mukamukaos
TS
mukamukaos
[TAMAT] Catatan Seorang Pengangguran (Kisah Nyata)






Quote:





Ilutrasi Kevin
(senyumnya mirip)


Catatan 1. Alasan Gue Resign

Selembar kertas HVS berukuran A4 ada di tangan. Gue teliti dari atas sampai bawah. Memastikan tidak ada kata-kata yang keliru maupun salah ketik. Tiga kali dibaca, tiga kali pula niat gue naik-turun seperti harga susu.

“Lu yakin?” tanya Dimas, rekan kerja gue selama 2 tahun terakhir.

Gue mengangguk, lalu membubuhkan tanda tangan. “Kalau gak sekarang, kapan lagi?”

****


Berbeda dari biasanya, pagi ini ruangan bos terasa menyeramkan lebih dari apapun. Padahal, kemarin gue masih bebas-leluasa masuk ke sini tanpa beban. Sekarang? Dada gue naik-turun. Ngos-ngosan tanda gelisah. Jantung berdebar seolah hendak meloncat keluar.

Ditemani gugup yang berlebihan, gue mengetuk pintu ruangan si Bos. Terdengar suara perempuan menyambut dari dalam.

“Siapa?”

“Kevin, Bu.”

“Masuk.”

Dengan mengucap bismillah, gue pun memasuki ruangan tersebut. Menemui Bu Christina untuk menyerahkan surat resign.

****


“Gimana?” tanya Dimas penasaran.

Gue menghela napas panjang.

“Gagal maning?”

Sebagai jawaban, gue menghela napas … lagi. Bukan sekali ini gue mengajukan resign. Sudah 2 atau 3 kali. Namun selalu sukses ditolak dengan alasan yang belibet.

Dimas cekikikan. “Mungkin Mak Lampir demen sama elu kali, makanya lu nggak boleh resign.”

“Mendingan gue mati.”

“Eh, lu belum jawab pertanyaan gue.” Dimas mengubah posisi duduknya. “Tadi gimana? Lu berhasil yakinin Mak Lampir?”

“Berhasil, sih,” balas gue lesu. “Tapi –“

“Tapi apa?”

“Tapi gue kudu nunggu ada pengganti buat ngisi posisi gue di sini.”

“Lah, kan ada si Fajar bagian HRD. Dia bisa gantiin posisi elu di sini, kan? Ngapain mesti cari orang baru?”

“Kata Mak Lampir Fajar nggak menarik,” jawab gue. “Dia takut kena polusi mata. Mak Lampir penginnya punya sekretaris yang enak dipandang. Itu syarat utama. Wajib!”

Dimas manggut-manggut sambil menggumam. Wajahnya sok serius. “Kok, bisa gitu, ya?”

“Bisa apa?”

“Mak Lampir kepingin punya sekretaris yang enak dipandang. Itu artinya, selama ini dia punya sekretaris yang enak dipandang, kan?”

“Terus?”

“Emangnya lu enak dipandang?”

Bangsyat!

****


Dua tahun gue habiskan waktu mengabdikan diri menjadi karyawan sebuah perusahaan XXX yang bergerak di bidang peternakan. Kebetulan gue bekerja di bagian kantor pusat, menjadi sekretaris pribadi.

Jaman sekolah dulu, gue pikir jadi sektretaris itu enak. Kerjanya santai. Macam di film-film atau sinetron.

Tapi fakta berkata lain. Dia tak segan menamparmu untuk menyadarkan bahwa ada kehidupan lain yang disebut realitas.

Menjadi sekretaris berarti bekerja penuh ketelitian dan komitmen. Mengatur jadwal, menerima telepon ini dan itu, menuruti apa yang bos mau, membuat berkas ini-itu, dan semacamnya.

Terdengar enak? Memang. Namun pekerjaan yang ‘terdengar enak’ itu tak luput dari resiko. Terlebih bila menyangkut jadwal si bos. Salah sedikit saja imbasnya bisa luar biasa. Bukan hanya mental yang terguncang akibat dicaci sepanjang hari, tapi juga gaji.

“Jadi alasan lu resign tuh sebenernya apa, sih? Bosan jadi kacungnya Mak Lampir?” Dimas bertanya disela kunyahannya. Kami sedang istirahat makan siang di KFC dekat kantor.

Gue mengangguk. “Elu tahu sendiri gimana Mak Lampir, kan? Manusia mana yang betah lama-lama kerja sama orang kaya dia?”

“Namanya juga kerjaan. Pasti ada resikonya.”

