venomwolfAvatar border
TS
venomwolf
Terlemah Sejak Krismon & Terlemah di ASEAN, Rupiah Kenapa? 🔥
Jakarta, CNBC Indonesia- Depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Defisit transaksi berjalan yang masih terjadi, merupakan faktor penyebab rupiah tertekan luar biasa sejak awal tahun.

Pada Kamis (4/10/2018) pukul 12:00 WIB, US$1 ditransaksikan pada level Rp 15.180/US$ di pasar spot. Rupiah melemah 0,73% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Sementara sejak awal tahun, rupiah telah terdepresiasi hampir 12% atau hampir lima kali lipat dibandingkan depresiasi mata uang ringgit Malaysia. Bahkan dibandingkan mata uang seperti Kyat Myanmar, depresiasi rupiah masih yang terdalam.




Tertekannya rupiah tidak hanya datang dari dinamika global seperti normalisasi kebijakan moneter di AS dan perang dagang AS-China. Dari dalam negeri, proyeksi defisit transaksi berjalan di tahun 2018 menjadi beban tambahan.

Kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksi Current Account Deficit (CAD) di kisaran 3% pada akhir 2018. Proyeksi ini memicu kekhawatiran di kalangan investor, sebab penguatan rupiah akan jauh dari harapan. Terlebih sejak kuartal III-2011, Negeri Merah Putih belum lagi merasakan surplus transaksi berjalan



Lain hal dengan Singapura misalnya, negara tersebut selalu merasakan surplus transaksi berjalan pada tahun ini. Prestasi tersebut mampu meredakan dampak negatif ekonomi global sehingga depresiasi dolar Singapura tidak terlalu dalam.



Contoh lain dengan Malaysia. Depresiasi mata uang negara tersebut juga tidak terlalu dalam. Faktor penyelamatnya lagi-lagi kondisi transaksi berjalannya. Seperti halnya Singapura, di tahun ini Malaysia juga mampu meraih surplus transaksi berjalan



Gambaran ini memperlihatkan begitu fundamentalnya peran transaksi berjalan dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Maka fokus pemerintah saat ini, tidak lain bagaimana menghilangkan defisit yang ada.

Masalah defisit merupakan hal klasik yang sudah dipahami oleh pemerintah. Tinggal cara-cara serta kebijakan apa yang ingin ditempuh untuk mengatasinya.

Sejauh ini kebijakan yang telah dilakukan yaitu pembatasan impor hingga penerapan B20. Namun, kebijakan nampaknya tidak memberikan efek cepat dalam mengatasi defisit yang ada.

Dari sisi impor misalnya, Menkeu menyatakan pembatasan impor belum ampuh sebab permintaanya masih tinggi utamanya barang modal dan setengah jadi.

"Lihat komposisi impor, ini bisa calculate kalau ekonomi growing fast maka permintaan untuk dua komponen impor akan meningkat. Ini yang terjadi dalam 3 kuartal di 2018," kata Sri Mulyani dalam sebuah seminar Economic Outlook yang diselenggarakan UOB di Hotel Raffles, Rabu (3/10/2018).

Sementara dari sisi penerapan B20 mengalami permasalahan di lapangan. Wakil Ketua Umum III Gapki Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang mengatakan, sejak awal Gapki sudah mengingatkan implementasi perluasan B20 untuk non-PSO sulit terealisasi dengan cepat.

"Pemerintah harus berikan waktu lebih untuk penyesuaian. Masalah waktu pengantaran cukup atau tidak itu relatif, satu hari pun kadang bisa cukup. Tapi itu semua kan tergantung dengan situasi dan kondisi logistik," ujar Togar di sela Eurocham Seminar on Sustainable Palm Oil di Jakarta, Kamis (27/9/2018).

