• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Membandingkan Mourinho dan Guardiola Saat Ini Seperti Membandingkan Nokia dan Iphone

selokantetanggaAvatar border
TS
selokantetangga
Membandingkan Mourinho dan Guardiola Saat Ini Seperti Membandingkan Nokia dan Iphone


Dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap Jose Mourinho, namun mungkin begitulah kenyataannya sekarang. Mourinho (dulunya) adalah The Special One, namun kejeniusannya mulai dipertanyakan orang setelah munculnya seorang pria botak bernama Pep Guardiola.


Mourinho jelas berhak mentasbihkan dirinya sendiri sebagai The Special One melihat prestasi yang telah diraihnya. Dia berhasil membawa FC Porto (siapa ya?) menjadi juara Liga Champions, kemudian di Chelsea dia berhasil memporakporandakan kenyamanan Sir Alex Ferguson dengan Manchester Unitednya. Bahkan setelah dipecat Chelsea dia malah mampu membawa Inter Milan meraih treble. Jadi kita harus sepakat bahwa Mou memang pantas disebut sebagai The Special One, atau paling tidak dulunya lah emoticon-Leh Uga.

Reputasinya tersebut membawanya ke Real Madrid. Keberhasilannya mengalahkan Barcelonanya Guardiola bersama Inter membuat manajemen El Real yakin bahwa Mou adalah pilihan tepat untuk mengakhiri kedigdayaan Barca dan Guardiola di La Liga. Meskipun gagal di musim pertamanya, namun di musim kedua Mou berhasil membawa El Real menjadi juara sekaligus mengakhiri era Guardiola di Barcelona. Mou kembali berhasil mengalahkan Guardiola dan membuktikan bahwa dia masihlah The Special One. Tapi benarkah begitu? Menurut saya keberhasilan Mou membawa El Real juara justru menjadi titik balik dari karir gemilangnya sebagai pelatih.

Sebelum menginjakkan kaki di La Liga, bisa dikatakan Mou adalah seorang pelatih istimewa yang selalu menjadi the one to beat di setiap liga yang diikutinya. Dia seperti menjadi musuh bersama bagi setiap manajer dan mengalahkan Mourinho selalu menjadi sesuatu yang spesial. Mou sangat percaya diri dan sering seperti kurang menghargai para pelatih lainnya, bahkan yang lebih senior sekalipun. Ini adalah tipikal Mourinho sebagai The Special One, sangat percaya diri, angkuh, tidak tahu etika namun selalu berhasil menjadi juara. Dan semuanya seperti menghilang justru setelah dia berhasil menumbangkan rival terbesarnya, Pep Guardiola.


Setelah musim tersebut Guardiola cabut dari Barcelona yang seharusnya itu menjadi angin segar bagi Mourinho. Namun kenyataannya Mou malah dipecat oleh Los Blancos. Selain hasil yang kurang memuaskan, konflik antara Mou dan para pemain bintang Real Madrid menjadi penyebabnya.  Sebelum ini Mou dikenal sebagai pelatih yang pandai memainkan psy war. Dia akan dengan mudah berkonfrontasi dengan lawannya, bahkan dengan media untuk membela anak asuhnya. Namun dia kehilangan itu di Madrid. Dia justru sibuk berkonfrontasi dengan para pemainnya sendiri. Disinilah terlihat bahwa mourinho telah kehilangan keistimewaannya.

Bisa dikatakan Guardiola adalah sosok dibalik runtuhnya Mourinho. Kemungkinan Mourinho dulunya membayangkan bahwa dirinya adalah seorang pelatih muda brilian yang mampu mengalahkan para seniornya bahkan yang berstatus legenda sekalipun sehingga dalam angannya dia akan selalu dikenang sebagai yang terbaik, sebagai The Special One. Namun saya rasa dia begitu terkejut bahwa saat dia merintis jalannya untuk menjadi yang terbesar, tiba-tiba muncul seorang pelatih baru yang lebih dielu-elukan oleh dunia sepakbola dan dipuja akan kejeniusannya. Sepertinya inilah yang benar-benar mengguncang dirinya (atau egonya). Dan bila kita membandingkan Mourinho yang dulu dan sekarang, maka yang akan kita lihat adalah seorang pria yang tengah kebingungan menghadapi hari tuanya.

