Allah sepertinya sedang memberikan ujian yang bertubi-tubi padaku hari ini, entah dosa apa yang membuat kesialan demi kesialan datang satu persatu tanpa belas kasihan. Setelah seharian direcoki oleh monster terompet, terus harus berurusan dengan masalah Pak Surya, apesnya lagi kena marah sama koordinator divisi lapangan, katanya minta pulang lebih awal saat deadline sudah manggil-manggil minta dituntaskan itu ide yang konyol.
Boro-boro dapat ide buat beresin laporan, Otak udah kalut banget. Padahal, kalau aja gengsiku gak segede ini sama Roy, mungkin sekarang gak akan kedinginan ditengah senja, bermuram durja meratapi nasib sambil memandang daun di tepi jalan sana. Duduk sendiri di bangku halte bis seperti seorang janda tua yang ditinggal mati suaminya sejak lama. Sepi. Temaram. Hatiku pasrah aja menerima semuanya, walau sempat mengeluh dalam hati. Tapi, beberapa kalimat dari guru pengajianku cukup menenangkan hati. Masih terngiang dalam benakku, beliau pernah mengutip satu ayat Al-qur’an. (Al-anfal : 46). “...Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” Mungkin memang benar materi sabar dan ikhlas itu gampang sekali diingat tapi paling sulit untuk diterapkan, apalagi disaat-saat seperti sekarang ini. Rasanya ingin sekali membuang orang-orang menyebalkan itu ke rawa-rawa sungai Hades, sungai terkelam dalam sejarah peradaban Yunani kuno, biar jasad mereka dimakan Dewa Odin.
Maafkan. Sebelum aku berhijab seperti sekarang, dulu aku menyukai hal-hal berbau mitologi. Bagiku itu hal yang boleh-boleh aja. Asalkan gak menaruh prioritas padanya aja. Setiap individu di dunia, kan, punya kecondongan pada Sang Pencipta alam semesta sekalipun dia seorang Atheis, tidak dapat diragukan lagi. Sudah mulai ngelantur rupanya. Sudah cukup, terlalu banyak membicarakan prinsip akan mengakibatkan lelah berkepanjangan.
Aku berbicara pada diriku sendiri untuk kesekian kalinya. Setelah beberapa puluh menit menunggu bis yang tidak kunjung datang, aku mulai dirasuki kebosanan yang menggila. Biasanya, ketika bosan gini, aku selalu melampiaskannya dengan mendengarkan lagu-lagu folks indie sambil membaca buku-buku puisi chairil anwar, melebur dan terangkat semua beban di hati. Sayangnya, baterai handphone-ku hampir habis, layarnya sudah meredup dan peringatan low battery juga udah muncul. Sebaiknya, aku matikan aja biar nanti pas di charge tidak terlalu kosong.
Sudut mataku menangkap gerakan di ujung jalan dekat lampu merah. Jalanan begitu sunyi, tidak terlihat sama sekali ada aktifitas. Jadi, sedikit gerakan akan membuat perhatianku otomatis tertuju pada sumber suara. Karena rasa ingin tahu yang besar, aku pun memberanikan diri untuk menghampirinya. Kaki ini mulai berjalan, terus saja berjalan sampai mendekati lampu merah, sekitar 2 meter dari halte bis. Setelah diam-diam aku cek, ternyata, sesuatu yang bergerak itu hilang. Yakin banget deh suara berisiknya datang dari sini, tapi ngilang gitu aja. Aku menghela napas kesal. Entahlah, rasanya bumi memang sedang ingin menggelitikku aja hari ini. Terus, kenapa juga jalanan sepi gini? Udah kaya kota nagasaki yang baru di bom nuklir! Aku memutuskan untuk mengakhiri drama horror ini dengan berjalan santai kembali ke halte bis. Berharap dengan sekejap akan datang bis yang ditunggu-tunggu sejak tadi. Bisa sinting aku kalau bisnya gak datang juga.
Jam ditanganku berdetak lambat, seperti jalannya kakek-kakek yang mengidap penyakit tulang. Aku harus segera menyelesaikan jurnalku, udah muak rasanya kena marah. Gak rela kalau besok harus menanggung nasib yang sama kaya tadi. Langit mulai terlihat mendung. Fana merah jambu. Titik-titik air langit mulai berdentuman ke aspal jalanan. Awalnya sedikit, lama-lama membawa temannya, layaknya sedang tawuran. Terlalu ricuh, Deras— Hujan lebat. Bagi orang yang mengaku kalau dia menyukai hujan, aku adalah orang yang benci hujan-hujanan saat semua berkas pentingku harus ikut basah juga.