Hambatan realisasi di lapangan menyebabkan penggunaan bahan bakar bercampur kelapa sawit tersebut jadi terhambat. Hal ini berpengaruh terhadap niatan pemerintah untuk mengurangi defisit neraca migas.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2018, Defisit migas Indonesia di tahun ini membengkak hampir dua kali lipat dibandingkan periode 2017


Terhambatnya implementasi B20, tentu menyebabkan pemerintah masih sulit mengurangi impor migas. Akibatnya aliran devisa yang keluar semakin deras dan menekan posisi rupiah hingga saat ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


https://www.cnbcindonesia.com/market/20181004135140-17-36058/terlemah-sejak-krismon-terlemah-di-asean-rupiah-kenapa/2


Rupiah Tembus Rp 15.133, Ini Kata Ekonom Indef

JAKARTA — Pelemahan rupiah yang hingga mencapai Rp 15.133 pada Kamis (4/10) dinilai karena kurangnya koordinasi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk meredam sentimen negatif ekonomi global.

Berdasarkan kurs tengah BI, mata uang rupiah turun ke level terendah 15.133 per dolar pada hari Kamis (4/10), terlemah sejak krisis keuangan Asia pada Juli 1998. Sementara itu berdasarkan Bloomberg, rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini berada di Rp 15.120 per dolar AS, dengan depresiasi sebesar 12,04 persen sejak awal tahun.

Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Repo Rate sebanyak 125 basis points sejak Gubernur BI Perry Warjiyo menjabat pada Mei 2018 lalu. Saat ini suku bunga acuan telah mencapai 5,75 persen. Di sisi lain, cadangan devisa juga sudah banyak terkuras untuk menstabilkan rupiah.

“Dari sisi moneter saja tidak cukup. Masalahnya ada di tim kementerian ekonomi, termasuk Menkeu yang lambat merespon,” ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira kepada Kamis (4/10).


Ia mencontohkan kebijakan yang lambat direspons Kementerian Keuangan, yakni soal pengendalian impor hanya menyentuh barang konsumsi yang tidak signifikan. Efek dari Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor, hanya 5,5 persen dari total impor non migas.

Menurut Bhima, seharusnya 10 barang impor yang paling besar, termasuk besi baja yang dikendalikan. Karena besi baja dumping dari Cina menguras devisa secara signifikan.

“Kenapa itu (impor besi baja) tidak diatur? Ibarat orkestra musik terlihat simfoni kebijakannya tidak teratur. Miskoordinasinya terlalu parah. Moneter jalan kemana, fiskal jalan ke arah lain. Akhirnya menciptakan distrust dimata investor,” tutur Bhima.


Pemerintah harus dapat menekan defisit transaksi berjalan lewat pengendalian impor 10 barang terbesar lewat kenaikan bea masuk dan kebijakan anti dumping.

Langkah lain yang dapat dilakukan yakni memberikan insentif yang lebih besar dan jaminan kurs preferensial kepada pengusaha agar secepatnya konversi devisa hasil ekspor (DHE) ke rupiah.

“Saat ini, baru 13 persen DHE yang dikonversi ke rupiah, sisanya dalam bentuk valas” ungkap Bhima.

Cara cepat lainnya, kata Bhima, dengan mengurangi tarif pungutan ekspor untuk minyak sawit mentah (CPO) dari saat ini seharga 50 dolar AS per ton untuk yang mentah dan 30 dolar AS per ton untuk yang olahan, menjadi 20 dolar AS per ton.

Minyak sawit merupakan penyumbang devisa nonmigas terbesar. Adanya hambatan bea masuk ke India jadi persoalan yang membuat kinerja ekspor CPO tidak optimal.

“Jika pungutan ekspor direlaksasi sementara daya dorong sawit diharapkan menekan defisit perdagangan dan menguatkan kurs rupiah. Nanti disaat sudah mulai stabil ekspornya, pungutan ekspor CPO bisa dikenakan lagi” ungkap Bhima.

https://m.republika.co.id/amp/pg281s370

http://m.merdeka.com/amp/uang/rupiah-merosot-ke-rp-15100-an-per-usd-pengusaha-masih-tahan-harga-produk.html


https://www.liputan6.com/bisnis/read/3659336/rupiah-tembus-15158-per-dolar-as-ihsg-melemah-189-persen

http://m.bisnis.com/amp/read/20181004/9/845521/rupiah-kian-lemah-pemerintah-terus-pantau-impor-barang-konsumsi

https://m.kumparan.com/@kumparanbisnis/sri-mulyani-soal-dolar-tembus-rp-15-180-mayoritas-pengaruh-eksternal-1538631083585688795









0
3.9K
129
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread•40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.