letnan.dirganAvatar border
TS
letnan.dirgan
Mengenal Komunitas YAHUDI di Indonesia


Penganut Yudaisme di Indonesia sudah ada sejak jaman Belanda, namun sampai saat ini hanya ada satu sinagoga di Indonesia yaitu di Sulawesi Utara.

Di dalam Sinagoga Shaar Hashamayim di Tondano Barat Sulawesi Utara pada Sabtu siang pertengahan Desember lalu, tampak satu keluarga, sepasang suami istri dan seorang anaknya, tengah beribadah.

Ibadah Sabat di Sinagoga kali ini hanya diikuti oleh empat orang; Rabbi Yaakov Baruch yang memimpin ibadah, dan Manuel Sadonda bersama istri dan seorang anaknya.

Mereka duduk terpisah, karena tempat duduk perempuan dan laki-laki batasi dengan menggunakan sebuah "sekat" atau pembatas.

Dalam beberapa doa yang dipanjatkan, Rabbi dan Manuel terlihat menggunakan Tallit, kain ibadah yang dipakai orang Yahudi. Usai ibadah, dilanjutkan dengan perjamuan yaitu minum anggur yang dilakukan di ruangan berbeda.

Yaakov mengatakan ibadah Yahudi lebih banyak dilakukan di rumah, sedangkan setiap hari Sabtu, ibadah dapat dilakukan di Sinagoga beratap merah yang didirikan sejak 13 tahun.


Puluhan kilometer dari Sinagoga Shaar Hashamayim, menorah setinggi 18 meter telah berdiri sejak 2009 lalu di atas bukit Manado.

"Dalam ibadah hari Sabat, sangat dibutuhkan minyan yaitu kuorum dari 10 orang laki-laki dewasa. Tanpa minyan, tak semua doa bisa dipanjatkan. Ini seperti kewajiban. Minimal ada 10 laki-laki Yahudi dewasa, baru beberapa doa bisa dibaca secara sempurna," ujar Yaakov kepada wartawan di Manado Eva Aruperes.

Sejak berdiri pada 2004 lalu, Sinagoga Shaar Hashamayim dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat yang mayoritas beragama Kristen.

Sentimen anti Yahudi di berbagai daerah terjadi karena konflik Israel-Palestina, dan sempat meningkat di dalam beberapa bulan terakhir menyusul pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel oleh Amerika Serikat.

Namun situasi tersebut, menurut Yaakov tidak berdampak pada kehidupan komunitas Yahudi di Sulut.

"Masyarakat Sulut apapun agamanya cukup dewasa dalam menyikapi setiap kejadian yang ada di sana, kita tahu ini bukan masalah agama tapi masalah konflik wilayah, jadi kita sudah serahkan semuanya kepada pemerintah kita untuk memberikan statement dan lain-lain menyangkut soal itu," jelas Yaakov.


Sinagoga Shaar Hashamayim di Tondano Barat Sulawesi Utara.

Meski begitu, Yaakov mengaku Sinagoga sempat mengalami gangguan seperti vandalisme seperti pencoretan pada dinding dan pencurian artefak.

Puluhan kilometer dari Sinagoga Shaar Hashamayim, menorah setinggi 18 meter telah berdiri sejak 2009 lalu di atas bukit Manado, ibukota Provinsi Sulut, atas biaya pemerintah. Selain itu, pemerintah setempat juga merenovasi sinagoga.

Di Sulawesi Utara, keturunan Yahudi Belanda leluasa mempraktekkan ajaran agama mereka secara terbuka sebelum kemerdekaan 1945. Namun setelah itu banyak yang berpindah agama menjadi Kristen atau Islam untuk keamanan mereka.

Yaakov sebelumnya bernama Toar Palilingan juga baru mengetahui dirinya memiliki darah Yahudi dari nenek dari ibunya ketika masih SMA. Kakek buyutnya dari garis keturunan ibunya adalah Elias van Beugen yang merupakan imigran Yahudi Belanda.

Dalam perjalanan ke Belanda dan Israel, Yaakov mengetahui dirinya keturunan van Beugen yang merupakan penganut Yahudi Ortodoks. Yahudi menganut matrilineal yang mengakui garis keturunan ibu. Namun, sejak lama keluarga ibunya telah berpindah dari agama Yahudi.


