Fatimah Azzahra

Tahun dua ribu tiga belas.
"Aku pikir kamu bakalan netap disana", ucap gua setelah mendengarkan pengalamannya selama berada di Yogyakarta.
"Sempet kepikiran untuk
stay disana sebenernya, tapi aku juga gak bisa nurutin ego ku terus. Kasian Mamah disini sendiri, gak ada yang nemenin".
Gua tersenyum mendengar jawabannya itu. Banyak yang berubah dari wanita ini.
"Kamu sendiri gimana sama Kak Sherlin ?", tanyanya kali ini seraya mengambil bantal sofa dan meletakkannya diatas kedua pahanya.
"Alhamdulilah aku sama dia masih baik-baik aja. Sama seperti dulu, masih deket, masih sering ketemu..", jawab gua sambil memperhatikannya yang kini sedang memakan kue. "Ngomong-ngomong, Ay...".
"Hm ?", dia melirik kepada gua seraya mengunyah kue dengan mulut yang tertutup. Lucu melihatnya seperti itu.
"Kamu disana dapet calon suami gak ?", tanya gua pelan.
"Ehm..", dia menelan makanannya. Lalu tersenyum dan mengambil sirup yang berada diatas meja untuk kemudian diteguknya sedikit. "Kira-kira menurut kamu gimana ?", tanyanya dengan tersenyum lebar.
"Aku gak tau. Kamu gak pernah cerita di bbm", jawab gua yang ikut tersenyum.
"Mmm.. Ck... Ada gak yaaa...", wajahnya pura-pura berpikir.
Gua tertawa pelan. "Hehehe.. Kenapa sok-sok ngegodain gitu ? Bilang aja kalo gak ada ma, Ay", ledek gua.
"Hahahaha... Enak aja, banyak tau yang antri. Bu Ustadz nya kayak yang apa ya, Mmm... Jodoh-jodohin aku gitu. Tapi akunya kurang
sreg aja", jawabnya setelah tertawa.
"Diminta ta'aruf gitu ya ? Kenapa gak cocok ?", tanya gua lagi.
"Iya kayak gitulah. Tapi akunya gak da
feeling masa mau dipaksa ? Kan yang dikenalin ke aku tu banyak, Kak. Hahaha.. Tapi alhamdulilah Bu Ustadznya ngerti", jawabnya lagi.
"Wiiih.. Primadona baru di kampung orang ceritanya nih ? Ahahahaha..".
"Iya dong..", jawabnya seraya mengerlingkan satu matanya dan tersenyum lebar.
Kami berdua pun tertawa siang itu di ruang tamu rumahnya.
Anastasya atau Helen memang baru saja kembali ke rumahnya setelah tiga bulan tinggal di Yogyakarta untuk belajar agama. Sedangkan Mba Yu hanya satu bulan menemaninya disana.
Selama di Yogyakarta Helen memang tinggal bersama Padhe dan Budhe. Toh memang mereka berdua yang membantunya dari awal ketika wanita keturunan Jerman itu memilih untuk menjadi seorang Mualaf. Kebaikan dan rasa sayang kedua orangtua tersebut membuat Helen kerasan di Yogyakarta. Tapi apa yang ia ceritakan tadi kepada gua memang ada benarnya. Sang Mamah sendirian di rumah. Kakaknya yang bernama Luna tinggal bersama sang suami di Australia. Sedangkan Papahnya yang memang sudah bercerai kini telah bersama keluarga barunya kembali ke Jerman. Dan gua baru saja bertemu dengannya hari ini setelah ia mengabari kemarin malam.
"Hai, Za. Udah lama ?", tanya sang Mamah yang baru saja pulang. Entah darimana.
Gua bangun dan mencium tangannya. "Iya Tante, udah daritadi saya ngobrol sama Helen. Darimana siang-siang gini, Tan ?", tanya gua balik.
"Abis arisan sama temen-temen kuliah dulu. Biasalah Ibu-ibu, Za", jawabnya tersenyum lebar.
