung dan rugi. Dikatakan Vasco, suara bukanlah binis yang bisa dijual sehingga menghasilkan sebuah keuntungan atau pun kerugian bagi kedua kubu.

"Bukan hal menguntungkan atau merugikan. Tapi prinsipnya, rakyat Indonesia yang golput sayang. Kami bukan mengarahkan orang untuk golput, lebih baik bergabung sama kami (Prabowo-Sandiaga), kalau tujuannya mau menjadikan Indonesia lebih kuat ke depan. Lebih baik percayakan aspirasi suara teman-teman ke kami, biar bisa mengubah Indonesia," ujar Vasco.

Sementara, Usman menyampaikan, adanya pemilih golput tidak menjadikan TKN takut. Ia bahkan percaya diri pemilih Jokowi tidak akan berubah pilihan, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Ketika ditanya apakah kubu Jokowi merasa diuntungkan atau dirugikan dengan adanya pemilih golput, Usman mengatakan, kedua kubu tidak perlu ada yang merasa diuntungkan atau pun dirugikan. Menurutnya, yang harusnya merasa rugi adalah demokrasi di Indonesia.

"Secara kuantitaf, itu tidak signifikan. Kalau ada pemilih golput, yang dirugikan bukan TKN tapi adalah demokrasi negara ini," jelas Usman.

4. Taktik kedua kubu memperebutkan hati kelompok golput

Meski pemilih golput tak dilihat kedua kubu sebagai ancaman, tapi tak bisa dipungkiri kedua kubu juga berlomba-lomba untuk mengajak golongan putih melabuhkan pilihannya kepada mereka. Di sisa beberapa bulan sebelum pencoblosan Pilpres 2019, kedua kubu terus giat berkampanye untuk merebut hati para pemilih, tak terkecuali pemilih golput.

Dari kubu Jokowi maupun Prabowo, mereka kompak menggaet hati kelompok golput dengan mengkampanyekan visi misi masing-masing. Seperti diakui Usman, TKN  terus menyuarakan keberhasilan pemerintah agar para pemilih terambil hatinya.

"Ya saya kira kita terus menyampaikan capaian-capaian yang telah kita lakukan. Teman-teman (golput) ini kan teman-teman yang idealis. Yang kemarin mengkampanyekan golput, tetapi mereka melihat semata-semata dari sisi idealis tanpa bermaksud menyalahkan mereka, itu hak politik mereka," terang Usman.

"Tapi mereka tidak melihat sebuah proses politik bahwa ini juga politik. Kalau mereka tidak terlibat berpartisipasi dalam Pemilu, itu kan tidak mengubah apapun juga. Artinya, presiden akan tetap terpilih juga. Siapapun dia," jelas Usman.

Senada dengan TKN, Vasco menyampaikan bahwa BPN juga akan menggaet hati pemilih golput dengan menawarkan program-program yang belum dicapai oleh pemerintah. Dengan menawarkan visi misi dan program Prabowo-Sandiaga, Vasco yakin kelompok golput akhirnya bisa ikut memilih.

"Prinsipnya kami akan sampaikan pada rakyat, bagaimana negara ini bisa lebih baik ke depan. Dengan tersampaikan informasi itu, yang kami harapkan sebenarnya golput bisa lebih terserap dan menyuarakan suaranya," ujar Vasco.

"Karena sayang banget golput. Suara-suara golput bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang gak benar, takutnya nanti," sambung dia.

5. Sejarah golput di Indonesia: ada sejak 1971



Golput pada awalnya ada karena sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971, di Balai Budaya Jakarta, tepat sebulan sebelum hari pemungutan suara pada Pemilu pertama di era Orde Baru. Pencetus dari gerakan tersebut adalah seorang aktivis demonstran Angkatan 66, bernama Arief Budiman atau Seo Hok Djin.

Arief mengaku menyuarakan gerakan golput bukan untuk mencapai kemenangan politik, melainkan untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun.

Terbentuknya kelompok golput di zaman Orde Baru karena mereka menganggap dengan atau tanpa Pemilu, kekuatan yang paling efektif menentukan nasib negara ke depan adalah ABRI. Kebanyakan tokoh pencetus golput adalah Angkatan 66, walaupun sebagian tokoh Angkatan 66 diakomodasi Orde Baru dalam sistem.

Para tokoh Angkatan 66 yang menjadi pencetus golput itu ada yang menjadi anggota DPR-GR dan juga menteri. Meski begitu, mereka tetap kritis melawan rezim baru yang dianggap mengingkari janji tersebut.

Pencetusan gerakan itu disambung dengan penempelan pamflet kampanye yang menyatakan tidak akan turut dalam Pemilu. Tanda gambarnya segi lima dengan dasar warna putih. Kampanye tersebut langsung mendapat respons dari aparat penguasa.

Disebut golongan putih, karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar partai politik peserta Pemilu. Saat itu,  jarang ada orang yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Sehingga, bagi mereka yang tidak ingin berpartisipasi namun datang ke TPS, mereka memutuskan mencoblos bagian putih, dan dianggap masuk ke dalam kelompok golput.

Hingga kini, tradisi golput rupanya masih terus mengalir di proses demokrasi di Indonesia. Dan dari tahun ke tahun, jumlah kelompok tersebut diprediksi semakin meningkat. Karena itu, untuk mengurangi barisan kelompok 'putih' ini, para tokoh politik harus bisa membawa mereka percaya pada demokrasi, sehingga kelompok golput bisa berkurang di Indonesia.

https://www.idntimes.com/news/indone...pa-yang-untung

Ajakan golput Pemilu di Papua: Bagaimana isu HAM dan ekonomi pengaruhi pemilih

15 februari 2019

Sejumlah kelompok warga Papua menyerukan gerakan tak menggunakan hak pilih alias golput pada pilpres April mendatang. Rantai kekerasan yang tak kunjung putus menjadi alasan mereka.