Ibaratkan seorang pujangga yang mencinta, tapi takut untuk sakit cintanya, karena ketidaktulusan yang membuatnya takut, segala kepentingan diri sendiri dan ego selalu menjadi raja yang berkuasa. Anehnya, dulu waktu kecil, bermain dan menari di bawah langit yang sedang hujan adalah hal yang paling menyenangkan, berharga dan bahagia. Sekarang bukan waktunya bersikap sok melankolis gini. Ada banyak hal yang perlu dipikirkan. Aku menggeleng frustasi. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. “Gak baik loh seorang gadis melamun sendiri disaat hujan, bisa kesurupan nanti.” Aku menoleh. Merasa terkejut, insting ini mengatakan kalau aku sedang dalam bahaya. Tanpa pikir panjang, aku meremas tangan yang masih memegang pundak ini, mencoba memutarkannya dengan kencang. Peraturan pertama saat menerima perlakuan tidak senonoh di jalanan adalah melawannya sekuat tenaga, semua energi ini aku keluarkan. Ada erangan ‘aw’ yang keluar dari mulut orang asing ini. Saat itu aku membeku. Dia berusaha melepaskan cengkramanku, “Hai.” Akhirnya, aku berbalik.
“Roy!” Dia lagi, Dia lagi.
“Kuat juga lo, Di. Salut gue— ’’ Senyumnya kikuk, lalu matanya berhenti pada tangan yang masih, ehm, gitu deh. Nyadar sama situasi yang canggung ini, akhirnya, cengkramannya aku lepas pelan-pelan, ngerasa malu. “Untung tangan gue gak patah!”
“Lebay lo. Ngapain sih di sini?”
“Inikan tempat umum, Di. Siapa aja boleh ke sini. Ya, kan?” Dia meniup tangannya, sambil meringis, sikapnya memang selalu berlebihan.
“Semua orang kecuali lo, Roy.” Dia pura-pura kaget, terkekeh. “Segitunya sih gak suka sama gue, awas ah, kualat.”
“Kualat?”
“Iya, kualat, nanti sikap lo jadi kebalik loh, bisa jadi nempel terus sama gue.” Sampai kapan sih dia bakal nyebelin kaya gini. Lagian ngapain dia ke sini. Seingatku, biasanya dia tuh pulang dan pergi ke kantor naik motor sendiri deh. Aneh aja tiba-tiba nongol di halte bis kaya gini.
“Kaget gak? Maaf, motor gue lagi jajan ke bengkel. Jadi, gue naik bis aja.”
“Gue gak peduli.” Mungkin.
“Dih, tadi lo yang nanya, kan.” Dia geleng-geleng, sambil benerin rambutnya.
Aku cuma bisa natap sembari ngangkat bahu, lagi-lagi acuh. Kasian sih ngeliatnya, rambutnya klimis, bajunya basah kuyup terus napasnya seperti terengah-engah. Jangan-jangan dia orang yang tadi ada di perempatan lampu merah sana? Tapi, ngapain juga di situ? “Roy, tadi lo ke lampu merah sana gak?” Aku bertanya sambil menunjuk ke arah lampu merah. Masih simpati sama rambutnya yang klimis oleh air hujan dan wajah kusutnya. Pemandangan yang langka sih, seorang Roy Pratama bisa berpenampilan sekacau ini juga.
Dia menggelengkan kepalanya. “Enggak, Di. Gue baru dateng banget nih. By the way, kita naik bis yang sama, kan? Rumah kita satu arah.” Dia buru-buru mengalihkan topik. Roy berbicara terlalu cepat, bahkan lebih cepat dari skala kecepatan cahaya. Kalau sudah gini aku bisa apa. Hanya bisa mendesah dan menerima satu lagi nasib burukku. Aku kehilangan kata-kata. Rasanya malas sekali menanggapi ocehannya. Terperangkap.
Setelah 10 menit berlalu dengan hening. Akhirnya bis yang kita tunggu datang juga. Kenapa baru datang sekarang sih? Bukannya dari tadi, jadi aja 10 menitku terbuang sia-sia bareng orang ini. Lagi-lagi perjalanan di dalam bis sangat hening. Kemana sih orang-orang? Kenapa dunia begitu sunyi hari ini? Mungkin mereka sedang enak-enakan tidur berselimut setelah menikmati coklat panas. Membuatku iri saja. Sedangkan, aku terkurung dalam bis dangan monster terompet ini.
