dicuekinAvatar border
TS
dicuekin
Kaleidoskop 2018: Ribut-ribut Pinjaman “Online”

Tahun 2018 menjadi tahun yang sibuk bagi industri jasa keuangan. Berkembang pesatnya layanan teknologi keuangan alias financial technology ( fintech) tak hanya menguntungkan, tapi juga menimbulkan gejolak di masyarakat.


Ribuan orang mengaku menjadi korban aplikasi pinjaman online, mulai dari penyalagunaan data dari ponsel hingga penagihan dana dengan cara intimidasi. Hingga akhir 2018 ini, persoalan pinjaman online atau kredit online itu tak kunjung mereda. Sebagian persoalan justru masih mengambang tanpa tahu kapan bisa diselesaikan.

Kompas.com merangkum peristiwa ribut-ribut pinjaman online dalam Kaleidoskop 2018.

1. Aduan
Sejak awal 2018, percikan persoalan fintech sudah muncul. Namun eskalasinya kian besar saat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) membuka posko pengaduan pada Mei 2018. Hingga 25 November 2018, LBH Jakarta mencatat ada 1.330 orang yang mengadu sebagai korban pinjaman online dari 25 provinsi di Indonesia. Dalam konferensi pers, Minggu (9/12/2018), Pengacara LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengungkapan, ada 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online.

Pelanggaran itu antara lain bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan, ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual, penyebaran data pribadi hingga penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam.

“Sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online,” ujar Jeanny. Jeanny mengatakan, dari 89 aplikasi tersebut, 25 di antaranya aplikasi yang tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebanyak 25 aplikasi yang terdaftar di OJK dan diduga melanggar adalah DR, RP, PY, TK, KP, DC, DI, RC, PG, UM, EC, CW, KV, DB, CC, UT, PD, PG, DK, FM, ID, MC, RO, PD, dan KC.

2. Respons OJK
Mendengar banyaknya aduan ke LBH Jakarta, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui ada persoalan di fintech. Namun masalah itu lebih banyak dilakukan oleh fintech ilegal. Juru Bicara OJK Sekar Putih dalam konferensi pers, Jakarta, Rabu (12/12/2018) mengatakan, terdapat 404 fintech ilegal dalam kurun waktu Januari-Oktober 2018. Sementara itu hanya ada 78 fintech yang legal di Indonesia dan dalam pengawasan OJK.


Sekar mempersilahkan masyarakat yang merasa menjadi korban fintech untuk melaporkan ke OJK. Bila dinilai ada unsur pidana, korban diminta tak ragu untuk langsung melapor ke pihak ke kepolisian. Di sisi lain, upaya untuk memutus akses keuangan hingga memblokir website atau aplikasi sudah dilakukan namun fintech ilegal tetap “bergentayangan”.

“Ingat bahwa risikonya jauh lebih tinggi untuk berinteraksi dan lebih baik dihindari interaksi dengan fintech ilegal,” ucap Sekar. Di hari yang sama, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengatakan, pihaknya meminta perbankan memblokir seluruh rekening yang terkait teknologi keuangan atau fintech ilegal.
Satgas Waspada Investasi mengirim surat ke semua bank untuk memblokir rekening terkait fintech ilegal. Hal ini dilakukan untuk memutus mata rantai penyedia pinjaman online tak berizin tersebut. Selain itu, Satgas Waspada Investasi juga meminta agar perbankan memutus mata rantai fintech ilegal sejak awal pendaftaran rekening baru.

Caranya yakni dengan memeriksa lebih ketat permintaan pembukaan rekening baru. Bank pun harus meminta calon nasabah untuk menunjukkan surat izin terdaftar sebagai fintech dari OJK.

3. Pertemuan
Dua hari berselang, OJK menggelar pertemuan tertutup dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di Gedung Wisma Mulia 2 Lantai 16 Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Jumat (14/12/2018). Usai pertemuan, LBH Jakarta mempertanyakan keseriusan OJK menyelesaikan persoalan korban pinjaman online. Bahkan LBH Jakarta juga menyebut OJK hanya berkutat pada pengaduan-pengaduan yang tidak ada tindak lanjut.


“Tapi perlu diketahui yang menjawab pengaduan teman-teman korban adalah mesin penjawab. Bahkan kami juga punya bukti bahwa pengaduan yang diajukan korban ditolak oleh OJK,” kata Pengacara LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait. Di tempat yang sama, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi justru menagih data korban pinjaman online kapada LBH Jakarta.

Sebab, dalam pertemuan di Gedung Wisma Mulia duadua h ini, LBH Jakarta belum juga memberikan data masyarakat yang mengaku jadi korban pinjaman online.
“Tolong dibuktikan dong yang nyata bawakan ke kami alat bukti yang sah jangan kemudian membentuk opini ini masyarakat, jadi enggak sehat nanti,” kata dia.

Hendrikus mengatakan, OJK memang sudah menerima laporan masyarakat yang mengaku sebagai korban pinjaman online oleh fintech legal. Namun kata dia, tak ada bukti yang lengkap agar OJK segera bertindak. LBH Jakarta mengatakan, alasan pihaknya belum memberikan bukti lantaran perlu meminta izin kepada korban.

LBH kata dia tak bisa seenaknya merilis data pelapor. Sementara itu Wakil Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPBI) Sunu Widyatmoko menyayangkan sikap LBH Jakarta yang belum juga memberikan bukti laporan banyaknya masyarakat korban pinjaman online. “Ini memberikan panggung ke pihak-pihak tertentu untuk menjelek-jelekan industri fintech yang secara de facto pertumbuhan industrinya baik, manfaat buat masyarakat baik,” ujarnya kepada wartawan.


Hingga 20 Desember 2018, OJK mengatakan belum mendapatkan data dari LBH Jakarta terkait korban pinjaman online tersebut. Persoalan ini pun tak bisa diselesaikan hingga saat ini.

Sumber : Kompas.com
tata604
tata604 memberi reputasi
4
13.3K
89
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Perencanaan Keuangan
Perencanaan Keuangan
icon
9.1KThread5.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.