n4z1Avatar border
TS
n4z1
Ketika Siswa Pintar Kalah Dengan Siswa Bodoh!




Kisah Pendidikan di Indonesia memang tak pernah berhenti dipermasalahkan. Dari Menterinya, sistimnya, gurunya, sampai muridnya, selalu saja ada berita yang menarik untuk dibahas.


Bicara pendidikan, Indonesia kalah jauh dengan negara-negara yang dulu pernah belajar menyusun kurikulum pendidikan, termasuk mencetak guru. Contohnya Malaysia yang belajar ke Indonesia era tahun 70an. Kini Malaysia menduduki peringkat 62 dunia dengan skor 0,671 di Indeks Pendidikan UNDP. Sementara Indonesia hanya menduduki peringkat 108 dengan skor 0,603. Dan di Asia Tenggara, urutan tertinggi dipegang oleh Singapura, disusul Brunei Darussalam, lalu Malaysia, kemudian Thailand, barulah Indonesia menempati posisi ke 5.


Jepang, negara yang pernah luluh lantak karena perang, saat negara itu kalah perang akibat Hiroshima dan Nagasaki di bom atom, yang pertama-tama ditanya oleh Kaisar Hirohito adalah : Berapa jumlah guru yang tersisa. Nampaknya Kaisar Hirohito sadar, guru adalah penopang kemajuan bangsa.




Lantas, kenapa pendidikan Indonesia selalu digugat? Tak lebih karena sistimnya yang selalu berganti tiap ganti Menteri. Entah kenapa, mungkin biar terkesan punya andil besar bagi pendidikan Indonesia, padahal hal itu justru membuat pendidikan Indonesia jalan ditempat. Belum lagi masalah alokasi APBN untuk pendidikan. Dalam catatan APBN 2018, dari Rp.441,131 Triliun untuk Pendidikan, justru Departemen Agama memperoleh porsi terbesar untuk pembelanjaan pendidikan! Totalnya adalah Rp.52,681 Triliun! Dan dari alokasi dana Rp.441,131 Triliun itu, lagi-lagi sebagian besar dialokasikan untuk menggaji guru. Jadi jangan heran jika banyak sekolah-sekolah yang rusak tak bisa diperbaiki. Gurunya makmur, sekolahnya hancur! Parahnya lagi, masih saja ada oknum guru yang doyan memberi tugas di kelas sementara dia sendiri tak masuk kelas. Bahkan ada yang tak masuk kelas berminggu-minggu ke satu atau dua kelas dengan alasan kelas itu bermasalah kepadanya. Aneh bin ajaib. Mau gajinya, tapi tidak mau mengajar.
Lalu, manakah Kementerian yang disinyalir korupsinya termasuk tinggi? Jangan heran kalau Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama selalu menempati posisi tertinggi. Ajaib kan?




Kembali ke topik bahasan. Sistim penerimaan murid baru saat ini digugat. Apa lagi kalau bukan sistim Zonasi. Apa sih sistim Zonasi itu?
Ini menurut Menteri Pendidikan :


"Sistem zonasi merupakan landasan pokok penataan reformasi sekolah secara keseluruhan mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)," ujar Muhadjir Effendy dalam acara buka bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Rabu (23/5/2018) sebagaimana diberitakan Antara.

Melalui sistem zonasi tersebut, bisa diperkirakan berapa lulusan untuk masing-masing jenjang pendidikan.

Mendikbud memberi contoh misalnya untuk jenjang SMP di daerah itu yang lulus sebanyak 300 siswa, namun yang masuk ke SMA itu hanya 200 siswa.

"Nah, sekolah bisa mencari kemana 100 siswa lainnya. Jadi nanti sekolah memiliki inisiatif untuk mencari siswa yang tidak sekolah, sehingga wajib belajar 12 tahun bisa dimanfaatkan," ujarnya.


Bagus?
Ya baguslah. Semua yang masuk usia sekolah jadi terpantau. Disamping itu juga, memudahkan para pelajar untuk menuntut ilmu karena jarak rumah dengan sekolah tidak jauh. Dan yang terpenting, tidak ada lagi sekolah yang hanya diisi oleh siswa yang otaknya diatas rata-rata, sementara sekolah lainnya dianggap buangan karena diisi oleh siswa yang kemampuan belajarnya kurang.
Adil?
Bagi sebagian orang dianggap adil, tapi tidak bagi sebagian lainnya. Dan itu wajar, sebab tidak ada sebuah kebijakan dapat menyenangkan hati semua orang.