Mourinho yang sekarang bukan lagi Mourinho yang dulu. Dia bukan lagi seorang pelatih yang rela mengorbankan dirinya untuk berkonfrontasi dengan media demi mengamankan anak didiknya. Sekarang dia justru lebih sering berkoar di media dan mengkritik anak didiknya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Kepulangannya ke Chelsea dan keberhasilannya membawa Chelsea kembali menjuarai liga Inggris ternyata tidak berdampak signifikan pada dirinya. Sempat mengklaim dirinya sebagai The Happy One (entah itu sebutan untuk menggambarkan betapa bahagianya dirinya atau karena keputusasaannya karena menyadari dirinya bukan lagi The Special One) dan berhasil membawa Chelsea kembali menjuarai Liga Inggris, namun Mou kembali dipecat dengan alasan yang nyaris sama, prestasi yang kurang baik dan hubungan internal yang buruk dengan beberapa pemain maupun staff The Blues.


Yang paling diingat tentu adalah perseteruannya dengan Eva Caneiro, dokter tim The Blues akibat sesuatu yang sebetulnya sangat sepele. Jujur saja menurut saya ini sangat memalukan. Terlihat jelas ambisi buta dari Mourinho yang rela mengorbankan segalanya demi kemenangan. Maksud saya bagaimana bila saat itu Eden Hazard benar-benar cedera parah. Bilapun tidak, apa pantas hal tersebut menjadi suatu masalah yang sedemikian besar. Mou bukanlah anak bawang dan biasanya dia mampu menangani masalah internal seperti ini dengan sangat baik. Namun sekali lagi Mou yang sekarang bukan lagi Mou yang dulu. Dulu dia bisa dengan mudah mempermainkan emosi lawannya, namun sekarang dia bahkan kesulitan untuk mengontrol egonya sendiri. Dan bisa saya bilang ini masih berhubungan dengan rivalitasnya dengan Guardiola.

Mou mulai menemukan musuh yang bisa dibilang lebih hebat dari dirinya dan hampir tidak pernah terpengaruh oleh setiap psy war darinya. Mou adalah seorang ahli strategi dan dia sering merubah taktiknya tergantung dari lawan yang dihadapinya. Hal ini kemudian sering membuat lawan kebingungan dan hanya menebak-nebak taktik apa yang akan dipakai oleh Mourinho sehingga bisa dikatakan Mou telah mengambil kendali permainan sedari awal. Tapi Guardiola berbeda. Dia tidak pernah peduli dengan taktik yang akan diusung oleh Mourinho. Dia hanya akan memainkan tim terbaiknya dengan gaya main tiki-taka khas miliknya tanpa terlalu peduli apa yang akan dilakukan lawannya. Psy war yang menjadi senjata simpanan Mou pun tidak pernah efektif bila yang dihadapi adalah Guardiola. Disini Guardiola sudah unggul selangkah dari Mourinho. Dan isu akan datangnya Guardiola ke Manchester City untuk menggantikan Pelegrini sepertinya membuat Mou kian senewen, dan setelah Eva Caneiro Mou kemudian terlibat konflik dengan Eden Hazard yang notabene adalah bintang utama Chelsea. Dan cerita terulang kembali untuk Mourinho. Timnya merosot dan dia dipecat dengan meninggalkan konflik dengan anak didiknya. Mungkin dia memang bukan lagi The Special One ataupun The Happy One, hanya seorang pria pemarah yang bingung dengan masa depannya.