"Siapapun yang terpilih tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat Papua. Toh kami dihadapkan pada senjata," cetus Filep Jacob Semuel Karma, bekas tahanan politik, di Jakarta, Kamis (14/02).

Filep bebas pada 2015 setelah dipenjara atas tuduhan pengibaran Bendera Bintang Kejora, simbol kelompok pro-kemerdekaan.
Filep menuding Prabowo Subianto bermasalah saat memimpin operasi militer di Mapenduma tahun 1996. Kasus dugaan pelanggaran HAM dalam operasi itu kini masih diselidiki Komnas HAM.

Tapi tak lantas kemudian Filep mendukung calon petahana Joko Widodo. Filep menilai Jokowi tidak serius menghentikan kekerasan aparat pada warga asli Papua.

"Saya mengimbau keluarga dan saudara saya untuk tidak memilih. Tapi keputusan tetap di tangan mereka karena saya tidak berhak memaksa orang."
"Saya akan yakinkan mereka untuk mengambil sikap sesuai hati nurani," kata Filep.

Niat menjadi golongan putih (golput) sebelumnya juga dinyatakan sejumlah organisasi, antara lain Front Rakyat Indonesia untuk West Papua dan Aliansi Mahasiswa Papua.
Meski demikian, sikap Filep Karma dan kelompok prokemerdekaan Papua untuk golput tak sepenuhnya mendapat sambutan positif. Masih ada warga Papua yang antusias menggunakan hak pilih mereka.


Dosen Universitas Cenderawasih Jayapura, Hiskia Sapioper, misalnya, menyebut akan mengikuti pilpres sebagai saluran menyampaikan aspirasi.

"Kita masih ada dalam bingkai NKRI. Jadi kita memilih pemimpin untuk melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan Papua."
"Kita pilih orang yang punya kapasitas agar mereka benar-benar jalankan aspirasi kita dengan baik," ujar Hiskia.

Dalam catatan KPU, pemegang hak suara di Papua berjumlah 3.517.447 orang. Angka itu setara dengan 1,8% dari total daftar pemilih tetap nasional yang berjumlah 192 juta orang.
Sementara merujuk data Bawaslu , partisipasi pemilih pada Pilkada Papua tahun 2018 mencapai 84% atau 2,9 juta orang dari total 3,4 juta pemegang hak suara.

Namun sebagian peneliti menilai angka partisipasi tinggi itu muncul karena penerapan sistem noken, di mana satu kelompok warga memilih satu kandidat yang sama.
Bagaimanapun, KPU Papua optimistis gerakan golput tak akan membesar atau berdampak pada penyelenggaraan pilpres 2019. Kekhawatiran mereka bukan pada pemboikotan, melainkan tantangan geografis untuk mendistribusikan logistik ke daerah pemilihan.

"Kalau ada isu boikot, itu tidak benar dan tidak perlu dihiraukan. Kami mendorong penggunaan suara terus naik dari sebelumnya," kata Komisioner KPU Papua, Izak Hikoyabi.

'Golput adalah konsekuensi'

Munculnya gerakan golput di kalangan warga Papua, menurut peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, berakar pada persoalan menahun yang tak kunjung dituntaskan.
Adriana berkata, apatisme politik itu tidak dapat dihilangkan dalam waktu singkat.

Karenanya, tahapan dialog, kesepakatan, hingga implementasi janji untuk Papua harus segera dimulai.
"Ketidakadilan yang dirasakan warga Papua sudah terakumulasi begitu lama," ujar Adriana.
"Siapapun presiden yang terpilih, dalam waktu singkat dia bisa menarik militer dari Papua, menjamin tidak ada kekerasan, lalu memulai tahapan dialog."
"Kalau seperti ini terus, urusan Papua tidak akan selesai," tuturnya.

LIPI, kata Adriana, telah mengusulkan peta jalan penyelesaian persoalan Papua pada pemerintah. Ia mengatakan pemerintah adalah pihak yang wajib memulai tahapan dialog dengan berbagai kelompok di Papua.
Adapun persoalan HAM adalah yang pertama kali perlu disepakati dalam dialog tersebut.

Selebihnya, dialog itu harus menemukan solusi pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan lokal yang berbasis karakter lokal.

"Dialog bukan penyelesaian tapi forum untuk selesaikan persoalan Papua," ujar Adriana.
"Dialog ini tidak harus dipegang langsung oleh presiden, dia bisa tunjuk tim. Tapi tim itu harus serius karena ini bukan pekerjaan ecek-ecek, butuh keputusan politik," katanya.

Merujuk kajian Amnesty International, sejak Januari 2010 hingga Februari 2018 terdapat 69 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua oleh aparat keamanan dan militer. Sebanyak 25 dari 69 kasus itu disebut tidak diungkap atau masuk ke tahap penyelidikan.

Adapun, Badan Pusat Statistik mencatat Papua sebagai provinsi dengan penduduk termiskin terbanyak, per Maret 2018. Persentase penduduk miskin di wilayah itu mencapai 21,2%.

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47241737
--------------------------------------------------------------------------------------

Tapi mereka tidak melihat sebuah proses politik bahwa ini juga politik. Kalau mereka tidak terlibat berpartisipasi dalam Pemilu, itu kan tidak mengubah apapun juga. Artinya, presiden akan tetap terpilih juga. Siapapun dia," jelas Usman.

Yang golput mana suaranya... emoticon-Bettyemoticon-Betty








Diubah oleh noisscat 16-02-2019 00:59
4
3K
32
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.