“Resiko apaan?! Okelah kalau dia nyuruh bikin berkas, jadwal, dan semacamnya. Itu memang tanggung jawab gue. Tapi kalau lebih dari itu, ya, mana gue sudi?”

Kening Dimas berkerut. “Maksudnya?”

Gue menghembus napas kencang. Selera makan mendadak sirna. Gue menyandarkan punggung di sandaran kursi. Memandang ke jalanan yang ramai lancar. Mengumpulkan keinginan untuk mengeluarkan unek-unek yang selama ini terpendam dalam hati. Dan sepertinya, mungkin ini waktu yang tepat untuk menumpahkan segalanya. Kepada satu-satunya sahabat yang dekat dengan gue di perantauan.

“Jadi gini, Dim,” kata gue memulai cerita. “Elu pasti pernah denger gosip tentang mantan-mantan sekretaris Mak Lampir yang resign. Mas Bayu, Mas Indra, Mas Dicky.”

“Denger-denger, mereka resign karena nggak betah, kan?”

“Mereka bukannya nggak betah, Dim. Tapi dipecat.”

Kedua alisnya bertemu. “Dipecat? Masa, sih?”

Gue mengangguk. “Iya. Mereka dipecat gara-gara … nolak jadi ‘kucing’-nya Mak Lampir.”

Dimas tersedak. “Buset! Serius?! Jangan bohong, lu!”

“Gue gak bohong! Mas Bayu yang kasih tahu gue,” balas gue meyakinkan. “Kata dia, mendingan gue ngajuin resign sebelum dipecat akibat nolak ‘permintaan’ Mak Lampir.”

“Lah, bukannya mendingan dipecat, ya? Maksudnya biar dapet pesangon gitu.”

Gue berdecak. “Lu salah kalau mikir gitu. Dipecat dari perusahaan ini, itu artinya elu mesti siap menanggung konsekuensi.”

“Konsekuensi apa?”

“Mak Lampir punya koneksi yang luas. Dia nggak ragu kasih kita ‘nilai merah’ ke temen-temennya. Imbasnya? Lu bakalan sulit diterima kerja di perusahaan-perusahaan gede. Mas Bayu contohnya.”

Dimas manggut-manggut paham sambil bergidik ngeri. Dari raut mukanya yang berubah, gue yakin dia mulai mengantisipasi kerja head to head bareng Mak Lampir.

“Kev, jangan marah, ya?” tanya Dimas ragu. “Mak Lampir pernah gak … ‘minta jatah’ ke elu?”

Gue kembali membuang pandangan ke luar. Ada jeda hening sebelum akhirnya gue menjawab.

“5 kali.”

Dimas tertegun.

“Tapi karena gue masih punya harga diri, makanya gue langsung minta resign.”

Dimas tidak berkata-kata lagi. Kami menghabiskan sisa waktu makan siang dalam diam.

“Mungkin itu alasan dia minta dicariin sekretaris yang enak dipandang,” simpulnya kemudian.

Gue mengedikkan bahu.

Entah apa yang ada dalam pikiran Dimas sekarang. Tapi yang gue percaya, pandangan dia mengenai pekerjaan gue telah berubah. Selama ini dia iri karena pekerjaan gue kelihatannya santai dan seperti makan gaji buta. Sayang sekali, bayangan indahnya harus terhempas dan hancur oleh kenyataan pahit yang keluar dari mulut gue. Sang sekretaris.

****


Sedikit mengenai si Bos. Namanya Christina. Seluruh karyawan memanggilnya Mak Lampir karena sifatnya yang emosional plus tempramental. Baginya, kesalahan merupakan aib. Dan aib tidak diijinkan menetap lama-lama dalam perusahaan. Jadi jangan heran bila setiap beberapa minggu, pasti ada saja karyawan yang dipecat atau mengundurkan diri akibat tekanan hebat dari Mak Lampir. Mengerikan. Namun sisi positifnya, perusahaan ini bisa lebih maju dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Di usianya yang menginjak kepala lima, harus diakui beliau masih tergolong sedap dipandang. Bila kalian tidak bertanya berapa umurnya, pasti kalian berpikir dia tante-tante usia 30 tahunan karena wajahnya macam Feni Rose. Pria mana coba yang tidak kesengsem?

Tapi di balik kesempurnaan fisik dan karirnya, menggiring pula gosip yang tak sedap. Kabar-kabur menyebut Mak Lampir kerap ‘main cowok’. Kabar tersebut santer terdengar sejak gue masih berstatus trainee.