Kakek buyut Yaakov yang bernama Toar Palilingandari garis keturunan ibunya adalah Elias van Beugen yang merupakan imigran Yahudi Belanda.

Yaakov kemudian mempelajari agama Yahudi di Singapura, dan bekal itu yang membuat dirinya yakin untuk memimpin peribadatan di sinagoga di Sulut.

Pencarian jati diri

Di Jakarta, Elisheva Wiriaatmadja kembali menganut agama nenek moyangnya, setelah bertahun-tahun menjalani pencarian spiritualitas.

Elisheva mengatakan salah satu yang membuatnya kembali ke ajaran Yudaisme adalah nubuat dalam kitab suci Torah menyatakan bahwa keturunan Yahudi yang hilang akan kembali.

"Jadi mereka akan kembali lagi pulang ke agama, bahkan ke tanah mereka," kata Elisheva.

"Kakek dari kakek saya itu hari lahirnya sama dengan saya, dan dia Yahudi, ketika saya mengambil keputusan (pindah agama ke Yahudi) saya pikir kayak closing the circle ," tambah dia.

Elisheva dibesarkan dalam keluarga dengan ayah yang seorang Muslim dan ibunya beragama Kristen, dibebaskan memilih agama ketika dewasa.


Elisheva Wiriaatmadja kembali menganut agama nenek moyangnya, setelah bertahun-tahun menjalani pencarian spiritualitas.

Meski awalnya menganut agama ibunya, lebih dari 10 tahun lalu Elisheva mulai melakukan pencarian spiritual. Setelah dia mengetahui ada darah Yahudi mengalir di tubuhnya dari garis keturunan ayahnya dia pun mulai mencari dan mempelajari agama Yahudi.

"Pertama yang kelihatan itu karena bapak tampangnya kebule-bulean dikira keturunan Belanda, lalu sekeluarga pernah melakukan tes DNA dan ternyata ayah keturunan Eropa Timur, dan Yaman dari garis ibu," jelas Elisheva.

Elisheva pun sempat mengunjungi makam leluhurnya yang seorang Yahudi di Cirebon, namun sudah rusak tak terurus. Dia kemudian menemukan data mengenai makam dan data moyangnya yang keturunan Yahudi di Jewish History Museum di Belanda.

Sementara silsilah keluarga ibunya yang berasal dari Timur Tengah tidak terlacak karena minimnya dokumentasi.

Elisheva memutuskan menganut Yudaisme melalui konversi resmi di Australia.

"Untuk menghilangkan keraguan itu diresmikan saja dikonversi, karena garis keturunan ibu tidak terlacak, padahal keturunan keyahudiannya itu dari ibu, kesukuannya itu dari ayah," jelas dia.



Berbeda dengan Yaakov dan Elisheva yang memiliki darah Yahudi, Manuel Sadonda (34 tahun) bukan keturunan Yahudi.

Dia mengaku berpindah agama dari Kristen ke Yudaisme sejak tiga tahun terakhir karena merasa terpanggil.

"Berawal dari rasa penasaran terhadap kitab suci, lalu menemukan Yudaisme dan saya merasa nyaman memeluk Yahudi," kata Manuel usai beribadah di Sinagoga Shaar Hashamayim.

Kedatangan orang Yahudi ke Indonesia

Menurut Elisheva, ada sekitar 200 orang Yahudi yang menganut Yudaisme secara terbuka, dari ribuan orang keturunan yang tersebar di Indonesia.

Kehadiran orang Yahudi ke Indonesia memiliki sejarah panjang dan mereka datang dalami tiga gelombang, menurut Romi Zarman peneliti sejarah Yahudi di Indonesia dan penulis buku Di bawah kuasa Antisemitisme.

Pada awal abad 10 orang, Ishaaq Yehuda seorang Yahudi Oman berdagang di Sumatra dan tewas dirampok di wilayah kerajaan Sriwijaya. Tiga abad kemudian, lewat dokumen Geniza, diketahui bahwa seorang Yahudi Mesir berlabuh dan berdagang di Barus, Pesisir Barat Sumatra.



"Kehadiran orang Yahudi di negeri ini pertama-tama tampak didorong motivasi ekonomi berdagang, namun pada abad ke-16, dalam era Portugis, kehadiran Yahudi juga dilengkapi aspek lain di mana Politik Inkuisisi di Spanyol telah membuat Yahudi terusir," jelas Romi kepada BBC News Indonesia.