Gua hanya terkekeh. Iya ya. Ibu-ibu, biasa suka arisan di Mall terus sekalian belanja. Kelihatan jelas karena banyak juga itu kantong plastik belanjaan yang ia bawa.
"Ay, nih coba kamu liat. Pas gak di kamu ? Ukurannya
all size", ucap sang Mamah seraya duduk di samping Helen setelah gua pindah ke sofa sebrang mereka.
"Apa ini, Mam ?", tanya Helen setelah menerima dua kantong plastik belanjaan.
"Buka dulu terus cobain. Mudah-mudahan cocok di kamu, sayang", jawab Mamahnya.
Helen terkejut melihat apa yang Mamahnya belikan itu. Dia hanya membuka kantung plastik tanpa mengeluarkan isinya.
"Mam ?!", tanyanya melirik sang Mamah dengan rasa terkejut dan tidak percaya.
"Udah sana cobain dulu", jawab sang Mamah.
Lalu Helen pergi ke salah satu kamar.
Gua yang tidak tahu apa yang Mamahnya belikan untuk anak bungsu kesayangannya itu hanya berfikir kalau paling-paling baju mewah dan semacamnya hingga membuat sang anak terkejut.
Sambil menunggu Helen kembali. Gua dan Mamahnya membicarakan kondisi kesehatan Beliau yang alhamdulillah sudah semakin membaik. Tidak lama waktu yang dibutuhkan wanita cantik itu untuk kembali ke ruang tamu. Dan apa yang gua lihat dengan kedua mata ini benar-benar membuat gua tidak percaya.
"Mam. Bagus banget ini. Aku suka. Pas tuh", ucapnya setelah berdiri disamping sang Mamah yang masih duduk di sofa.
"Syukur kalo pas. Iya sayang cocok di kamu..", jawab sang Mamah seraya memperhatikan penampilan anak bungsunya tersebut.
Lalu dia kembali duduk disamping sang Mamah dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Mam. Terimakasih banyak..", ucapnya lirih.
"Ay. Kamu sudah dewasa. Apapun keputusan kamu Mamah dukung sepenuhnya selama itu baik untuk diri kamu sayang", balas sang Mamah yang kini memegang kedua tangan anaknya tersebut.
Dengan berurai airmata ia peluk wanita yang sudah melahirkannya itu ke dunia ini.
Gua tersenyum melihat mereka berdua. Kejadian sederhana di ruang tamu ini benar-benar membuktikan kepada gua bahwa kasih Ibu itu sepanjang masa. Salah satu keputusan besar sang anak yang memilih untuk memeluk kepercayaan yang berbeda dari kedua orangtuanya tidak membuat mereka marah sama sekali. Sebaliknya, sang Mamah mendukung penuh keputusan tersebut dengan memberikannya hadiah sebuah mukena berwarna putih dengan gradasi warna emas.
Bahagialah kamu, Ay. Memiliki Ibu yang sangat mencintai dan sangat mengerti kamu.
Gua masih terpaku menatapnya. Ini adalah kali kedua gua melihatnya mengenakan mukena ketika pertama kalinya di mushola bandara Adisutjipto tiga bulan lalu. Dan pesonanya itu
benar-benar mengalihkan dunia gua.
"Kak, gimana ? Bagus gak ?".
"....".
"Kak ?".
"Eza ?".
"Za ? Reza ?! Hey!".
"Eh ii.. Iiya gimana, Tante ?".
"Ditanya kok malah diem aja ? Itu anak Tante pakai mukena, cocok gak, Za ?".
Gua tersenyum. Lalu menggelengkan kepala tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari anaknya itu.
"Andaikan bisa. Saya akan melamar bidadari yang sudah Tante lahirkan ke dunia ini", jawab gua yang kini sudah menengok kepada Mamahnya itu.
Beliau terkejut. Lalu melirik kepada sang anak.
Dia. Wanita itu... Bukan.. Dia sang bidadari dunia itu ikut terkejut dengan apa yang baru saja gua ucapkan.
