azizm795Avatar border
TS
azizm795
Di RS Sumber Waras Jenazah 4 Mahasiswa Trisakti Terbujur
Baca juga : Diskusi "Sertifikasi Tanah: Manipulasi atau Reformasi Agraria?"
Hari itu Selasa 12 Mei 1998, atau tepat 20 tahun lalu. Aksi unjuk rasa mahasiswa Trisakti yang jauh dari anarkhis ternyata, di luar dugaan banyak kalangan, berakhir sangat dramatis. Hafidin Royan, Heri Hertanto, Elang Mulia Lesmana, dan Hendriawan Sie tersungkur dan kehilangan nyawa diterjang peluru aparat.
Peristiwa mengejutkan ini dan kerusuhan bermuatan SARA yang meluluhlantakkan Jakarta esok dan lusanya menjadi semacam siraman bensin yang mengobarkan perlawanan   hampir seluruh kampus di Tanah Air terhadap rezim otoriter Orde Baru.  Dari jurusan lain manuver juga dilakukan oleh para elit politik dan kaum cerdik-cendekia  dengan cara masing-masing untuk menumbangkan sang penguasa. Jelas, Peristiwa Trisakti merupakan titik anjak dari apa yang kini kita kenal sebagai gerakan reformasi.
Baca juga : Tak Ada Kekuatan yang Mampu Mencegah Takdir Keruntuhan Sistem Negara Era Reformasi
Hanya 9 hari setelah pembantaian di kampus Trisakti, Presiden Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun akhirnya menyerah dan mengalihkan kekuasaan ke wakilnya, BJ Habibie. Sejak kelengseran jenderal besar di masa krisis moneter yang parah tersebut wajah Indonesia banyak berubah. Secara demokrasi dan HAM negeri kita sudah jauh lebih baik. Namun, pada sisi lain, Republik yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 terus mengalami turbulensi politik; sampai hari ini pun demikian sehingga keadaannya semakin memprihatinkan.
Reformasi yang dimulai para mahasiswa—termasuk Hafidin Royan, Heri Hertanto, Elang Mulia Lesmana, dan Hendriawan Sie—tak terasa sudah berusia 20 tahun. Manfaatnya banyak; pun mudharatnya. Untuk memperingati gerakan tersebut kami mulai hari ini menurunkan serangkaian tulisan pelawan lupa. Berikut ini yang perdana, ihwal Peristiwa Trisakti. Selamat mengikuti.
***
Aku dan seorang kawan dari majalah D&R, berada di kitaran kampus Trisakti, Grogol, sejak siang 12 Mei 1998. Dua jam lebih kami memantau massa mahasiswa yang tertahan di depan kantor Walikota Jakarta Barat saat mereka hendak long march menuju Gedung MPR-DPR, Senayan.
Berorasi saja mereka. Di saat rasa jenuh mulai menghinggapiku, handphone  Nokia pisangku berbunyi. Fotografer kami menginformasikan bahwa para pendemo dan aparat keamanan berbenturan di  simpang Palmerah. Kami berdua bergegas ke sana dengan naik ojek.

Peluru aparat menembus kaca Trisakti (foto: D&R)
Informasi itu memang benar. Di simpang Palmerah kami melihat massa campuran berkonsolidasi setelah berkonfrontasi dengan aparat.
Satu jam lebih kami menunggu perkembangan di sana. Perbenturan tak berulang; yang terjadi sebatas dorong-dorongan.
Di saat memantau situasi itu handphoneku kembali berbunyi. Teman wartawan memberitahu: aparat menembaki pendemo di kampus Trisakti.  Mahasiswa ada yang meninggal. 
“Sial...kita kehilangan momen,”  kataku. Kami berdua cepat-cepat berlari mencari tukang ojek; mereka inilah andalan kaum peliput aksi unjuk rasa, kala itu.
Tukang ojek kuminta tancap gas. Ternyata jalan sudah diblokir selepas jalan layang Tomang. Kami hanya bisa menggunakan kaki: berlari atau berjalan cepat.
Di jembatan layang Grogol tampak aparat berjaga dengan posisi siap tempur.  Sangar tampang mereka. Kartu pers kami gantungkan di leher. Jalanan di depan kampus Trisakti lengang.
Saat berpapasan, ke seorang fotografer aku bertanya dimana mahasiswa yang ditembak. “Di dalam kampus,” jawabnya.  
Aku dan kawanku dari D&R  menuju kampus. Di mana-mana tampak mahasiswa yang terluka; ada yang ditembak dengan peluru karet, ada pula yang dipentung atau dipopor. Rekan-rekan mereka mencoba membantu dengan mengandalkan betadine, obat merah, plester luka, dan perban. Para mahasiswi menjadi juru rawat dadakan yang bertugas sepenuh hati. Sungguh pemandangan yang menggetarkan.
Aku ingin memastikan apakah benar ada mahasiswa yang tewas. Aku  bertanya ke sana ke mari dimana jenazah korban. Ternyata tak satu pun yang kutanya mengetahuinya.
Di saat aku nyaris menanggapnya itu mitos belaka, seorang mahasiswa memberi petunjuk.  “Sudah nggak di kampus. Kayaknya dibawa ke rumah sakit. Coba cek di Sumber Waras,” ucap anak muda yang disrempet peluru karet.
 
