gilbertagung
TS
gilbertagung
Rezim Militer dan Keajaiban Ekonomi Korea Selatan



Sekarang, masyarakat dunia, terutama remaja, mengenal Republik Korea, umum disebut sebagai Korea Selatan, dari beberapa hal. Dramanya yang menguras air mata, K-Popyang enerjik, dan kegemaran melakukan operasi plastik. 3 dekade lalu, dunia mengenal negara ini karena dua hal : Keajaiban ekonomi dan rezim militer yang otoriter. Korea Selatan pernah merasakan berada di bawah rezim militer selama hampir tiga dekade. Pertama, dari Mei 1961 hingga Oktober 1979 di bawah kepemimpinan Park Chung-hee. Kedua, dari September 1980 hingga Februari 1988 di bawah kepemimpinan Chun Doo-hwan. Sebuah pergerakan politik yang dimotori mahasiswa pada tahun 1987 akan membawa akhir bagi peran militer dalam perpolitikan negara ini meski kemajuan yang dimulainya masih terus berlanjut hingga sekarang.


Klik gambar untuk menuju sumber gambar

Kudeta 16 Mei

Park Chung-hee, berdiri di sisi paling kiri foto, bersama beberapa perwira militer Korea Selatan setelah berhasil mengudeta pemerintahan sipil pada 16 Mei 1961.
Korea Selatan mulai memasuki era kediktatoran militer menyusul sebuah kudeta militer pada 16 Mei 1961. Saat itu, Park Chung-hee dan beberapa perwira militer yang loyal kepadanya melakukan manuver di ibu kota Seoul dan menggulingkan Republik Kedua Korea, pemerintahan sipil demokratis yang baru berusia satu tahun lebih beberapa hari. Padahal, baru setahun sebelumnya, Syngman Rhee, Presiden pertama Korea Selatan yang memimpin pada periode awal negara itu dengan otoriter, diturunkan pada 26 April 1960 dan Korea Selatan memiliki presiden yang terpilih secara demokratis. Park kemudian menjadi pemimpin tertinggi negara tersebut dan mulai menjabat presiden pada 1963.

