dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Hukumnya Menyuruh Karyawan Membawa Alat Kerja Sendiri
Hukumnya Menyuruh Karyawan Membawa Alat Kerja Sendiri

Kategori:Buruh & Tenaga Kerja

Ada wacana untuk meminta karyawan membawa sendiri notebook untuk kerja sehingga selain bisa menghemat biaya sewa juga biaya pemeliharaan notebook karena bila ada kerusakan karyawan diminta memperbaikinya sendiri karena itu bukan aset perusahaan. Pertanyaannya, apakah perusahaan diperbolehkan menerapkan rencana tersebut mengingat karyawan akhirnya harus menggunakan dana mereka sendiri untuk kepentingan perusahaan ? Terima kasih.

Jawaban:



Umar Kasim

Saudara penanya yang baik dan bijak.

 

Permasalahan dan pertanyaan yang Saudara sampaikan cukup menarik. Ada beberapa praktek yang mirip yang saya temui di beberapa perusahaan dan di kalangan pebisnis. Walaupun agak berbeda bentuk dan karakteristiknya, namun -hemat saya- konteks dan hakekatnya sama.

 

Wacana dari pihak manajemen perusahaan untuk meminta pekerja/buruh (atau istilah Saudara: karyawan) membawa peralatan kerja -milik pribadi-, seperti notebook, memang pada dasarnya tidak boleh, akan tetapi memungkinkan untuk diperjanjikan tersendiri. Oleh karena itu perlu dipahami hakekat dan konteksnya secara mendalam, khususnya oleh para pihak pengusaha dan juga karyawan. Sebab jika tidak, dikhawatirkan terjadi eksploitasi, baik terhadap diri pribadi karyawan, juga terhadap harta hak milik pribadinya.

 

Berkenaan dengan permasalahan tersebut, dapat saya jelaskan, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UU Ketenagakerjaan”) yang intinya, bahwa hubungan kerja adalah hubungan hukum untuk melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja antara pengusaha danpekerja/buruh.

 

Salah satu unsur hubungan kerja tersebut, adalah-adanya-perintah, yakni perintah -untuk melakukan pekerjaan(prestasi) sebagai prestasi yang diperjanjikan, -dalam arti, ditentukan job atau jenis pekerjaannya-, dan oleh karenanya dibayar upah (contra-prestasinya)[vide Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan].

 

Selanjutnya, menyimak lebih jauh dalam Pasal 54 UU Ketenagakerjaan menyebutkan, bahwa konten perjanjian kerja, sekurang-kurangnya memuat:

(a)   nama, alamat perusahaan, dan jenis usahanya; (b) nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh; (c) jabatan atau jenis pekerjaan; (d) tempat [lokasi] pekerjaan; (e) besarnya upah dan cara pembayarannya; (f) syarat-syarat kerja, memuat hak dan kewajibanpara pihak; (g) mulai dan jangka waktu berlakunyaperjanjian kerja; (h) tempat dan tanggal perjanjian kerjadibuat; dan (i) tanda-tangan para pihak.

 

Dengan demikian semakin tegas bahwa yang diperjanjikan dalam hubungan kerja (sebagaimana tertera dalam perjanjian kerja), -hakekatnya- hanyalah janji -untuk melakukan- pekerjaan sesuai dengan yang diperintahkan. Maksudnya, yang diperjanjikan adalah kesediaankaryawan untuk melakukan pekerjaan atas dasar perintah, baik yang tertera dalam perjanjian kerja -pada jabatan atau jenis pekerjaan yang ditentukan-, maupun yang dirinci lebih lanjut dalam peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB), atau yang detailnya dijabarkan dalam job description.

 

Dalam kaitan itu, hubungan hukum antara pengusaha dengan karyawan merupakan hubungan subordinasiatau hubungan “atas-bawah”, yakni hubungan antara atasan dengan bawahan (dientsverhoudings) untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan job-descriptionyang berbeda dengan perjanjian kemitraan yang -bersifat koordinasi- atas dasar kesetaraan (partnership).

 

Permasalahannya, bagaimana melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja? Prasarana atau sarana apa yang digunakan melakukan pekerjaan, dan disediakan oleh siapa?

 

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 50 dan Pasal 54 jo Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan tersebut di atas, seharusnya semua fasilitas dan alat kerja (sarana/pra-sarana) disediakan pengusaha. Bahkan merupakan kewajiban serta tanggung jawabnya perusahaan. Walaupun demikian, fasilitas atau prasarana / sarana kerja dimaksud -tentunya- tidak seluruhnya harus merupakan hak/milik perusahaan, akan tetapi bisa menyewa atau menggunakan peralatan (sarana/prasarana) atas dasar penguasaan atau kerjasama dengan pihak lain, termasuk dengan pihak karyawan.