Kelompok ini menurut Romi bermigrasi di antaranya ke Asia. Kelompok ini ditemukan berdiam di Malaka. Gelombang kedua kedatangan orang Yahudi ke Indonesia terjadi pada 1602 sampai masa kolonial Belanda pada 1819.

Menurut Romi, sebagian besar mereka merupakan Yahudi Separdi, yang memiliki kemampuan berbahasa Arab dan menjadi penerjemah bagi perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indsich Compagnie (VOC) dan British East India Company (EIC), terutama di Aceh dan Banten.

"Sementara, Yahudi Askenazi (Eropa Timur) kebanyakan berkerja sebagai administrator dan ada yang tergabung dalam barisan serdadu VOC, adapun Yahudi Mizrahi (Timur Tengah) giat dalam bisnis dan menjalin kerjasama dengan siapa saja," kata Romi.



Orang Yahudi yang datang ke Indonesia bukan hanya penganut Yudaisme, namun juga terdiri dari Yahudi Arab beragama Islam yang bermigrasi bersama-sama dengan rombongan Arab.

Dalam penelitiannya, Romi bertemu dengan salah seorang keturunan Yahudi Arab dan menemukan mereka berkontribusi dalam penyebaran agama Islam di Nusantara.

Dalam catatan Romi, pada awal 1920an, orang-orang Yahudi ini antara lain tersebar di Kutaraja, Padang, Medan, Deli, Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya. Jejak peninggalan mereka saat ini masih dapat dilihat dari makam beraksara Ibrani seperti di Peucut Aceh, TPU Pertamburan Jakarta, Kembang Kuning Surabaya dan Manado.


Komplek kuburan orang Yahudi di Surabaya yang masih terpelihara.

"Komunitas Yahudi Surabaya adalah model terbaik dalam sejarah Yahudi di negeri ini. Upaya-upaya pembangunan Sinagog oleh Komunitas Yahudi Surabaya sudah dimulai sejak tahun 1923, jauh sebelum didirikannya Vereeniging voor Joodsche belangen in Nederlansch-Indie (Perhimpunan Yahudi di Hindia Belanda)," jelas Romi.

Kehidupan komunitas Yahudi di Surabaya

Pasangan Eli dan Florence Dwek yang menghabiskan masa anak-anaknya di Surabaya, menyebutkan pemerintah kolonial Belanda lebih terbuka pada komunitas Yahudi, sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang mewah, seperti ditulis dalam "The Demise of the Jewish in Surabaya".

Ayah Eli yang berasal dari Yerusalem bermigrasi ke Hindia Belanda pada 1920 untuk menemani kakaknya yang menikah dengan seorang Yahudi di Surabaya. Namun kehidupan mewah itu terhenti setelah meletusnya Perang Pasifik. Ketika itu banyak orang Yahudi di Surabaya dipenjara dan dijebloskan ke kamp oleh tentara Jepang.

Setelah Jepang kalah dari pasukan sekutu di akhir Perang Dunia II, para tahanan termasuk orang-orang Yahudi di Indonesia dibebaskan.

Pasukan sekutu juga mengembalikan properti dan bisnis komunitas Yahudi di Surabaya, meski begitu banyak dari mereka pindah ke negara lain diantaranya Australia. Dalam kondisi hamil, Ibu Eli kembali ke Yerusalem dan melahirkan Eli pada 1946. Ketika berusia tiga tahun dan situasi telah kembali aman, Eli dan ibunya kembali ke Surabaya.



Di masa kecil di Surabaya, Eli mengatakan seringkali merayakan pesakh dan Rosh Hashana dengan makan malam di kediaman Charlie Mussry yang merupakan pemimpin komunitas Yahudi Irak di Surabaya. Di kediaman Mussry pula seringkali digelar acara perkimpoian Yahudi.

Pada 1949, komunitas Yahudi membeli sebuah rumah di Jalan Kayun, yang diubah menjadi sinagoga satu-satunya di Indonesia.

"Sinagoga kami merupakan pusat dari kehidupan sehari-hari orang Yahudi- anak-anak dan orang dewasa belajar Torah, menjalankan ibadah Sabat, berkumpul di sebuah Sukkah, dan bersenang-senang dalam pesta kostum Purim," kata Eli dalam The Demise of the Jewish in Surabaya .