Keajaiban di Sungai Han

Aktivitas proyek Saemaul Undong di sebuah desa di Korea Selatan. Program yang digagas Park Chung-hee pada 1970 ini sukses mengangkat taraf hidup masyarakat pedesaan di negeri ginseng dan banyak ditiru negara lain.
Kalau Anda telah membaca thread saya sebelumnya yang berjudul Argentina, Kejayaan Masa Lalu dan Keterpurukan Masa Kini, mungkin Anda dapat mengambil kesimpulan bahwa apa yang dialami Korea Selatan adalah kebalikan dari yang dialami Argentina. Bila berkuasanya rezim militer Argentina malah membawa kemunduran bagi perekonomian negara tersebut yang sebelumnya makmur, kekuasaan militer di Korea Selatan justru menjadi katalis awal bagi perkembangan pesat negara yang sebelumnya sangat miskin ini.
Dengan kekuasaan penuh di genggamannya, Park memulai programnya untuk mengindustrialisasikan Korea Selatan. Meski telah dirancang sejak era Republik Kedua bahkan sejak zaman Rhee, baru pada masa kekuasaan Park, pembangunan ekonomi yang terencana dan sistematis dapat dilakukan. Hal ini sangat urgen untuk dilakukan mengingat kondisi Korea Selatan saat itu. Kontras dengan saat ini, Korea Selatan kala itu adalah salah satu negara termiskin di dunia. Mereka masih belum dapat keluar dari bayang-bayang kehancuran Perang Korea hampir satu dekade sebelumnya. Dengan pendapatan per kapita hanya 155,21 dolar AS pada 1960, Korea Selatan masih lebih miskin dari Filipina yang saat itu berpendapatan per kapita 254,44 dolar AS dan sekarang tertinggal jauh dari Korea Selatan. Bahkan, Republik Demokratik Rakyat Korea atau Korea Utara yang mendapat dukungan finansial dari Uni Soviet sudah mengalami perkembangan lebih maju daripada Korea Selatan. Kondisi dalam negeri juga bergejolak dengan meningkatnya inflasi dan kenaikan harga beras, bahan baku makanan pokok rakyat Korea Selatan, hingga 60% dalam 4 bulan (Desember 1960 - April 1961).
Dibuatlah rencana lima tahun pertama untuk periode 1962-1966. Fokusnya adalah ekspansi industri energi, terutama batu bara, pembangunan infrastruktur dasar sebagai pondasi bagi pengembangan industri selanjutnya, peningkatan ekspor dan penyeimbangan neraca pembayaran, dan pengembangan teknologi. Untuk merangsang ekspor, diberilah insentif kepada para konglomerat berbasis bisnis keluarga, chaebol yang akan berperan besar dalam kemajuan ekonomi tersebut. Pemerintah menguasai perbankan nasional dan menyalurkan kredit kepada para pengusaha besar untuk membantu ekspansi bisnis mereka. Proteksi bagi pengembangan industri domestik baru, seperti automotif, juga dilakukan. Contohnya, pembuat mobil asing tak bisa masuk sepenuhnya ke pasar Korea Selatan dan harus bekerjasama dengan perusahaan mobil Korea Selatan untuk melakukan penetrasi ke pasar. Ini pun memungkinkan perusahaan automotif Korea Selatan semacam Kia Motors dan Hyundai Motors berkembang. Sebagai konsekuensi, mereka harus memenuhi target produksi dan ekspor yang ditentukan pemerintah. Bila target terpenuhi, mereka akan mendapatkan kemudahan kredit, insentif pajak, dan dukungan birokrasi. Sebaliknya, bila gagal, mereka akan menemui kesulitan bahkan terancam diambilalih. Setelah periode pertama selesai, enam periode rencana lima tahun berikutnya dilaksanakan hingga tahun 1996.
Pembangunan memerlukan mata uang yang stabil. Pada 10 Juni 1962, mata uang Korea Selatan yang nilainya tergerus inflasi, hwan, diganti mata uang baru, won, dengan kurs 10 hwan per 1 won. Hwan ditarik sepenuhnya dari peredaran pada 22 Maret 1975. Antara 1962 dan 1997, Korea Selatan menerapkan kurs tetap. Kurs awal yang ditetapkan pada 10 Juni 1962 adalah 125 won per dolar AS. Pada 3 Mei 1964, won didevaluasi menjadi 255 won per dolar AS. 3 Agustus 1972, won didevaluasi lagi menjadi 400 won per dolar AS, 7 Desember 1974 menjadi 480 won per dolar AS, dan 12 Januari 1980 menjadi 580 won per dolar AS. Selanjutnya, dari 1980 hingga 1997, won mengambang terkendali terhadap dolar AS hingga mencapai level 800 won per dolar AS pada 1997.