Yang gue tahu, Mak Lampir masih jadi istri orang. Suaminya direktur sebuah perusahaan besar di Kalimantan. Jadwalnya padat sampai-sampai Mak Lampir dianggurin. Nah, karena itulah dia jadi ‘nakal’ sebagai pelampiasan.

Tadinya gue enggan percaya dengan semua gosip di atas. Yah, karena gue kan, sekretarisnya Mak Lampir. Sikap yang dia tunjukkan di depan gue berbanding jauh dengan gosip yang beredar. Jadinya gue sulit percaya. Hingga pada suatu hari, malah gue sendiri yang jadi ‘target pelampiasan’ Mak Lampir.

Horor.

****


“Belum ada kandidat, Mbak?” tanya gue ke Revi, HRD yang bertugas mengurusi karyawan.

Revi menggeleng. “Banyak sih yang ngelamar. Sayangnya gak ada yang semanteb elu.”

“Ya udah, makasih.” Gue pun beranjak meninggalkan ruang HRD dengan hati kecewa. Sudah seminggu berlalu sejak tawaran resign terkabul, tapi belum ada tanda-tanda akan hadirnya pengganti gue.

“Kang Kevin! Tunggu bentar!” Revi memanggil sewaktu gue hampir menutup pintu ruangannya.

“Apa?”

“Kalau sekretaris Bu Christina cewek, kira-kira dia mau gak ya?”

“Coba aja dulu.”

“Kalau gak mau gimana?”

“Ya, terserah! Pokoknya harus dapet! Biar gue cepet keluar, nih.”

“Ngebet banget sih, Mas? Emangnya Bu Christina kurang ‘hot’, ya?”

Maksud lo? “Mbak, gue nemuin lu ke sini bukan mau gosipin –”

“Makanya atuh, Kang,” Revi memotong, “punya muka jangan bikin engas tante-tante. Nggak baik!”

“Ngehe lu!”

Revi cekikikan dengan gaya menggelendot. Jijik sekali.

Untuk sekali dalam seumur hidup, baru kali itu gue menyesal dilahirkan dengan wajah yang ‘katanya’ bisa memancing nafsu tante-tante.

****


Perusahaan XXX menjadi perusahaan pertama dimana gue bekerja selepas sekolah. Waktu itu, kebetulan Mak Lampir sendiri yang mewawancarai gue. Tidak banyak yang dia tanyakan selain motivasi kerja, sedikit tentang bidang peternakan, dan sudah. Padahal ketika diwawancara, gue merasa tidak dapat menjawab pertanyaannya dengan baik.

Eh, seminggu kemudian, tiba-tiba gue dapat panggilan bahwa lamaran kerja gue diterima. Melalui telepon juga diumumkan gue bakal ditraining menjadi sekretaris.

Padahal gue tidak mendaftar jadi sekretaris.

Orang bilang jadi sekretaris itu enak. Kerjanya santai, dekat dengan bos dan kalau beruntung bisa dapat bonus. Entah bonus apa yang dimaksud. Namun kalau mendapat bonus berarti harus mengorbankan harga diri, lebih baik gue mundur saja.

Gue bukan cowok paling suci atau paling alim sedunia. Tapi karena gue masih percaya dengan ajaran agama, ya, mana mungkin gue langgar. Lagian gue percaya, masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik di luar sana.

“Kev, gue penasaran, deh. Elu berani ngajuin resign emangnya udah cari kerja lain? Atau malah udah dapet?” tanya Dimas suatu siang.

Gue tersentak, kemudian menggeleng. “Lah, kok, gue baru kepikiran ya?”

Dimas menepuk jidatnya. “Aduh, pegimane, dah! Gue kira lu udah punya rencana mateng.”

“Ah, itu mah gampang. Yang penting gue keluar dulu aja dari sini.”

“Tapi kalau gak ada rencana, lu mau ngapain selain nganggur?”

“Apa aja asal nggak kerja di sini. Dan kalau pada akhirnya gue dipecat, itu lebih baik ketimbang bikin engas Mak Lampir tiap hari.”

Dimas tergelak. “Makanya Mas, punya muka jangan bikin sang–”

Belum habis kalimatnya, sebuah kotak tisu mendarat di wajahnya. Dengan keras.

****


Tepat dua minggu sejak mengajukan resign. Gue mulai bosan. Kerjaan pun mendadak susut seiring Mak Lampir yang entah kenapa jarang terlihat kehadirannya di kantor. Tentu gue seneng karena di akhir masa kerja, gue leha-leha. Namun gue tidak terkejut kalau tiba-tiba Mak Lampir muncul dan memberi tugas seabrek.