Tunggu sebentar. Aku melirik ke arah sebrang tempat duduk di sebelah. Pertama kali masuk bis, Roy bersikukuh pengen duduk di sebelahku, tapi ditolak dan menyuruhnya menjauh. Sekarang, dia menatapku dengan sorot mata yang aneh. Sorot mata yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kali ini Roy sangat pendiam. Bagus sih, cuma aku jadi ngerasa bersalah aja pas ngeliat ekspresi yang gak biasanya. Kayanya, omonganku ada yang bikin dia kesinggung. Pengennya sih cuek aja, tapi, gagal. Padahal, dia tuh penyebab hariku berantakan. Pulang lebih awalku kali ini untuk melarikan diri darinya, tapi, kita malah bertemu di halte.
Aku lagi malas berbasa-basi. Tapi, gak tega juga. Roy melihat ke arah jendela tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Akhirnya, Aku menghampirinya. Duduk hati-hati di sampingnya. Menepuk pelan pundaknya. “Berhenti bersikap seolah-olah lo lagi dateng bulan deh. Lo itu laki-laki.” Aku berusaha mencairkan suasana. Dia tertawa, tapi, sedikit. Baiklah, mission completed. Maybe?
“Diana....” Nadanya tidak pernah seserius itu. Roy kenapa, sih? Apa dia emang benar-benar lagi datang bulan? Konyol. Kali ini, dia menatapku dengan tampang waspada. Lalu clingak-clinguk. Aku hanya terdiam sambil mengedip-ngedipkan mata. Terlalu heran dengan tingkahnya yang absurd. “Gak usah ngeliput kasus Mafia judi itu lagi. Gak ada satupun wartawan yang berani untuk gangkat topiknya, selain lo, Di.” Aku terdiam lalu menunduk. Perasaanku kacau. “Nyawa lo dalam bahaya...” Dia berbisik ke telingaku. Aku terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba, kemudian mendorong badannya yang terlalu dekat. Seketika, melihat ada goresan merah di pelipisnya. Ada sedikit darah yang keluar.
“Lo berdarah, Roy.” Refleks, aku memegang pelipisnya. Wajahnya tertegun, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Dia memalingkan wajahnya. Air mukanya tampak memperlihatkan kesedihan dan rasa khawatir. Apa sih yang dia khawatirkan? Memang, kasus yang di angkat terlalu beresiko. Kali ini aku harus mengakuinya. Tapi, aku harus menyelesaikan apapun yang sudah aku mulai. Ini adalah jalan satu-satunya untuk membungkam sikap-sikap kriminal dan pikiran kerdil para mafia itu. Tak mau selamanya takut pada mereka. Jika tak ada satupun yang mau membela kebenaran, maka aku akan melakukannya. Seberapa pun besar bahaya yang menghalau, tekadku sudah bulat.
Terus, kenapa dia peduli? “Kenapa lo peduli?” Jackpot, pikiran kita sama. “Harusnya gue yang ngomong gitu kali, Roy.”Jurnalku sudah setengah jalan. Para mafia itu harus dilenyapkan. Tak bisakah manusia memberi hak untuk kebahagiaan manusia lainnya? Bukan malah merenggut paksa setiap hak bahagia yang dimiliki setiap orang lewat jalan pintas yaitu kriminalisasi, dalam bentuk apapun itu tak dapat dibenarkan.
“Maaf, Roy. Gue gak bisa ngabulin permintaan lo yang ini. kalo lo gak mau bantuin gue, mendingan gak usah ikut campur.” Aku berdiri meninggalkannya. Kebetulan kata-kata itu keluar tepat di depan gang rumahku, bukan rumah, lebih tepatnya kosan. Aku tak ingin melihat lagi ekspresi memelasnya. Aku tahu dia berkata seperti itu bukan berlandaskan kepedulian. Dia hanya tak ingin nyawanya ikut terseret ke dalam lingkaran setan juga. Dia terlalu egois. Itu menambahkan rasa benciku untuk dirinya bertambah banyak. Tak akan ada yang bisa menghentikanku untuk membongkar kebusukan para mafia itu.