Kebijakan luar negeri Park berfokus pada peningkatan dan perbaikan hubungan dengan negara lain. Pada Juni 1965, hubungan diplomatik dengan Jepang diresmikan. Ini pun memungkinkan aliran investasi dari negeri Matahari Terbit masuk ke Korea Selatan. Korea Selatan juga ikut mengirimkan pasukan ke Vietnam Selatan melawan gerilyawan komunis Vietcong dalam Perang Vietnam. Namun, hubungan dengan Korea Utara tetap memanas dan baku tembak di perbatasan sering terjadi.
Hasilnya sangat mengesankan. Pada periode pertama, rata-rata pertumbuhan Produk Nasional Bruto (Produk Domestik Bruto + Faktor produksi milik penduduk di luar negeri - Faktor produksi milik bukan penduduk di dalam negeri) mencapai 8,3%. Periode berikutnya (1967 - 1971) lebih mengesankan lagi, 11,4%. Keajaiban ekonomi ini lazim disebut sebagai Keajaiban di Sungai Han dan berlangsung hingga krisis finansial Asia 1997.
Pada 1970, Park memulai program untuk meningkatkan produksi pangan dan taraf hidup masyarakat pedesaan juga landasan bagi industri berat dan kimia. Di bawah program Saemaul Undong, 33.267 desa mendapat jatah 335 karung semen gratis per desa pada 1970. Mereka diminta menggunakan pemberian ini untuk pembangunan infrastruktur desa dan jika memenuhi target akan mendapat 500 karung semen dan satu ton baja lagi per desa. Ini pun turut merangsang industri semen dan baja. Meskipun program ini sukses mengurangi angka kemiskinan di desa dan meningkatkan tarif hidup mereka, arus urbanisasi ke kota besar tak dapat dicegah karena industrialisasi yang cepat membuat lapangan kerja di kota menjadi berlimpah dan menawarkan upah yang lebih menarik ketimbang di desa. Kesenjangan pendapatan antara desa dan kota tetap saja lebar. Ini juga menyebabkan kota-kota besar di Korea Selatan memiliki kepadatan populasi yang begitu tinggi, di samping Korea Selatan yang memiliki kepadatan populasi yang cukup tinggi di dunia. Namun, perkembangan ekonomi juga membuat angka kelahiran di Korea Selatan jeblok dan menimbulkan masalah demografis berupa peningkatan rata-rata usia penduduk, serupa dengan di Jepang, yang berarti semakin banyak jumlah penduduk berusia tua dalam komposisi penduduk.
Perusahaan Korea Selatan mulai aktif melebarkan sayap ke luar negaranya. Salah satunya ke Indonesia. Pada 1973, Hyundai memenangi tender sebagai kontraktor utama pembangunan Tol Jagorawi (Jakarta - Bogor - Ciawi). Proyek ini dikerjakan selama 5 tahun dan diresmikan pada 1979 sebagai jalur tol pertama di Indonesia.
Kemajuan yang diraih Korea Selatan ini berharga mahal. Sebagai konsekuensi dari keharusan menjaga stabilitas politik, pers disensor ketat dan perkembangan seni budaya, terutama industri perfilman, stagnan. Apalagi, Park menjadi semakin otoriter semenjak memperpanjang masa kepresidenannya, yang sesuai konstitusi harusnya berakhir pada 1971, dan menerapkan Konstitusi Yushin pada 1972 yang memantapkan cengkeramannya.
Masa kekuasaan Park berakhir dengan tewasnya sang diktator oleh peletuk pistol Kim Jae-kyu, direktur Korean Central Intelligence Agency (Badan Intelijen Korea Selatan) pada 26 Oktober 1979 saat sedang menghadiri jamuan makan malam. Lima tahun sebelumnya, 15 Agustus 1974, ibu negara Yuk Young-soo juga tewas ditembak oleh simpatisan Korea Utara yang sebenarnya menargetkan dirinya.

