Persaudaraan Alumni 212 menegaskan sikapnya terkait politik kemarin. Salah satu pengurus organisasi tersebut, Kapitra Ampera menegaskan komunitas Persaudaraan 212 bebas dari kepentingan politik dan tidak berpolitik.

Menurutnya, seorang ulama harus melepaskan keulamaannya jika ingin terlibat dalam kegiatan politik. Hal itu karena didasari suatu keyakinan bahwa ulama harus menjadi milik semua umat Islam.

Kalau ingin berpartisipasi dalam politik, maka keulamanaannya harus dibuka. Dengan begitu, resikonya dia bisa disukai sebagian orang, bisa juga dibenci sebagian orang karena ada rivalitas dari partai politik juga dari konstituennya.

Hal itu sangat logis karena ketika ulama berpolitik, maka nilai-nilai keagamaan akan terdistorsi. Ulama yang berpolitik rentan menjadikan agama sebagai alat untuk menyalurkan kepentingan politiknya.

Selain itu juga bisa membawa agama sebagai justifikasi dan tumpangan saja. Hal itu justru akan mendistorsi nilai-nilai keagamaan yang suci.

Bila itu disampaikan oleh pengurus Persaudaraan Alumni 212, maka sebaiknya bisa direalisasikan. Bukan hanya sekadar buah bibir, apalagi upaya menutupi kedok saja.

Salah satu yang bisa dilakukannya adalah dengan netral dalam berpolitik. Ulama tidak menggiring opini untuk mendukung kubu politik tertentu dan tidak melakukan mobilisasi massa untuk kepentingan politik. Seperti yang terjadi pada Aksi Berjilid Bela Agama 411 dan 212 dua tahun lalu.

Akan menjadi sangat terhormat, bila PA 212 bila menghindari godaan politik praktis. Karena komitmen tersebut akan merepresentasikan harga diri perjuangan dan independensi kelompok alumni 212.

Semoga saja mereka yang menamakan dirinya Persaudaraan Alumni 212 itu menepati komitmennya. Agama harus suci dari politik, dan negara jangan sampai dikuasai oleh satu agama tertentu saja.

Karena Indonesia beragam dan berbeda-beda identitas rakyatnya. Karena Indonesia milik kita semua.