Lalu, apakah sistim Zonasi ini barang baru di dunia pendidikan? Salah besar! Sistim Zonasi sendiri sebenarnya sudah mulai diterapkan bertahun-tahun yang lalu di DKI Jakarta. Sistim itu bernama Rayon, dengan mengacu pada wilayah yang sama antara SD ke SMP, dan SMP ke SMA, SMEA atau STM. Bahkan sistim Zonasi sendiri banyak dipakai di propinsi-propinsi sejak tahun 2015. Jadi, kalau ada orang yang ingin mempersalahkan sistim Zonasi ini, banyak-banyaklah membaca berita.




Lalu, kenapa pada kenyataan dilapangan, justru banyak yang protes mengenai sistim Zonasi ini? Ada beberapa alasan, antara lain yaitu : Sekolah yang diminati dan dianggap sekolah favorit bukan termasuk dalam Zonasi. Yang kedua adalah SKTM. Ya, SKTM. Surat Keterangan Tidak Mampu. Selembar surat sakti sekarang dimanfaatkan segelintir orang mampu untuk mengklaim dirinya miskin. Tak peduli harga diri, tak peduli sangsi. Yang penting tujuan tercapai. SKTM yang di Jakarta laris manis dikejar untuk mendapatkan KJP, sekarang ini dikejar untuk memperoleh Sekolah Negeri dengan mensiasati aturan sistim Zonasi. Koq bisa? Bisalah. Dengan SKTM, siswa yang nilainya lebih rendah, bisa menyingkirkan siswa yang nilainya tinggi yang gak memakai SKTM. Adil? Ini baru gak adil! Bahkan baru-baru ini ada seorang masyarakat di Blora, Jawa Tengah, membuat laporan ke kepolisian perihal SKTM. Dia kesal karena melihat ada masyarakat yang memakai motor 250cc tapi mengurus SKTM untuk PPDB. Karena hal seperti inilah yang membuat anaknya yang mempunyai nilai tinggi harus tersingkir oleh siswa yang nilainya jauh lebih rendah dibanding anaknya. Bahkan lucunya di SMK Negeri 1 Blora, tempat anaknya gagal mendaftar, 95% yang diterima disana memggunakan SKTM! Ajaib kan? 95% keluarga siswa disana termasuk dalam golongan tidak mampu! Siapa yang salah? Ini yang salah sejak awal jelas RT dan RW orang yang licik itu. Selanjutnya kesalahan harus dilimpahkan kepada pihak sekolah yang tanpa cek dan ricek lagi langsung menerima siswa dimaksud.


Sistim yang seharusnya baik jadi rusak karena kelakuan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Mensiasati sebuah peraturan itu bukan pintar, tetapi licik!


Lalu yang terakhir, apakah siswa yang gagal mendaftar lantas tidak bisa sekolah di sekolah impian gara-gara terbentur SKTM? Tidak. Disinilah peran Pemimpin daerah seharusnya hadir. Dengan apa? Dengan senjata pamungkas yang bernama Diskresi. Diskresi sendiri adalah kewenangan yang dimiliki seorang Kepala Daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang bisa menjembatani sebuah peraturan yang tidak tertulis atau yang tidak lengkap. Dengan Diskresi, kisruh siswa yang tidak dapat sekolah padahal nilainya tinggi, seharusnya selesai. Tapi nyatanya, tidak ada Kepala Daerah yang menggunakan Diskresi ini. Bahkan seorang Kepala Daerah yang Mantan Menteri Pendidikan justru bungkam dengan urusan pendidikan di wilayahnya. Semua pengaduan tidak digubris. Dan soal diskresi yang pernah dia keluarkan untuk melegalkan wakilnya memakai sepatu kets dalam kedinasan, justru tidak dia keluarkan untuk menyelesaikan kisruh soal PPDB di wilayahnya. Lucu? Iya lah. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin dia terlalu sibuk bermain kata-kata dan mempersiapkan diri untuk maju pilpres.


Sekarang, semua berpulang kepada kaskuser untuk menilai. Mana yang salah, mana yang benar. Jangan memakai logika Kampret yang selalu memandang masalah dengan pola pikir terbalik. Berpikirlah dengan logika manusia yang berakal.

Demikian.


========


©n4z1 2018®


Isi thread : Hasil kajian sendiri dan dari beberapa sumber.
Gambar : Milik pihak ketiga dari Google.




Diubah oleh n4z1 20-07-2018 15:43
0
26K
212
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.