Rezim Militer Kedua dan Pergolakan Juni 1987

Suasana di Gwangju, sebuah kota di bagian selatan Korea Selatan saat terjadi protes massa menentang darurat militer. Pembantaian yang menjadi sejarah kelam bagi Korea Selatan terjadi di kota ini pada Mei 1980.
Kematian Park tidak secara otomatis mengakhiri periode rezim militer di Korea Selatan. Park digantikan oleh Choi Kyu-hah, Perdana Menteri Korea Selatan ketika pembunuhan itu terjadi. Namun, baru dua bulan menjabat sebagai acting (pejabat sementara) presiden, tepatnya pada 12 Desember 1979, seorang petinggi militer Korea Selatan, Chun Doo-hwan, melakukan kudeta terhadap pemerintahan Choi. Chun ketika itu memanfaatkan situasi pasca-pembunuhan Park untuk meningkatkan pengaruhnya. Ia yang ditunjuk untuk memimpin komite penyelidikan terkait insiden ini. Ia memerintahkan penangkapan Kepala Staf Angkatan Darat Jeong Seung-hwa atas dugaan terlibat dalam konspirasi pembunuhan Park. Lalu, unit-unit militer yang loyal kepadanya berhasil menguasai markas besar militer dan gedung Kementerian Pertahanan.
Meski Choi masih tetap menjadi presiden hingga Agustus 1980, wewenangnya tereduksi dan Chun secara de facto memegang kendali pemerintahan. Pada 17 Mei 1980, ia memperluas darurat militer yang telah diberlakukan sejak pembunuhan Park berdasarkan dugaan infiltrasi Korea Utara. Majelis nasional dibubarkan, universitas ditutup, dan aktivitas perkumpulan lebih dari 3 orang kecuali pemakaman serta partai politik dilarang. Sehari berselang, terjadi demonstrasi besar-besaran di Gwangju saat ribuan massa memprotes pemberlakukan darurat militer di depan pagar Universitas Nasional Jeonnam. Pasukan militer yang diterjunkan bentrok dengan massa dan berakhir dengan tewasnya kira-kira 606 orang (sumber lain menyebut 2.000 orang sementara laporan resmi pemerintah menyebut 200 orang), terutama mahasiswa, oleh tindakan represif aparat seperti penembakan dan pemukulan terhadap demonstran dalam konflik yang berlangsung sembilan hari ini. Peristiwa ini dikenang sebagai "Pembantaian Gwangju" dan menjadi salah satu tonggak sejarah penting dalam proses demokratisasi Korea Selatan. Peristiwa ini telah diabadikan sineas Korea Selatan dalam beberapa film, salah satunya A Taxi Driver (2017).
Pada 27 Agustus 1980, pemilihan presiden dilakukan oleh Konferensi Nasional untuk Unifikasi dengan Chun sebagai kandidat tunggal. Pemilihan ini diduga hanya untuk memformalkan kekuasaannya. Dari 2.525 suara, 2.524 memilih Chun dan 1 suara tidak sah yang diduga sengaja dibuat agar tidak terlihat seperti Korea Utara yang pemimpinnya mengklaim dukungan sepenuhnya dari pemilih. Chun mulai menjabat presiden pada 1 September 1980. Setelah berhasil meyakinkan Amerika Serikat, pemerintahan presiden Ronald Reagan mengakui pemerintahan militer Chun.
Korea Selatan kembali mengalami pergolakan politik pada tahun 1987. Pada 10 Juni 1987, mahasiswa mulai menggerakkan protes memperingati tewasnya mahasiswa dari Universitas Nasional Seoul bernama Park Jong-cheol yang menjadi ikon pergerakan ini karena keberaniannya untuk merahasiakan keberadaan kawan seperjuangannya saat diinterogasi dan disiksa hingga meninggal pada Mei 1987. Mereka menolak ditunjuknya Roh Tae-woo sebagai presiden baru Korea Selatan oleh dewan yang ditunjuk rezim. Mereka menuntut berakhirnya rezim militer dan pemilu bebas untuk membentuk pemerintahan yang demokratis. Gerakan ini menemukan momentum saat seorang mahasiswa Universitas Yonsei bernama Lee Han-yol terluka parah di kepala akibat terkena kotak logam gas air mata milik polisi saat ikut dalam demonstrasi di depan Universitas Yonsei pada 9 Juni 1987. Ia mengalami koma selama 26 hari hingga akhirnya meninggal pada 5 Juli 1987. Penderitaannya menjadi penyemangat bagi kawan-kawannya untuk terus menggerakan perlawanan melawan rezim militer Chun. Saat berdemonstrasi, mahasiswa meneriakkan "Kembalikan Lee Han-yol" selama 18 hari di bulan Juni. Ia pun juga menjadi ikon pergerakan demokrasi ini. Pemakamannya pada 9 Juli 1987 dihadiri lebih dari 1 juta orang dan menjadi salah satu peristiwa paling bersejarah di negara tersebut. Peristiwa ini juga telah diabadikan dalam film 1987 : When The Day Comes (2017).
Akhirnya, pemerintahan Chun bersedia menyelenggarakan pemilu yang bebas dan menyiapkan transisi menuju era demokratis.
Pergolakan politik ini uniknya tak mengganggu jalannya kemajuan ekonomi Korea Selatan secara terus menerus. Perekonomian bertumbuh rata-rata 8,9% pada periode 1980-1989 dengan masa resesi hanya terjadi pada 1980 sebagai akibat pergolakan politik pada tahun tersebut. Setelahnya, ekonomi selalu bertumbuh positif. Hal yang berbeda dialami Filipina yang pada periode yang sama juga mengalami proses demokratisasi (terutama pada 1986) namun diiringi dengan stagnasi ekonomi selama bertahun-tahun. Asian Games 1986 dan Olimpiade 1988 di Seoul juga berlangsung dengan lancar dan sukses.