 

Praktik penggunaan peralatan milik pribadi karyawan, dapat terjadi pada tenaga kerja (karyawan) dalam hubungan kerja atau tenaga kerja di luar hubungan kerja. Ada beberapa contoh -dalam berbagai perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan- yang dapat saya sampaikan antara lain sebagai berikut:

 

a. Di suatu perusahaan elektronik (sales and service), pada waktu merekrut karyawan untuk job pengantar barang pesanan dan penjemputan barang service, disyaratkan -harus- yang telah memiliki kendaraan bermotor roda dua. Dengan kendaraan itulah nantinya yang menjadi peralatan kerja dari karyawan melakukan pekerjaan untuk mengantar dan/ataumenjemput ke berbagai alamat. Namun penggunaan kendaraan roda dua milik karyawan tersebut (oleh perusahaan) tidak gratis. Akan tetapi diperjanjikan secara tersendiri melalui perjanjian sewa menyewa antara perusahaandengan pribadi karyawan.

 

Bagaimana menggunakannya, apa konsekuensinya, sejauhmana resiko dan beban tanggungjawabnya, termasuk maintenance atau handlingcost-nya diatur dalam pasal-pasal/klausul perjanjian antara mereka. Oleh karena itu, dalam kaitan ini ada 2 (dua) macam perjanjian antara karyawan dengan perusahaan, yakni:

1)    Perjanjian kerja yang memperjanjikan segala hal berkenaan dengan hubungan kerja. Apabila terjadidispute (perselisihan) dalam kaitan perjanjian kerjadimaksud, itu adalah merupakan wilayah lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, termasuk Pengadilan Hubungan Indsutrial (PHI);

2)    Perjanjian sewa-menyewa, memperjanjikan penggunaan peralatan (motor) milik karyawan oleh perusahaan disertai segala klausul yang mengantisipasi jika terjadi dispute. Namun dalam hal terjadi permasalahan, domain penyelesaian perselisihannya (sewa-menyewa), adalah merupakan kompetensi pengadilan umum (perdata). 

 

b. Selain itu, berbeda halnya di suatu perusahaan perkebunan (sawit) untuk suatu pekerjaan tertentu dan -hanya- ada pada masa-masa/musim tertentu (diantaranya -seperti panen). Dalam konteks ini, tenaga kerja direkrut untuk pekerjaan panen(-secaraborongan-) melalui perjanjian pemborongan pekerjaan(Pasal 1604 BW). Salah satu persyaratan yang ditentukan, adalah tenaga kerja membawa sendiri alat kerja yang diperlukan untuk panen, kecuali pengangkutannya. Walaupun, ada juga beberapa peralatan yang -memang- harus disediakan oleh perusahaan.

 

Dalam konteks seperti ini, hanya ada satu perjanjian, yakni perjanjian melakukan pekerjaan secara borongan. Namun tidak didasarkan atas perjanjian kerja. Dalam arti, tenaga kerja di-hire bukan dalam hubungan kerja, akan tetapi perjanjian pemborongan pekerjaan di luar hubungan kerja (vide Pasal 1604 jo Pasal 1601 BW).

 

c.   Demikian juga peralatan kerja dapat diperjanjikan melalui perjanjian kemitraan (partnership), seperti yang dilakukan di beberapa perusahaan / koperasi taksi. Model kemitraan tersebut dilakukan dengan cara dan ketentuan, bahwa -para- sopir taksi membeli (secara kredit) kendaraan operasional unit taksi. Artinya taksi tersebut adalah milik -para- sopir (sewa-beli). Kemudian taksi dimaksud diperjanjikan untuk diserahkan (dikelola) kepada perusahaan/ koperasi taksi -oleh masing-masing -para- sopir(selaku owners) yang sekaligus -nantinya- menjadi drivernya. Dalam perjanjian ini -oleh para pihak- dibuat rinci dan detail mengenai segala konsekuensi maupun resiko dan tanggung-jawabnya, termasuk handling-cost danmaintenance-cost serta perizinannya.

 

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan adanya contoh-contoh dalam praktik sebagaimana tersebut di atas, maka wacana yang meminta karyawan untuk membawa dan menggunakan alat kerja sendiri (termasuk note book) dalam hubungan kerjadi suatu perusahaan -tanpa memperjanjikan alas hakpenggunaan alat kerja tersebut, hemat saya tidak dapat dibenarkan.

 

Namun demikian, tentu dapat dilakukan jika diperjanjikan penggunaannya (alat kerja milik karyawan dimaksud) secara tersendiri yang konteksnya berbeda dengan konteks perjanjian kerja.

 

Demikian halnya dalam beberapa perjanjian tertentu, seperti perjanjian pemborongan pekerjaan(di perusahaan perkebunan) atau perjanjian kemitraan (di luar hubungan kerja), dimungkinkan untuk dilakukan secara langsung melalui perjanjian-perjanjian melakukan hubungan kerja, walaupun harus ditegaskan hak dan kewajiban para pihak dalam masing-masing perjanjiannya.

 

Demikian jawaban dan opini saya, semoga bermanfaat.

http://m.hukumonline.com/klinik/deta...-kerja-sendiri
1
3.8K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.