Akhirnya Guardiola tiba juga di Manchester City, dan nasib baik (atau burukemoticon-Big Grin) akhirnya datang kepada Mourinho. Setelah dipecat Chelsea Mou justru dipercaya menukangi Manchester United. Banyak yang beranggapan memang MU tidak punya pilihan lain selain Mourinho untuk menghadapi Guardiola di City, dan sayapun sempat berharap Mou sudah belajar dari kesalahan-kesalahannya dan menjadi seorang yang lebih bijak. Sama-sama kurang berhasil di musim pertamanya, Mou menatap musim keduanya dengan sangat antusias. Dia biasa memenangi liga di musim keduanya dan olah karena itu dia sesumbar bahwa MU akan memenangi Liga Inggris musim ini. Dan seperti kita ketahui bersama saudara-saudara, dia berhasil dipecundangi mentah-mentah oleh Guardiolaemoticon-Selamat.

Sudah sewajarnya bila tim-tim lain menjadikan juara bertahan sebagai acuan dalam mengembangkan timnya. Inilah yang dilakukan oleh Mourinho, menjadikan Chelsea sang juara bertahan sebagai referensinya. Dan dia sangat berhasil. Bila musim lalu MU tertinggal jauh dari Chelsea, musim ini MU unggul atas Chelsea. Dan mungkin seharusnya dia menjadi juara bila tidak ada Pep si Botak di City. Pak Botak tidak mengambil tim lain sebagai referensi. Dia punya visi sendiri tentang seperti apa timnya seharusnya bermain. Dia tidak menjadikan tim lain sebagai standar tapi dia menciptakan standar untuk tim lainnya. Musim lalu barisan belakang City tidak bisa memenuhi ekspektasinya dan oleh karena itu, dia menghabiskan dana begitu besar untuk mereparasi lini belakangnya. Dan hasilnya meskipun dia belanja untuk lini belakang sementara lini depan nyaris masih sama dengan komposisi musim sebelumnya, City berhasil tampil sangat tajam dan telah berhasil mencetak lebih dari 100 gol bahkan sebelum musim berakhir. Keyakinan Guardiola pada filosofi sepakbola menyerangnya dengan membeli para pemain bertahan (bahkan kiper) yang bisa memainkan bola telah berhasil merubah Manchester City menjadi tim yang sangat mematikan sekaligus menghibur. Gelar piala Liga telah diraih dan juara Liga Inggris hampir pasti menjadi milik City. City bukan hanya sekedar menjadi juara, namun mereka berhasil melakukannya dengan gaya. Jadi andaipun musim ini gagal memenangkan Liga Champions, City akan tetap dianggap sebagai salah satu tim yang memainkan sepakbola terbaik di Eropa.


Bagaimana dengan Mourinho? Sempat cukup menjanjikan di awal musim namun sekarang peluang juara hanya tinggal di piala FA. Dan kerapuhan Mourinho mulai terlihat lagi. Mou pernah berkomentar bahwa keberhasilan City saat ini adalah karena belanja pemain mereka yang begitu boros. Dia juga mulai terlibat konflik dengan beberapa pemain United yang dianggapnya tidak bermain seperti yang diharapkannya. Dan semua itu malah semakin memperlihatkan betapa dia inferior atas Guardiola.

Masalah belanja pemain sebagai contoh, MU adalah klub terboros di Liga Inggris dibawah City. Jadi kita boleh beranggapan wajar kalau dia ada di bawah City. Tapi belanja MU juga jauh di atas Hotspurs. Artinya secara bodoh bila alasannya adalah besarnya belanja pemain ya MU boleh ada di bawah City, namun harusnya dia bisa jauh meninggalkan Hotspurs dong.
Sekarang bila kita bahas lagi, para pemain yang dibeli oleh Guardiola hampir semuanya sesuai dengan ekspektasi dan bisa bermain sesuai keinginan Guardiola. Bagaimana dengan belanja Mourinho? Paul Pogba yang menjadi pembelian termahalnya akhir-akhir ini malah sering dicadangkan. Sementara Sanchez yang digaji paling mahal tidak mampu memberikan dampak seperti yang diimpikan oleh Mou. Jadi bisa dikatakan selain kalah nominal belanja, Mou juga tidak mampu mengeluarkan potensi terbaik pemainnya.