Sentimen Anti Yahudi

Namun, menurut Eli kehidupan komunitas Yahudi di Surabaya kembali berubah sejak Israel menguasai Semenanjung Sinai 1956.

Ayah Eli terpaksa menutup tokonya karena khawatir adanya perusakan dan untuk keamanan dirinya. Dalam catatan Eli dan Florence, situasi memburuk ketika Presiden Soekarno mengobarkan semangat nasionalisme dan membuat warga Eropa banyak meninggalkan Indonesia.


Aksara Ibrani di sebuah makam orang Yahudi di TPU Kembang Kuning Surabaya.

Dua tahun kemudian, ketika berusia 12 tahun, Eli dan keluarga Dwek pun meninggalkan Indonesia untuk pindah ke Israel. Sementara Florence Judah dan keluarganya pindah ke AS. Setelah dewasa Eli Dwek bertemu Florence Judah di Israel dan menikah di Los Angeles AS.

Konflik Israel-Palestina dianggap menjadi salah satu yang menumbuhkan sentimen anti Yahudi di Indonesia. Pada 2009, Sinagoga Beith Shalom di Surabaya sempat menjadi sasaran protes dari kelompok garis keras menyusul perang di Gaza pada 2008-2009 lalu.

Dalam survei nasional 'Tren Toleransi Sosial-Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslimin Indonesia, yang dilakukan Wahid Institute pada 2017, Yahudi berada di urutan ketiga sebagai kelompok yang paling tidak disukai, setelah komunis dan LBGT.

Meski begitu saat Abdurahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai presiden keempat, situasi politik dan sosial lebih terbuka. Keturunan Yahudi pun mulai terbuka mengenai jati dirinya.

"Di zaman itu banyak keturunan Yahudi mulai keluar 'dari persembunyiannya' salah satunya David Abraham pengacara keturunan Yahudi Irak, mulai bicara ke publik bahwa saya Yahudi," jelas Elisheva.

Setelah kembali ke Yudaisme, Elisheva selalu terbuka pada setiap orang mengenai identitasnya, dan dia mengaku tidak pernah mendapatkan pandangan negatif dari orang-orang di Indonesia ketika menyebut dirinya seorang Yahudi.


Eli dan Florence Dwek menikah di Los Angeles AS.

Situasi tersebut membuat keturunan Yahudi kembali saling terhubung. "Mulai ada perkumpulan dari situ kita cari rabbi untuk mengajar ke sini, " kata Elisheva.

Terakhir, Elisheva mendatangkan seorang rabbi untuk mengajar umat Yahudi dan membawa gulungan Torah ke di Papua.

Ketika sejumlah keturunan Yahudi mulai membuka identitasnya dan kembali ke agama nenek moyang mereka, pada 2013, sinagoga di Surabaya kemudian dijual oleh salah seorang anggota keluarga dan dihancurkan untuk dijadikan bangunan lain.

Mengenalkan Yahudi

Bagaimanapun, di Indonesia tak banyak orang mengenal atau bertemu dengan penganut Yahudi, dan lebih banyak mengenalnya melalui media.

Elisheva mengatakan seringkali pemberitaan media yang tidak tepat memunculkan sentimen negatif. "Contohnya berita soal orang-orang Yahudi melarang Muslim untuk ke Dome of The Rock, padahal kenyataannya hanya Muslim yang boleh, kami dan orang selain Islam tidak boleh masuk," kata dia.

Untuk membuat orang lebih memahami tentang Yahudi dan sumber untuk mempelajari Yudaisme, beberapa tahun lalu, Elisheva mendirikan Yayasan Eits Chaim Indonesia YECI bersama dengan adiknya dan seorang Yahudi keturunan Turki.

"Banyak sumbernya tapi bahasa Inggris, jadi kami membuat radio ketika itu, bikin artikel, hanya untuk menjelaskan apa yang lakukan dan ini kepercayaan kita," kata dia.

YECI sempat melakukan dialog antar agama, dengan tujuan agar orang lebih mengenal tentang Yahudi.



"Itu kita juga diundang, salah satu tujuannya juga supaya pengalamanlah ketemu sama orang Yahudi," kata dia.