"Beruntunglah lelaki yang akan mendapatkannya...", lanjut gua dengan tersenyum kepada bidadari dunia yang sudah tersenyum malu-malu.
"Kamu serius ?", tanya sang Mamah.
"Iya, Tante. Saya yakin lelaki yang akan mendapatkan Helen pasti beruntung", jawab gua.
"Bukan. Bukan itu. Maksud saya ucapan kamu sebelumnya.. Kamu beneran mau melamar Helen ?".
"Eh ? Mmm.. Itu.. Ehm.. Itu saya.. Saya ngekhayal, Tante. Maaf.. Maaf..", ralat gua yang tersadar sudah sembarangan.
Raut wajah sang Mamah berubah keheranan. Lalu Beliau melirik kepada anaknya. Begitupun dengan gua. Bidadari itu tertunduk malu, mencuri pandang kepada gua dengan tersenyum tipis.
"Za. Tante tau kamu. Tau keluargamu, keadaan kamu, dan kondisi kamu seperti apa untuk saat ini", ucapnya kepada gua. Kemudian Beliau melirik kepada sang anak lagi. "Kalo Reza serius. Apa kamu mau, Ay ?", tanyanya.
Bidadari itu terkejut. Lalu dia melirik kepada gua. Wajahnya menunjukkan kebingungan. Dan gua tahu dia bertanya tanpa kata.
Kamu serius ?. Gua yang benar-benar ingin pulang saat itu juga hanya bisa menggelengkan kepala kepada bidadari dunia itu agar dia mengerti bahwa gua tak akan mampu membimbingnya.
"Kalo Kak Eza berniat menikahiku karena cintanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan untuk ibadah kami. Insya Allah, Mam. Aku bersedia".
Dunia gua rasanya seperti berhenti sejenak saat itu juga. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan itu.
*
*
*
Cinta kan Membawa Mu kembali - cover by Mike Mohede
Dua bulan kemudian...
Gua baru saja pulang sore itu. Memasuki ruang tamu rumah, kemudian duduk seraya menyenderkan punggung ke bahu sofa. Kepala gua rasanya pusing selama dua bulan ini. Hati gua bimbang. Sama rasanya seperti bulan-bulan terakhir di tahun sebelumnya saat bersama Mba Yu. Tapi apa yang ia ucapkan tadi di rumah orangtuanya dan ucapan orangtuanya tersebut membuat gua kembali sadar. Mungkin ini waktunya.
Ibu baru saja keluar dari kamar yang sebelumnya menjadi tempat menyimpan barang-barang milik anak gua, Jingga.
Gua cium tangan Beliau setelah ia duduk disamping gua.
"Gimana ?", tanyanya.
Gua hanya bisa terdiam beberapa saat. Hati gua antara yakin tidak yakin.
"Za ? Mereka setuju ?", tanya Ibu lagi.
Gua menarik nafas lalu menghembuskannya dengan cepat. "Huufft.. Bu..".
"Ya, sayang ?".
"Apa Ibu yakin ?".
Tangan lembutnya mengusap pundak kanan gua. Gua melirik kepadanya yang duduk disisi kanan.
Beliau tersenyum. "Kamu yang harus yakin mampu. Kalo pernikahan kamu kali ini bukanlah beban. Jangan menyerah dengan keadaan, Nak. Niat baik, insya Allah Za, Allah meridhoi".
"Tapi, Bu..".
"Eza. Kamu pernah cerita sama Ibu. Dari dulu kamu selalu mengalami hal buruk dengan wanita. Dari kecil bersama Ibu kandung kamu. Terus pernikahan pertama kamu dengan Echa. Dan yang baru aja terjadi, sama Vera. Kamu selalu mengaitkan semuanya", ucapnya.
"Iya emang begitu kenyataannya kan ? Dan sekarang aku lagi mau mencoba menambah masalah baru", jawab gua malas.