Lha bagaimana mau tampil baik bila mereka dipaksa bermain sesuai taktik andalan Mou, parkir bus!emoticon-Om Telolet Om!. Mou terus mengulang kesalahan yang sama semenjak dia di Real Madrid. Di Madrid dia pernah mengkritik Ozil bahkan CR7 yang dinilainya kurang mau membantu pertahanan. Dia melakukan itu lagi di Chelsea terhadap Hazard. Dan kini di MU dia mengatakan hal yang sama terhadap Pogba! Kalau memang dia ingin pemainnya bertahan semua kenapa juga dia harus memasang seorang striker? Maksud saya begini, seorang striker atau winger yang bermain di tim besar, tentu memimpikan timnya akan bermain menyerang. Bilapun harus sesekali membantu pertahanan, anggaplah melawat tim yang secara kualitas diatasnya mereka juga pasti akan siap. Namun bila mereka terus dibebani kewajiban untuk membantu pertahanan, siapa juga yang tidak kesal.

Jadi sampai kapankah Mourinho akan bangun dari mimpinya untuk bisa menyadari bahwa saat ini sepakbola telah berubah. Parkir bus adalah taktik yang sudah usang dan sudah tidak relevan lagi terutama untuk dipakai oleh sebuah tim besar. Pemain mana yang tidak iri melihat anak asuh Guardiola mengalirkan bola denga sangat cair dan terlihat sangat menikmati bermain bola. Sementara bila anda bermain untuk Mourinho, anda harus bermain persis seperti apa yang dikatakannya dan jangan sampai membuat kesalahan sekecil apapun atau harus siap dipermalukan di depan media. Bila anda melihat saat MU dikalahkan oleh Sevilla, terlihat mereka bermain dengan beban yang sangat besar. Tidak ada keberanian ataupun kreatifitas. Mau sampai kapan MU bermain dengan mengandalkan "keberuntungan" seperti saat melawan Liverpool. Meskipun mereka memenangkannya saya rasa fans MU sekalipun tidak mau melihat ulangan pertandingannya.


Sadarlah Mou, saat ini sepakbola sudah sangat berkembang dan semuanya bukan hanya tentang hasil akhir lagi. Saat ini sportivitas sudah menjadi kesadaran semua orang. Dulu mungkin kita akan sangat bangga bila kita menang dari penalti di menit terakhir yang kita dapatkan dengan diving, tapi sekarang kemenangan seperti itu akan terasa sangat memalukan. Kemenangan seperti itu bukannya menyakiti tim lawan namun justru menyakiti diri kita sendiri. Jadi berhentilah untuk berpikir bahwa semua diukur berdasarkan trofi dan hasil akhir. Banyak hal lain yang lebih berharga disana.

Berhentilah menyalahkan sekelilingmu atas ketidakmampuanmu, tapi belajar dan bangkitlah. Lihatlah Nokia yang bertahun-tahun menjadi raja namun nyaris mati karena saking kerasnya kepalanya. Akuilah bahwa saat ini dunia sudah berbeda. Seperti Iphone, Guardiola sudah meletakkan standar untuk sepakbola modern. Runtuhkan egomu dan mulailah mengikutinya sebelum terlambat. Percayalah saat ini sudah tidak ada lagi yang menganggapmu sebagai The Special One. Keyakinanmu bahwa semua diukur dengan trophy pun sepertinya perlu dipertimbangkan lagi. Berhentilah menyuruh penyerangmu untuk selalu memikirkan tentang bertahan, tapi yakinkanlah bahwa dia akan selalu bisa mencetak gol yang akan membawa kejayaan bagi timnya. Dengan segala hormat Mou, berubahlah. Tidak perlu malu untuk mengikuti jejak si Gundul, sang Visioner Pep Guardiola sehingga kami tidak perlu melihat keruntuhan Nokia untuk kedua kalinya. Namun bila engkau tetap memilih untuk keras kepala, maka mungkin hanya taburan bunga yang dapat kami persembahkan untukmuemoticon-Turut Berduka

Levanta Jose, e de manhaemoticon-Bola



0
35.6K
362
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.