Bahkan ada seorang pejabat yang tidak mengetahui tentang agama Yahudi. "Dia kebetulan Kristen, dia heran dan bingung, dia bilang Yahudi itu cabangnya Kristen ya, jadi semacam aliran Kristen, lalu dia tanya ke gereja kan?" jelas Elisheva sambil tertawa.

Pada April 2016 lalu, YECI menggelar peringatan Pesakh di Jakarta, yang dihadiri oleh sejumlah tokoh agama Islam dan perwakilan dari negara lain.

Melalui YECI pula, Elisheva seringkali dihubungi oleh orang-orang Indonesia keturunan Yahudi yang ingin mengenal agama nenek moyangnya.

"Namun banyak yang kemudian menghilang lagi," kata Elisheva yang menduga mereka belum mau terbuka.

KTP dan tempat ibadah

Jika penganut Yahudi di Sulut dapat beribadah di Sinagoga Shaar Hashamayim, penganut Yahudi di daerah lain melakukan ibadah di tempat-tempat pribadi. Salah satunya di tempat saya bertemu Elisheva, yang biasa digunakan untuk beribadah rutin dalam jumlah umat yang terbatas.

Namun untuk perayaan sulit dilakukan di sana karena tempatnya yang kecil.

Elisheva mengatakan dirinya lebih banyak mengikuti ibadah di luar negeri, terutama dalam perayaan keagamaan seperti di Singapura atau Bangkok.

"Ibadahnya lama sekali, harus buka gulungan Torah, dan di sini enggak ada," kata dia.

Dalam perayaan umat Yahudi juga selalu disuguhi makanan yang halal atau yang disebut kosher, dan itu sulit untuk didapat di Indonesia. "Lebih gampang itu keluar saja, belanja di Singapura atau Bangkok, mau impor juga akan sulit di custom nya," kata Elisheva.

Menurut dia, penganut Yahudi di Indonesia terpaksa melakukan 'kompromi' karena masih sulit untuk mengkonsumi makanan kosher."Jadi kita enggak bisa taat sesaleh-salehnya, karena tidak ada dukungan negara, sementara saya perlu label bahwa ini memang kosher," ujar Elisheva yang selama berada di Indonesia menjadi vegetarian.

Untuk masalah pendidikan, menurut Elisheva, anak-anak penganut Yahudi tidak mendapatkan pelajaran agama yang sesuai dengan keyakinannya, "Jadi banyak yang homeschooling ," kata dia.

Sementara untuk identitas di KTP, Elisheva memilih untuk mengosongkannya.



"Tidak ditulis agama jadi strip saja," kata dia.

Di Sulawesi Utara, menurut Yaakov, ada ratusan orang keturunan Yahudi, namun sebagian besar dari mereka tak menganut Yudaisme.

Beberapa tahun terakhir, beberapa orang dari mereka memutuskan kembali ke agama nenek moyang. "Itupun sangat terbatas dalam kemampuan menjalani agamanya," jelas dia.

Meski di sini penganut Yudaisme dengan bebas dapat menjalankan ibadah mereka, namun sampai saat ini tak dapat mencantumkan agama atau mengosongkan kolom agama mereka di KTP.

"Mengenai idetitas kami cukup berpikir logis agama kami ditulis, karena ini bisa menimbulkan spekulasi baru masalah baru, tapi seandainya kami boleh dikosongkan itu sudah lebih dari cukup, kami tidak minta kami ditulis Yahudi di KTP karena sensitif bisa menimbulkan masalah baru," kata dia.

Menurut Yaakov, saat ini yang penting bagi dia adalah penganut Yahudi bebas untuk menjalankan ibadahnya.







Komentar Orang-Orang Gila di UC News,kebanyakan Kaum sumbu pendek.

Silakan Berdiskusi dan Berperang Di Thread ini ya~
emoticon-I Love Kaskus emoticon-Sundul Up emoticon-Kaskus Banget

Budayakan hal dibawah ini, Biar HT
emoticon-Cendol Gan emoticon-Cendol Gan emoticon-Cendol Gan
emoticon-Rate 5 Star emoticon-Rate 5 Star emoticon-Rate 5 Star

Sumber : UC news dan Portal Berita Online Lainnya.
Diubah oleh letnan.dirgan 03-06-2018 10:39
0
3.2K
24
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.