Ketika istirahat makan siang, yang gue pikirkan kejadian. Mendadak Mak Lampir minta dibuatkan jadwal baru untuk beberapa hari ke depan. Karena masih bertanggung jawab, gue mengiyakan.

“Ngapain buru-buru? Udah, makan dulu. Biasanya juga dikerjain pas jam kerja,” cegah Dimas mendapati gue tiba-tiba bangkit.

“Sekali-kali.”

“Bilang aja lu masih kepingin kerja bareng Mak Lampir.”

Gue mengacungkan jari tengah dan beranjak menuju lantai tujuh.

Layaknya suasana kantor saat jam istirahat belum berakhir, hanya sepi yang menyambut. Jam menunjukkan pukul 12.45. Itu tandanya masih ada waktu 15 menit lagi sebelum jam makan siang berakhir serta mengantisipasi Mak Lampir datang.

Tidak rumit membuat jadwal Mak Lampir untuk beberapa hari ke depan, karena dia punya banyak waktu kosong. Jadi tidak perlu mengubah jadwal pertemuan penting atau kunjungan-kunjungan.

Sepuluh menit berkutat, akhirnya jadinya juga.

Sudah kebiasaan, selesai menyelesaikan tugas dari Mak Lampir, gue akan meletakkannya di meja kerjanya. Tidak peduli apakah orangnya ada di tempat atau tidak.

Gue ketuk pintu ruangannya. Tak ada jawaban. Mak Lampir nggak datang, batin gue dan langsung nyelonong masuk.

“Semoga ini tugas terakhir gue buat elu,” bisik gue sembari meletakkan tugas yang dia minta di atas meja, di antara berkas-berkas lain.

“Tidak ada kata terakhir.”

Gue dikejutkan dengan sebuah suara dan pelukan mendadak yang datang dari belakang. Mak Lampir.

Seolah tak peduli dia menggelayut manja di punggung gue. “Kamu tidak akan saya biarkan pergi. Kamu adalah kesayangan saya.”

“Bu, maaf,” kata gue berusaha melepaskan pelukannya.

Mak Lampir tidak menggagas. Pelukannya makin erat. “Jangan coba melawan. Apa yang kurang selama ini? Gaji? Tunjangan? Apa? Bilang sama saya. Saya tidak ragu kasih apapun asal kamu mau …” Tangan kanannya tanpa gue duga bergerak cepat menyentuh ‘pusaka’ gue.

Cukup! Ini keterlaluan. “Bu!” bentak gue. Mak Lampir tersentak. Gue melepaskan diri.

“Jangan kurang ajar! Saya punya harga diri!”

“Berapa harga yang harus saya bayar? Bilang!” pekiknya.

“Mulai detik ini saya keluar!”

“Mau jadi apa kamu kalau keluar dari sini? Gembel?”

“Itu lebih baik ketimbang kerja bareng orang seperti anda!”

Gue berjalan keluar. Menyambar tas beserta laptop.

“Kevin! Kamu akan merasakan akibatnya!” teriaknya.

Gue tidak peduli.

“Kamu akan jatuh miskin!”

Gue acungkan jari tengah. Berjalan cepat menuju lift. Membiarkan Mak Lampir berteriak-teriak seperti orang gila.

Gue bersandar sambil mengamati pantulan diri dari dinding lift. Marah. Panas. Jengkel. Semua jadi satu. Tiga tahun gue sabar menghadapi polah edannya. Tiga tahun pula gue makan hati. Tapi untuk kali ini, gue tidak tahan lagi.

Pintu lift terbuka setibanya di lantai satu. Gue keluar tanpa memperhatikan orang-orang yang mengantri.

“Kev!” Dimas memanggil sembari menggamit tangan gue. “Lu mau kemana?”

“Pergi!”

“Tapi …”

“Bye!”

BERSAMBUNG



NEXT : CATATAN 2 : TETANGGA ADUHAI

 


Story by Mukamukaos




JANGAN LUPA SHARE, KOMEN, KRITIK DAN SARANNYA !!

emoticon-Rate 5 Staremoticon-Rate 5 Star emoticon-Rate 5 Star



Spoiler for KHUSUS BUAT INDEX:


Polling
0 suara
Apakah agan atau sista pernah nganggur dalam waktu yang tidak sebentar?
Diubah oleh mukamukaos 29-03-2019 12:32
ferist123jalakhideungugalugalih
ugalugalih dan 83 lainnya memberi reputasi
76
426.2K
1.9K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.