Ke rumah sakit Sumber Waras aku bergegas dengan setengah berlari; berada di belakang kampus Trisakti, jaraknya dekat saja. Kawanku entah sudah dimana; baru sadar aku kalau kami sudah berpisah.
Puluhan mahasiswa yang berjaga di pintu masuk RS Sumber Waras menghalau meski  kartu pers sudah kuperlihatkan. Seperti singa atau banteng luka, beringas betul mereka. Sumpah serapah mereka hamburkan. Sempat kaget dan kecewa juga aku melihat perangai mereka. Tapi aku segera menyadari: anak-anak kaum gedongan itu sedang shock berat. 

Meratapi kawan-kawan yang diterjang peluru (foto: Asiaweek)
Aku mundur beberapa langkah sembari terus memutar otak.
Dari jauh aku melihat para perawat bolak-balik mendorong pasien di atas tempat tidur beroda. Saking tergesanya sang perawat, sebuah infus jatuh dari tempat gantungan dan terseret di lantai. Jelas, ia tak menyadari apa yang terjadi. 
Spontan aku menerobos barikade mahasiswa untuk memperbaiki letak cairan asupan tubuh itu. Botol itu kembali ke tempatnya semula: cantelan di tiang. Perempuan itu  berterimakasih singkat ke aku sambil terus bergegas.
Aku menghentikan langkah. Eh...di luar dugaanku ia berpaling, meminta aku terus memegangi infus dan membantu dirinya mencari ruangan. Seketika jadilah kami mitra: ia sopir dan aku keneknya.
Rupanya ruangan penuh saking banyaknya mahasiswa yang terkena tembakan. Petugas yang mencari tempat,  berseliweran. Setelah bolak-balik kami akhirnya mendapatkan bilik lowong untuk si pasien.
Sekeluar dari sana aku menghampiri sekitar 10 mahasiswa yang berjaga di depan sebuah ruangan. Letaknya agak jauh di dalam. Menurut feeling-ku di sanalah jenazah berada.
Kupikir para mahasiswa itu melihat aku juga selama mundar-mandir bersama perawat. Wajar kalau aku berharap akan mereka beri kelonggaran. Aku pun menapak dengan mantap. 
Peran sebagai asisten perawat dadakan itu ternyata bukan tiket terusan bagiku. Tetap saja mereka melarang aku masuk. Kartu pers yang kukalungkan tak berarti di mata mereka.
Duka di acara pemakaman (foto: D&R)
“Siapa pun nggak boleh masuk!” seorang dari mereka membentak. 
Uh....! Begitupun aku tak menyerah. Kalau memang ada, aku harus melihat korban yang tewas. Itu sudah tekadku.
Sontak aku tersadar betapa rapuhnya penjagaan di sana. Cerita tentang banyak jenazah hilang sehabis penembakan di Tanjung Priok terlintas di otakku. Itu juga bisa terjadi di Sumber Waras ini, pikirku. Kembali aku mendekat.https://law-justice.co/di-rs-sumber-waras-jenazah-4-mahasiswa-trisakti-terbujur-.html

Sumber: www.law-justice.co

0
2.1K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.7KThread40.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.