"Bukan, Za. Sekarang waktunya Allah menunjukkan kepada kamu kalo mahluk ciptaan-Nya yang bernama wanita itu akan mampu membuat kamu bahagia. Udah cukup semua masalah dan kejadian buruk yang kamu alami. Ibu percaya kamu bisa.
Bismillahi tawakkaltu 'alallah la hawla wala quwwata illa billah. Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya. Tiada daya dan kekuatan selain-Nya, Za".
Airmata gua kini sudah menggenang dipelupuk mata. Kemudian gua memeluk Ibu, mendekapnya erat dengan sedikit tangisan. "Maafin aku, Bu", ucap gua dengan sedikit terisak.
Ibu mengelus punggung gua berulang-ulang dengan perlahan. "Kamu gak perlu minta maaf.
You deserve to be loved and happy".
...
Setengah jam kemudian gua sudah selesai membersihkan diri. Gua kenakan pakaian gamis berwarna abu-abu lengan panjang yang dipadu dengan celana denim berwarna hitam. Tidak lupa sebuah kopiah sudah terpasang sebagai penutup kepala ini.
Gua melihat sesosok lelaki di depan cermin itu. Seorang lelaki yang sangat gua kenal baik selama dua puluh empat tahun. Seorang lelaki yang berpakaian sama dengan apa yang gua kenakan. Gua bertanya kepadanya.
"Apa yang kamu cari sebenarnya ? Kebahagiaan macam apa yang kamu minta dari semua ini, Agha ?".
Tiba saat mengerti
Jerit suara hati
Sebuah pesan bbm masuk. Gua mengeceknya, ternyata balasan dari orang yang memang gua minta untuk datang ke rumah. Dia bertanya ada apa memintanya datang di waktu yang hampir masuk waktu Maghrib. Gua hanya membalas untuk segera datang secepatnya sebelum adzan berkumandang. Setelah itu dia hanya membaca chatt gua tanpa membalasnya.
Yang letih meski mencoba
Melagukan sesal yang ada
Lalu Gua naik ke lantai atas. Membuka pintu kamar saat gema adzan maghrib berkumandang. Lalu memasuki kamar tersebut dan mengambil kantong plastik persegi di sudut kamar. Barang yang memang gua beli satu bulan lalu dan sengaja belum pernah gua pakai sampai hari ini tiba. Gua ambil isinya dan kembali berjalan ketengah-tengah kamar.
Mohon tinggal sejenak
Lupakanlah waktu
Temani airmataku...
Teteskan larakuuu...
Sekarang gua sudah berdiri diantara ranjang di sisi kanan serta lemari pakaian di sisi kiri. Dan didepan sana, gua menghadap kearah pintu kamar ini. Satu kain sudah berada di posisinya. Kain satunya masih gua genggam.
Saat gua merentangkan kain baru yang sebelumnya gua ambil dari kantong plastik itulah seorang wanita berhenti tepat di depan pintu kamar.
"Ada apa manggil aku kesini ?", tanyanya bingung.
Gua baru saja berdiri setelah merapihkan kain tersebut. Gua menghela nafas lalu tersenyum.
"Apa kamu bersedia menjadi makmum ku, Ay ?", tanya gua balik seraya menunjukkan kain sajadah yang baru saja gua rentangkan itu.
Dia terkejut. Menutupi mulutnya dengan kedua tangan.
Bawa serta dirimu
Dirimu yang dulu
Mencintaiku apa adanya
"Ka.. Kamu.. Kamu serius, Kak ?".
"Ya. Untuk hari ini. Sampai nanti ajal menjemput izinkan aku menjadi imam kamu wahai Fatimah Azzahra", jawab gua.
Matanya sudah berkaca-kaca. Kemudian anggukan kepalanya membuat gua mengucap syukur dalam hati.
~ Wahai Bunbun ku tersayang Fatimah Azzahra. Terimakasih atas kesediaan dan keikhlasan kamu untuk menemani hari-hari ku. Terimakasih atas cinta dan kasih sayang kamu selama ini. Semoga aku pun selalu bisa membuat kamu bahagia.
*
*
*
'Cintakan membawamu kembali disini'