Era Demokratis dan Krisis Finansial Asia

Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Keuangan dan Ekonomi Korea Selatan, Lim Chang-yuel (tengah) mengesahkan Letter of Intent antara IMF dan Pemerintah Korea Selatan, disaksikan oleh Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus (kiri), pada 3 Desember 1997 di Seoul. Seperti Indonesia, Korea Selatan juga meminta bantuan IMF untuk mengatasi krisis keuangan dengan nilai paket bailout mencapai 57 miliar dolar AS.
Korea Selatan mengadakan pemilu pertama di era demokrasi stabil pada Desember 1987. Pemilu ini menghasilkan Roh Tae-woo, mantan perwira militer sebagai presiden baru Korea Selatan untuk periode 1988 - 1993. Lalu pada periode 1993 - 1998, Kim Young-sam menjadi presiden non-militer dan demokratis pertama yang menyelesaikan satu masa jabatan penuh.
Perkembangan ekonomi Korea Selatan dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto. Pada 1967, PDB Korea Selatan adalah sebesar 4,7 miliar dolar AS (157,29 dolar AS per kapita). Pada 1996, angka ini telah menjadi 557,64 miliar dolar AS (12.249,17 dolar AS per kapita). Artinya, dalam periode 30 tahun, PDB Korea Selatan meningkat 11.764,68% dan pendapatan per kapita Korea Selatan meningkat 7.687,63%. Sebagai perbandingan, PDB Indonesia pada periode yang sama meningkat dari 5,98 miliar dolar AS (56,63 dolar AS per kapita) menjadi 227,37 miliar dolar AS (1.153,59 dolar AS per kapita) pada 1996. Peningkatan PDB sebesar 3.702,17% dan pendapatan per kapita sebesar 1.937,07%. PDB Korea Selatan sejak tahun 1984 telah melampaui Indonesia. Korea Selatan menjadi satu dari empat negara yang dijuluki Macan Asia. Tiga negara lainnya adalah Taiwan, Singapura, dan Hong Kong.
Namun, perekonomian Korea Selatan memiliki kelemahan struktural. Industri domestik sangat bergantung kepada kredit perbankan dan jumlah kredit macet perbankan Korea Selatan cukup tinggi, 30 miliar dolar AS pada 1997. Krisis mata uang di Thailand pun membongkar kelemahan ini dan memicu keterpurukan ekonomi terbesar kesebelas dunia saat itu. Beberapa perusahaan Korea Selatan mengambil kesulitan keuangan bahkan mengalami kebangkrutan. Kebangkrutan dimulai dari Kia Motors yang diambilalih Hyundai Motors. Grup Daewoo juga bangkrut pada 1999.
Kurs won terpuruk tajam, dari sebelumnya hanya 857,5 won per dolar AS pada 2 Januari 1997 menjadi 890 won per dolar AS pada 1 Juli 1997 hingga mencapai 1.960 won per dolar AS pada 23 Desember 1997. Bank of Korea tak dapat berbuat banyak untuk menahan laju depresiasi won karena cadangan devisanya yang kecil, hanya 8,9 miliar dolar AS pada Desember 1997. Dengan sektor perbankan terbebani kredit macet, perusahaan berguguran, dan utang jangka pendek 70 miliar dolar AS, masalah menjadi sangat pelik.
Akhirnya, pemerintah Korea Selatan terpaksa meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 57 miliar dolar AS pada 3 Desember 1997. Kontributor bantuan terdiri dari IMF (21 miliar dolar AS), Bank Dunia (10 miliar dolar AS), AS (5 miliar dolar AS), Jepang (5 miliar dolar AS), Bank Pembangunan Asia (4 miliar dolar AS), dan negara maju lainnya (7 miliar dolar AS). Sebagai bagian dari kesepakatan, pada 24 Desember 1997, mata uang Korea Selatan diambangkan bebas. Kini dengan kurs sekitar 1.100-an won per dolar AS, won Korea Selatan menjadi mata uang dengan nilai terendah di antara negara-negara industri maju maupun OECD.
Krisis ini juga membuat orang yang mengalami PHK membuka usaha waralaba ayam goreng dan membuat restoran ayam goreng bertebaran luas di Korea Selatan dengan jumlah sekitar 50 ribu. Kompetisi di sektor ini tergolong ketat dan banyak dari mereka bertumbangan.
Di Korea Selatan, krisis finansial Asia identik dengan IMF dan disebut sebagai "Krisis IMF". Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana IMF berperan dalam mengatasi krisis di Korea Selatan, silakan putar video berikut.
Diubah oleh gilbertagung 29-12-2018 01:23
7
19.1K
128
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
icon
6.5KThread10.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.